Rahasia di Balik
Mufaraqah Kiai As’ad dari Gus Dur
“Ibarat imam shalat,
Gus Dur sudah batal kentut. Karena itu tak perlu lagi bermakmum kepadanya.”
Beginilah salah satu ungkapan sikap KHR As’ad Syamsul Arifin, sebagaimana
dikutip media nasional beberapa hari pasca Muktamar NU ke-28 di Krapyak, 26
tahun lalu. Konon, KHR As’ad kecewa besar pada lima tahun kepemimpinan KH
Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum PBNU. Gus Dur dianggap kebablasan.
Pemikiran dan tindak-tanduk liberalnya diniliai sudah keluar dari rel Aswaja.
Dari berita yang
dimuat di koran, pemikiran dan tindak-tanduk liberal yang dialamatkan pada Gus
Dur antara lain terkait keikutsertaannya sebagai juri Festival Film Indonesia.
KHR As’ad bahkan menyebut Gus Dur kiai ketoprak lantaran aksinya ini. Lalu
terkait wacana Gus Dur mengubah salam “assalamu’alaikum” menjadi “selamat
pagi”, dan beberapa kontroversi lain yang mengiringi perjalanan kepemimpinan
Gus Dur.
Puncak ketidakcocokan
Ketua Ahlul Halli wal Aqdi pada Muktamar NU ke-27 ini terjadi pada hari
terakhir Muktamar Krapyak, Rabu siang, 29 Nopember 1989. Di hadapan media di
arena Muktamar yang telah aklamasi memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua Umum
Tanfidziyah, pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo
ini, lantang menyatakan diri mufaraqah (memisahkan diri).
Ketidakcocokan KHR
As’ad dengan Gus Dur sebenarnya sudah lama. Keputusan mufaraqah bisa dibilang
lebih merupakan kulminasi dari perselisihan panjang antarkeduanya. Perselisihan
awal setidaknya sudah dimulai ketika pleno pertama PBNU hasil Muktamar
Situbondo, di Pesantren Tebuireng, Jombang pada Januari 1985. Keputusan pleno
menyatakan bahwa yang berhak mewakili NU keluar adalah Rais ‘Aam KH Ahmad
Shiddiq, dan Ketua Umum Tanfidziyah KH Abdurrahman Wahid. Keputusan ini dinilai
membatasi gerak dan langkah ulama sepuh lain, terutama KHR As'ad yang
sebelumnya dikenal dekat dengan Presiden Soeharto dan menteri-menterinya.
Beberapa kontroversi
Gus Dur lainnya sepanjang 1984-1989 semisal; keterlibatan Gus Dur menjadi ketua
DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), kesediaan membuka Malam Puisi Yesus Kristus, dan
kecenderungan membela Syi'ah, juga turut menjadi pemicu kerenggangan komunikasi
antara KHR As’ad beserta kiai-kiai sepuh lain dengan Gus Dur. Hal ini berujung
peristiwa ‘gugatan’ pada Gus Dur di Pesantren Darut-Tauhid, Arjawinangun,
Cirebon, pada Maret 1989.
Sebuah fakta politik
menarik, menyusul mufaraqah KHR As’ad, Gus Dur justru makin gencar melawan Orde
Baru. Gus Dur makin aktif mendukung para aktivis melawan pemerintah. Menjelang
pemilu 1992, di tengah kuatnya kekuasaan Soeharto, Gus Dur bahkan berani
terang-terangan menolak penguasa negeri 32 tahun itu untuk dipilih kembali. Gus
Dur terus menyerang Pak Harto hingga lengser ke prabon pada 1998.
Banyak literatur
menyebut, KHR As’ad Syamsul Arifin adalah sosok wali quthub. Kesaksian KH Mujib
Ridwan misalnya, menyebut jika KHR As’ad pernah menangis tersedu-sedu lantaran
‘kedoknya’ terbuka, usai dibacakan sebuah surat Al-Qur’an. KH Mujib Ridwan
adalah putra KH Ridwan Abdullah, pencipta lambang NU, yang lebih 20 tahun
mengabdi pada KH As’ad Syamsul Arifin. Di luar kharisma keulamaannya, KHR As’ad
adalah seorang guru dan pengamal 17 jenis tarekat. Meskipun demikian beliau
tidak pernah memaklumkan diri sebagai seorang mursyid tarekat di depan umum.
KHR As’ad juga mendalami ilmu kanuragan yang membuat banyak bajingan bertekuk
lutut kepadanya.
Konon, kewalian KHR
As’ad inilah yang melatarbelakangi beberapa tindakannya sehingga tidak mudah
dimengerti khalayak awam. Satu di antaranya menyangkut kerenggangan KHR As’ad
dan Gus Dur. Kala itu tentu saja tak sedikit Nahdliyin di akar rumput yang
kebingungan. Meski tak sampai menciptakan kubu-kubu yang saling berseberangan,
konflik panjang dua tokoh beda generasi ini memunculkan pertanyaan di banyak
pihak. Tak terkecuali rombongan Kepala Sekolah SLTP dan SLTA Ma’arif Kotamadya
Surabaya. Suatu hari, pada 15 April 1987, mereka serombongan sowan ke ndalem
KHR As’ad di kompleks Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.
Sesampai di ndalem,
rombongan diterima langsung oleh KHR As’ad yang kala itu didampingi KH Mudjib
Ridwan. Rombongan pun mendapat penjelasan langsung bahwa beliau mufaraqah dengan
Gus Dur karena Gus Dur kiai ketoprak. Dengan menjadi juri FFI di Bali, Gus Dur
dinilai sudah tidak sesuai dengan kakeknya KH Hasyim Asy’ari, dan penjelasan
lain-lain seterusnya sebagaimana yang sudah beredar di media massa.
Dari Situbondo,
rombongan meneruskan silaturahim berikutnya ke Jember ke ndalem KH Ahmad
Shiddiq. Di hadapan Rais ‘Aam PBNU ini, disampaikanlah panjang lebar
kebingungan-kebingungan mereka mengenai hubungan KHR As’ad dengan Gus Dur.
Dan beginilah dawuh
KH Ahmad Shiddiq. “Kulo, dan sampean-sampean semua—seraya menunjuk satu persatu
rombongan yang hadir—bukan levelnya. Bukan kelasnya menilai Kiai Haji Raden
As’ad Syamsul Arifin.” Demikianlah yang pada intinya, Nahdliyin yang belum
masuk levelnya, tidak pantas menilai sikap mufaraqah KHR As’ad dengan Gus Dur.
Keduanya memiliki maqom (tingkatan spiritual) yang tinggi di atas kebanyakan.
Menyikapi friksi di
tingkatan elit NU yang kian membingungkan ini, suatu ketika beberapa anggota
Dewan Khas IPSNU Pagar Nusa dipimpin H. Suharbillah memutuskan sowan ke KH
Khotib Umar, Pengasuh Pesantren Raudhatul Ulum Sumberwiringin, Sukowono,
Jember. IPSNU Pagar Nusa kebetulan saat itu baru saja dideklarasikan. KH Khotib
Umar adalah salah seorang ulama pejuang yang wara’ yang sangat disegani di kalangan
Nahdliyin.
Kepada para pendekar
Pencak Silat NU ini, KH Khotib Umar bertutur bahwa suatu waktu beliau menghadap
pada KHR As’ad Syamsul Arifin bermaksud meminta penjelasan mengenai masalah
dengan Gus Dur. Dan KHR As’ad dawuh bahwa memusuhi Gus Dur merupakan strategi
menghadapi rezim Orde Baru. Supaya Gus Dur tidak dihabisi maka beliau memusuhi
Gus Dur. Untuk menyelamatkan beliau. “Saya dengan Gus Dur hanya berbeda dalam
siyasi, politik! Mufaraqah bukan berarti benci Gus Dur. Malah saya sangat
mengasihi Gus Dur. Saya khawatir kalau Gus Dur di penjara oleh penguasa—karena
sikap kritisnya—lalu siapa yang akan membela? Demikian dawuh sang wali quthub.
[]
* Sebagian data
diperoleh dari catatan pribadi DR KH Suharbillah
(Didik Suyuthi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar