Relawan
dan Partai
Oleh:
Budiarto Shambazy
Sekali
lagi tentang kata deparpolisasi. Secara harfiah kata benda ini artinya
’pengurangan jumlah partai politik’. Tetapi, ia secara relatif tentu bisa juga
ditafsirkan sebagai pengurangan pengaruh partai.
Agar kita
paham, deparpolisasi pernah dilakukan ketika Orde Baru memaksakan fusi partai
tahun 1973. Partai-partai yang ketika itu jumlahnya lebih dari 10 dipaksa
bergabung berdasarkan pengelompokan/gabungan partai-partai nasionalis dan satu
lagi berdasarkan agama Islam.
Maka
sistem politik kita sering disebut dengan dua partai, Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Golkar acap kali enggan
disebut sebagai partai, lebih nyaman disebut sebagai golongan.
Kalaupun
mau mencium jejak deparpolisasi, itu telah terjadi ketika Presiden Soekarno
memberlakukan Dekrit 5 Juli 1959. Salah satu turunannya adalah Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 1959 yang melarang PNS golongan F ke atas
untuk menjadi anggota partai.
Setelah
Orde Baru berkuasa, seluruh perpres produk Dekrit 5 Juli 1959 ditinjau kembali.
Apa lacur, deparpolisasi Orde Baru justru semakin menjadi-jadi melalui
Peraturan Pemerintah No 6/1970.
Kalau
Perpres No 2/1950 melarang PNS untuk golongan-golongan tertentu, Peraturan
Pemerintah No 6/1970 melarang tujuh jenis jabatan yang bersih dari parpol.
Jenis jabatan itu di antaranya anggota ABRI, PNS hankam, hakim, jaksa, dan
jajaran Dewan Gubernur Bank Indonesia.
Dengan
kata lain, presiden pertama dan kedua republik ini sedikit banyak bersikap risi
dengan ”parpolisasi”. Sikap risi itulah yang kita basmi bersama-sama melalui
Reformasi 1998 yang menegakkan kembali kepartaian sebagai tujuan berbangsa dan
bernegara.
Ruang
publik telah terbagi rata antara partai dan kita rakyat yang tidak tertarik
bergabung dengan partai. Toh, pada kenyataannya kita rakyat yang tak berpartai
tetap memilih politisi pada setiap pilpres, pileg, ataupun pilkada.
Fakta ini
memperlihatkan bahwa politik bukan cuma monopoli partai. Partai dan politisi
justru memperoleh legitimasi dari kita rakyat yang belum tentu ikut partai.
Sayangnya,
saat ini partai dan sebagian dari kita rakyat, yakni relawan, seolah seperti
minyak dengan air. Partai bak balok es yang keras membeku, relawan ibarat
minyak oli bekas yang tercecer ke mana-mana.
Partai
entitas politik yang menyatukan para anggotanya dengan ”ideologi”. Khusus di
negeri ini, ideologi itu rupanya, suka atau tidak, sudah sarat dengan kepentingan
yang pragmatis dan transaksional.
Relawan
tidak memiliki ideologi, hanya kepentingan yang bersifat sesaat. Sama dengan
partai, kepentingan relawan kurang lebih juga bersifat pragmatis dan
transaksional.
Setelah
merumuskan ideologi, partai menetapkan AD/ART yang mengikat. Mereka juga buka
”cabang” ke semua provinsi, lengkap dengan kepengurusan dari tingkat pusat
hingga anak ranting.
Berhubung
tidak punya ideologi, relawan mungkin tak perlu membuat AD/ART, membuka cabang
atau membentuk pengurus yang sah dan didukung. Mungkin sekarang ini ada 1-2
kelompok relawan yang mengupayakannya, siapa tahu kelak pada tahun 2019 bisa
”naik kelas” menjadi partai.
Bagi
partai, ideologi, AD/RT, dan cabang masih belum cukup. Mereka wajib mengadakan
berbagai pertemuan (kongres, muktamar, musyawarah, dan lainnya) dari tingkat
paling rendah sampai pusat. Pengurus harus disegarkan secara rutin demi menjaga
kelangsungan kaderisasi.
Relawan
tentu tidak sekaku itu, cuma bisa ”ngumpul-ngumpul” jika dibutuhkan. Tapi yang
berjuang untuk kemerdekaan bukan cuma partai, relawan juga ikut menyingsingkan
lengan baju.
Relawan
kadang bersikap self righteous jika jagonya menang. Pengurus partai terbiasa
menunggu instruksi alias tidak boleh mendahului sikap dan pernyataan resmi dari
Dewan Pengurus Pusat (DPP).
Kalau
lagi bete dengan pemimpin partai, kita bisa melancarkan demonstrasi mendatangi
kantor mereka. Kalau bete sama pemimpin relawan yang menjadi pejabat publik,
kita bingung mau nga- pain?
Di
negara-negara Barat, independensi merupakan alternatif ideologi ketiga terhadap
sistem dua partai seperti Partai Independen di Inggris atau capres seperti Ross
Perot di Amerika Serikat. Di negeri ini, independensi menyeruak antara lain
karena kekecewaan terhadap partai.
Apalagi
ada sebagian kalangan menganggap relawan berperan sentral dalam memenangi Joko
Widodo-Jusuf Kalla pada Pilpres 2014. Padahal, suara rakyatlah yang paling
menentukan.
Independensi
politik oleh relawan, juga partisipasi ”massa mengambang” seperti kita rakyat,
akan semakin dinamis di masa mendatang akibat hiruk-pikuk pencalonan Pilgub DKI
belakangan ini. Partai-partai hendaknya melihat fenomena ini sebagai pelajaran
baru dalam demokrasi kita yang baru seumur jagung ini.
Relawan
bukanlah ancaman atau lawan yang harus diversuskan. Relawan adalah kawan
seiring-sejalan dalam proses memilih pemimpin-pemimpin, termasuk dari kalangan
perseorangan, yang bertujuan memajukan serta menyejahterakan bangsa dan negara.
[]
KOMPAS,
19 Maret 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar