Kuliah
Umum di Jabatan Pengajian Melayu (II)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Sekali
Islam bertapak dan menjadi agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk di rantau
ini, gesekan yang berlaku kemudian dengan agama Kristen melalui dukungan kuasa
penjajah rupanya tidak mampu mengubah perimbangan kuantitatif itu hampir di
seluruh nusantara. Memang, ada kantong-kantong Kristen di daerah-daerah
tertentu di Indonesia, tetapi jumlah pemeluknya sekitar 10 persen.
Sekali
pun menang dalam angka kuantitatif, Islam nusantara (Indonesia) dari sisi
kualitas masih jauh tertinggal di belakang; pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
ekonomi. Sebagian besar umat Islam Indonesia barulah mengenyam pendidikan
sekolah dasar, itu pun belum tentu tamat.
Kemajuan
ekonomi pasti berkaitan rapat dengan masalah pendidikan. Selama tingkat
pendidikan umat Islam masih tetap seperti sekarang ini, akan sukar dibayangkan
kondisi ekonomi mereka bakal membaik.
Di ranah
paham agama, hampir seluruh umat Islam Indonesia menganut mazhab Suni dan sejak
meledaknya Revolusi Iran pada bagian akhir abad yang lalu, pemeluk Syi'i mulai
menampakkan kegiatannya di beberapa daerah. Tetapi, kekhawatiran pemerintah
bahwa akan terjadi perebutan pengaruh antara Arab Saudi yang mengaku mewakili
Suni dengan Iran sebagai pusat Syi'i tidak punya dasar sama sekali.
Indonesia
terlalu besar untuk bisa “dipermainkan” oleh dua negara itu. Oleh sebab itu,
sesuatu yang sebenarnya tidak mengancam, jangan dilebih-lebihkan karena akan
membingungkan dan membodohi rakyat.
Kita
kembali ke nusantara. Dalam proses pertarungan dengan agama Hindu, khususnya
beberapa abad yang silam, sarjana kiri Belanda WF Wertheim memberikan kesaksian
berikut ini, "Dalam skala yang besar Islam telah memberikan sumbangan
untuk memanusiakan banyak sekali kebiasaan Asia. Gagasan persamaan manusia
(memang) tidak menjurus kepada penghapusan budak, tetapi sebagaimana halnya
agama Kristen juga, mengarah kepada perlakuan yang lebih baik terhadap budak
dan anak angkat... yang mengandung sebuah pengakuan tentang prinsip persamaan
utama antara orang merdeka dan budak." (Lihat WF Wertheim, Indonesia Society in Transition: A
Study of Social Change. The Hague: W van Hoeve Publishers, 1969,
hlm 196).
Jadi,
selama berabad-abad, rakyat nusantara, terutama yang berada di bawah penguasa
Hindu harus puas dalam posisi sebagai wong
cilik (rakyat kecil). Sistem kasta telah membagi manusia
berkelas-kelas, dibatasi dinding yang tebal dan dinding itu pantang dilangkahi
atau para dewa akan murka.
Doktrin
tentang persamaan manusia yang dikenalkan Islam ini jelas menjadi daya pikat
tersendiri bagi penduduk nusantara atau dalam bahasa Jawa mereka merasa diwongke (diorangkan).
“Dalam pengertian ini,” tulis Wertheim, “Islam dapat dipandang sebagai pemicu
gejolak sosial bagi proses revolusioner yang terjadi pada abad ke-20.” (Ibid,
hlm 198).
Maka,
lahirnya SI (Sarekat Islam) pada 1912 dan Muhammadiyah pada tahun yang sama
adalah pertanda dari proses revolusioner itu di ranah politik dan di ranah
sosial, agama, dan kebudayaan.
Dengan
modal Islam yang menyatu dengan semangat priayi lokal, jauh sebelum memasuki
abad ke-20, yaitu sejak kedatangan Kompeni India Timur (VOC) ke nusantara pada
permukaan abad ke-17, “Belanda telah menghadapi perlawanan umat Islam
Indonesia,” tulis HJ Benda. (lihat Continuity
and Change in Southeast Asia. New Haven: Yale University Southeast
Asia Studies, 1972, hlm 83).
Sekali
pun perlawanan itu pada akhirnya kandas, serangan sporadis pihak Muslim sungguh
menyulitkan pihak Belanda dalam upaya melakukan konsolidasi sistem kolonialnya.
“Sering sekali,” tulis Benda selanjutnya, “konsolidasi ekspansi kekuatan mereka
diancam oleh pemberontankan-pemberontakan lokal yang diilhami Islam, baik yang
dipimpin oleh penguasa-penguasa Indonesia yang telah mengikuti iman Nabi atau
di tingkat desa oleh ulama fanatik....” (Ibid).
Di antara
perang perlawanan terhadap Belanda itu, tercatatlah Perang Paderi (1821-1837)
di Sumatra Barat, Perang Diponegoro (1825-1830) di Yogyakarta/Jawa Tengah, dan
yang terpanjang berdarah-darah adalah Perang Aceh (1873-1912). Dengan demikian,
kedatangan penjajah ke nusantara sama sekali ditolak, apa pun alasannya.
Tetapi, pada ujungnya, mengapa harus kalah?
Setidak-tidaknya,
ada dua alasan mengapa kekalahan itu harus berlaku: (1) Pada abad-abad itu
Indonesia sebagai bangsa belum lagi terbentuk, modal yang tersedia adalah
kerajaan-kerajaan atau kelompok-kelompok perlawawan sporadis yang tidak ada
hubungan satu sama lain. Pihak penjajah memahami kerapuhan internal ini. Maka,
untuk memperparah situasi dijalankanlah politik devide et impera (pecah-belah dan
kuasai). Indonesia sebagai bangsa adalah gejala pada 1920-an dengan leburnya
semangat kedaerahan untuk menjadi satu bangsa.
(2)
Kualitas persenjataan Belanda yang modern tidak bisa dilawan oleh kekuatan
pribumi yang belum bersatu itu. Dan, pada skala global, sejak merosotnya
kekuasaan Turki Usmani pada akhir abad ke-17, pihak Eropa menjadi semakin
leluasa dan ganas untuk melumpuhkan dunia Islam, termasuk kawasan nusantara. []
REPUBLIKA, 01 Maret 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar