Padepokan Listrik untuk Anak Muda Spartan
Oleh:
Dahlan Iskan
Akhirnya
saya temukan ”tempat persembunyian” Ricky Elson di pantai Samudra Hindia di
Tasikmalaya paling selatan. Hari sudah senja, Kamis lalu. Sekitar 15 mahasiswa
lagi duduk lesehan di atas tikar: berbuka puasa.
Senja itu langit sangat cerah. Setelah meneguk air dan minum obat,
saya menuju pantai yang ombaknya berdebur. Mumpung belum gelap. Dan lagi saya
memang baru boleh makan satu jam setelah minum obat.
Inilah lokasi riset dan pendidikan yang dipimpin Ricky Elson. Dia
mengajarkan kepada anak muda tentang motor listrik untuk mobil listrik dan
tentang pembangkit listrik tenaga angin. Nama desanya: Ciheras. Untuk ke sana
harus naik mobil dulu ke Tasikmalaya, lalu tiga jam lagi ke Ciheras.
Melihat lokasi ini, saya lebih menyebutnya pondok. Atau lokasi
kamping. Tanahnya dibiarkan natural tanpa polesan apa pun. Lokasi sekitarnya
berupa galian bekas tambang pasir besi yang sudah habis dikuras dua tahun lalu.
Ada beberapa bangunan di ”perkampingan” ini. Semuanya berukuran kecil. Terbuat
dari kayu. Atau tripleks. Lantainya semen. Tidak ada meja kursi. Semua bangunan
itu seperti amat darurat. Semua RSS.
Tempat lesehan untuk berbuka puasa itu misalnya, kalau siang
dipakai praktik pengajaran. Bangunan sebelahnya adalah petak-petak untuk tidur
mahasiswa. Sebelahnya lagi bangunan untuk buku-buku listrik, separo dari buku
itu berbahasa Jepang. Ricky memang sekolah dan bekerja di Jepang selama 14
tahun. Di Negeri Sakura itulah dia melahirkan 12 penemuan bidang motor listrik
dan mematenkannya.
Bangunan di sebelahnya lagi berupa gubuk-gubuk gazebo kayu. Untuk
diskusi. Lalu ada bangunan untuk kontrol sistem. Di tengah-tengahnya ada
bangunan musala. Ricky sendiri, yang rambut ikalnya dibiarkan panjang dan
celananya selalu berkantong-kantong besar, yang jadi imam. Bacaan salatnya
lirih, merdu, dan sangat fasih.
”Cita-cita saya mendidik 3.000 anak muda yang mampu mendukung
pengembangan mobil listrik di Indonesia,” ujarnya. ”Sekaligus mampu
mengembangkan listrik tenaga angin,” tambahnya.
Ricky yang tiga tahun lalu saya minta pulang untuk mengembangkan
mobil listrik nasional bertekad menyiapkan fondasi yang kuat: aspek manusianya.
Mobil listrik yang dia ciptakan selama ini (bersama Kupu-Kupu Malam Jogja)
adalah prototipe untuk gebrakan awal. Bahwa kita bisa. Setelah itu harus ditata
manusianya. Untuk bisa berproduksi secara masal.
Mahasiswa dan anak muda yang mondok di tempat Ricky ini umumnya
khas: mereka yang minat risetnya tinggi, egaliter, dan jiwanya menyala-nyala.
Gadis yang duduk lesehan di sebelah saya ini misalnya, lulusan S-1 dan S-2 ITB.
Bapaknya dosen. Ibunya dokter di Bandung. Para pemudi itulah, bersama istri
Ricky yang cantik itu, yang menyiapkan makanan untuk berbuka dan sahur.
Yang lebih banyak adalah mahasiswa kuliah praktik. Dari berbagai
universitas. Ricky sendiri sudah berkunjung atau memberi kuliah di 150
universitas selama tiga tahun terakhir. Untuk menumbuhkan minat anak muda di
dunia baru ini.
Malam itu Ricky juga yang menjadi imam salat Tarawih. Sekaligus
mengisi ceramah agama. Temanya tentang perbedaan ilmu fikih dan ilmu cara
mendekatkan diri kepada Tuhan. Teori dari filsuf agung Imam Al Ghazali. Malam
itu saya ikut tidur di pondok itu.
Sejak kegiatan mobil listrik terhenti, Ricky mengistirahatkan 150
anak muda yang terlibat langsung dalam praktik membuat mobil listrik. Pulang ke
daerah masing-masing dulu. Dia juga menghindari permintaan untuk membuat
listrik tenaga angin bagi NTT. Ini karena anggarannya dari pemerintah.
Hari itu mestinya Ricky menandatangani kontrak, tapi dia
membatalkan. Dia bertekad konsentrasi membina pondoknya itu. ”Sudah telanjur
meninggalkan Jepang,” ujarnya.
Di pondok itu dia dirikan kincir-kincir tenaga angin. Berbagai
jenis. Ada yang buatan negara Barat, ada juga buatannya sendiri. Tipenya pun
bermacam-macam. Model ekornya juga tidak sama. ”Agar mahasiswa bisa
membanding-bandingkan teknologinya,” kata dia. ”Lalu kita diskusikan,”
tambahnya.
Ada yang kincirnya berputar kencang. Ada yang pelan. Ada juga yang
sudah lama berhenti. ”Yang berputar pelan itu karena desain ekornya tidak
cocok. Tidak bisa cari arah angin,” jelasnya.
”Kalau yang berhenti itu?” tanya saya. ”Itu buatan … yang banyak
dibeli untuk dijadikan bahan pembelajaran di berbagai universitas kita,”
jawabnya. Dia lantas menyebutkan nama negara Barat itu.
Dengan ciptaannya itu Ricky sudah melistriki beberapa desa
terpencil di Sumba. Sudah seratus kincir dia dirikan di Sumba. Bisa saja suatu
saat nanti dia akan disalahkan. Sebagian dari dana itu berupa CSR Pertamina.
Para ”penari langit” itu bisa saja dianggap fiktif. Dasarnya
adalah pemberitaan TV. Menurut pemberitaan TV, proyek itu diambil dari bantuan
luar negeri. Ditonjol-tonjolkanlah betapa pendonor asing begitu berjasa pada
Sumba. Tidak disebutkan kincir itu buatan anak bangsa. ”Waktu kru tv mengambil
gambar proyek ini, ada yang minta stiker Pertamina di proyek ini dicopot dulu,”
ujar Ricky. (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar