Senin, 26 Oktober 2015

Azyumardi: Makkah Al-Mukarramah (3)



Makkah Al-Mukarramah (3)
Oleh: Azyumardi Azra

Makkah, kota suci yang dimuliakan. Meski diyakini sakral, kota ini tidak luput dari berbagai ironi dan kontradiksi sepanjang sejarahnya. Ziauddin Sardar dalam karyanya, Mecca: The Sacred City (2014), menyatakan, kontradiksi itu kian meningkat di masa modern-kontemporer.

Ironi dan kontradiksi itu bisa dipastikan tidak dirasakan atau luput dari pengamatan para jamaah umumnya. Mereka ini datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji atau umrah atas dorongan semangat keagamaan; mereka datang dengan kesyahduan tanpa sempat berpikir panjang tentang apa yang sesungguhnya telah dan tengah berlangsung di lingkungan Masjid al-Haram.

Tetapi bagi pengamat atau peneliti seperti Sardar, kontradiksi itu bisa terlihat di mana-mana. Ini, misalnya, bermula dari nama “Mecca” yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris sebagai 'istilah generik yang berarti destinasi terakhir'; atau 'sebuah magnet yang menarik orang-orang dalam jumlah besar'; atau 'pusat kegiatan untuk orang-orang dengan minat yang sama'; atau 'tempat tertentu yang menarik kumpulan orang-orang tertentu atau dengan minat tertentu'.

Dalam pengertian seperti itu, dalam bahasa Inggris bisa ditemukan, misalnya, 'Los Angeles is the Mecca of show business' atau 'Paris is the Mecca of chic fashion'. Penggunaan nama dan istilah “Mecca” ini dengan demikian kian menjauh dari makna dan konotasi aslinya.

Karena itulah sejak akhir 1980 Pemerintah Arab Saudi mengganti penulisan nama kota suci ini menjadi Makkah atau lengkapnya Makkah al-Mukarramah. Meski penulisannya telah diubah, tetap saja “Mecca” dalam wacana internasional digunakan dalam konotasi yang tidak selalu positif.

Sementara itu, kontradiksi lain terus berlanjut. Salah satu yang paling substantif berkenaan dengan makna ibadah haji dan lingkungan yang mengitarinya di Makkah. Ibadah haji sangat menekankan kesetaraan di antara jamaah haji yang datang dari berbagai negara dengan latar belakang sosial-ekonomi dan budaya yang beragam.

Jamaah haji yang pejabat dan konglomerat setara dengan mereka yang melarat yang menabung bertahun-tahun agar dapat menunaikan ibadah haji. Kesetaraan itu tecermin dalam dua potong pakaian ihram sederhana berwarna putih yang dikenakan para jamaah.

Tetapi kesetaraan dan kesederhanaan dalam ibadah haji itu kontradiktif dengan lingkungan pelaksanaan ibadah haji. Sejak 1980-an, khususnya lingkungan Makkah terus berubah secara cepat dengan kian banyak gedung-gedung pencakar langit yang seolah berlomba satu sama lain memenuhi kaki langit Makkah dan sekaligus melingkari atau bahkan seolah mengangkangi Masjid al-Haram dengan Ka'bahnya.

Gedung-gedung jangkung yang ini tidak bisa lain mengingatkan orang dengan gaya hidup konsumeristik dan hedonistik di banyak bagian dunia lain. Dalam 10 tahun ini sekitar 130 gedung pencakar langit sudah dan sedang diselesaikan pembangunannya.

Hasilnya, begitu keluar dari Masjid al-Haram, jamaah bisa segera menemukan kompleks hutan beton pencakar langit. Konglomerasi sejumlah bangunan dalam satu kompleks yang menyatukan hotel, mal, dan fasilitas lain terbesar di dunia kini bisa ditemukan bukan di Manhattan, New York City, tetapi malah di Makkah, seperti misalnya di kawasan Abraj al-Bayt. Dalam kawasan ini juga terdapat Menara Jam Makkah (setinggi 601 meter) yang berdiri lebih belakangan dengan merobohkan Benteng Ajyad yang didirikan penguasa Dinasti Usmani pada abad 18.

Di lingkungan Menara Jam Makkah Abraj al-Bayt juga ada hotel mewah semacam Fairmont Hotel dan Resort. Sebelumnya, tidak kurang dari 12 hotel mewah baru dibangun di kawasan terdekat Masjid al-Haram. Mereka umumnya hotel jaringan kapitalisme dan liberalisme ekonomi-pasar internasional semacam Hyatt, Marriott, atau Hilton.

Karena itu, jamaah haji Indonesia yang umumnya jamaah ONH (bukan ONH khusus atau dulu disebut “ONH plus”) hanya bisa menempati hotel-hotel yang kian jauh dari Masjid al-Haram-terlalu jauh untuk bisa ditempuh berjalan kaki. Dana ONH yang jumlahnya pas-pasan untuk biaya perjalanan dan penyelenggaraan yang mereka setor ke Kementerian Agama, sangat jauh daripada mencukupi untuk bisa tinggal di hotel-hotel mewah (atau bahkan supermewah) yang ada di sekeliling Masjid al-Haram.

Selain itu, Pemerintah Arab Saudi pada dasarnya membangun kembali Masjid al-Haram dengan membuldozer seluruh bangunan masjid lama. Dengan begitu, melenyapkan bagian tertua tersisa dari masjid ini, yang dibangun secara berkelanjutan oleh para penguasa Dinasti Usmani sejak 1553 di masa Sultan Sulayman dan sultan-sultan berikutnya.

Penghancuran sejarah. Sejak 1980-an sekitar 95 persen atau sekitar 400 situs sejarah dan budaya sejak masa Nabi Muhammad dan para sahabat telah dihancurkan Pemerintah Arab Saudi atas nama peningkatan fasilitas ibadah haji. Penghancuran tersebut disertai dengan pengalihan fungsi yang tidak masuk akal; misalnya, di atas rumah Siti Khadijah, istri Nabi, kini berdiri sejumlah blok toilet; di atas bekas rumah sahabat Abu Bakar menjulang Hotel Hilton, dan banyak lagi.

Di sini kembali terdapat kontradiksi pahit. Pada satu pihak, Pemerintah Saudi terus menghancurkan monumen sejarah dan budaya teramat penting bagi Islam, dunia Muslim, dan peradaban dunia. Tetapi pada pihak lain, rezim Saudi dalam waktu yang sama terus membangun sejarahnya sendiri yang hasilnya kontradiktif dengan makna dan pesan ibadah haji itu sendiri. []

REPUBLIKA, 22 Oktober 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar