Istilah kodifikasi Al-Qur’an cukup populer dalam kajian ulumul Quran. Kodifikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; hal penyusunan kitab undang-undang.
Dari pengertian kodifikasi di KBBI, kita mulai dapat membayangkan sekilas
kodifikasi Al-Qur’an. Sedangkan banyak buku kajian ulumul qur’an menyebut
kodifikasi Al-Qur’an dengan istilah jam’ul Al-Qur’an.
Jam’ul Al-Qur’an atau kodifikasi Al-Qur’an dalam kajian ulumul quran merujuk
dua pengertian, satu pada hafalan di luar kepala dan ingatan, dan kedua pada
penulisan Al-Qur’an huruf demi huruf, kata demi kata, ayat demi ayat, dan surat
ke surat.
Kalau jam’ul Al-Qur’an pertama berarti 'kodifikasi' di dalam ingatan dan
hafalan, maka jam’ul Al-Qur’an kedua berarti kodifikasi melalui tulisan. (M
Abdul Azhim Az-Zarqani, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Darul Hadits:
2017 M/1438 H], halaman 193).
Manna’ Al-Qaththan mengatakan, istilah jam’ul Al-Qur’an mengandung di dalamnya
dua pengertian sekaligus. Pertama, jam’ul Al-Qur’an merujuk pada hafalan dan
ingatan atas Al-Qur’an. Pengertian jam’ul Al-Qur’an ini yang dimaksud pada
Surat Al-Qiyamah ayat 16-19. (Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an,
[tanpa kota, Darul Ilmi wal Iman: tanpa tahun], halaman 114).
Kedua, istilah jam’ul Al-Qur’an merujuk pada pengertian penulisan Al-Qur’an,
pembatasan ayat dan suratnya, dan juga penyusunan ayat dan surat dalam
Al-Qur’an pada sejumlah lembaran yang menghimpun semua surat di dalamnya.
(Al-Qaththan, tanpa tahun: 114). Pengertian kedua jam’ul Al-Qur’an ini, saya
kira, lebih dekat dengan pengertian kodifikasi Al-Qur’an.
Pencatatan Al-Qur’an
Selain dihafalkan, Al-Qur’an juga didokumentasikan melalui catatan pada lembaran-lembaran. Rasulullah SAW memiliki pencatat Al-Qur’an. Setiap kali wahyu turun, Rasulullah SAW meminta para pencatat itu untuk menuliskannya sebagai upaya atau ikhtiar dalam mengikat dan merekam ayat Al-Qur’an dalam catatan sehingga catatan dan hafalan saling mendukung.
Para pencatat Al-Qur’an merupakan sahabat-sahabat pilihan. Mereka yang dikenal
sejarah sebagai pencatat Al-Qur’an adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab,
Mu’adz bin Jabal, Mu’aw iyah bin Abu Sufyan, empat khalifah rasul, dan sejumlah
sahabat terkemuka lainnya. Bahkan sejumlah sahabat memiliki mushaf yang khas
seperti mushaf Ibnu Mas’ud, mushaf Sayyidina Ali bin Abu Thalib, mushaf
sayyidah Aisyah RA, dan mushaf sejumlah sahabat lain.
Para sahabat umumnya mencatat Al-Qur’an pada pelepah kurma, batu tulis yang
tipis, lembaran kulit ternak, tulang-tulang bahu dan panggul yang umumnya
merupakan alas tulis di zamannya. Perlu diingat juga bahwa zaman itu belum juga
dikenal medium kertas sebagai zaman sekarang.
"Kami bersama Rasulullah SAW menyusun Al-Qur’an dari lembaran
kulit," kata Zaid bin Tsabit. Penyusunan yang dimaksud oleh Zaid
adalah aktivitas penyusunan rangkaian ayat Al-Qur’an sesuai petunjuk Rasulullah
SAW.
Ulama bersepakat bahwa susunan Al-Qur’an bersifat given atau tauqifi, yaitu
susunan ayat dan surat Al-Qur’an yang kita saksikan hari ini pada banyak mushaf
didasarkan pada perintah wahyu dari Allah. Sebuah riwayat menyebutkan, Jibril
AS ketika membawa turun ayat atau sebuah surat AL-Qur’an mengatakan,
"Muhammad, Allah memerintahkanmu untuk meletakkan ayat ini di depan surat
ini." Demikian juga Rasulullah memberikan petunjuk kepada para
pencatatnya. (As-Shabuni, 2016 M: 53).
Praktis, ketika Rasulullah SAW wafat Al-Qur’an sudah terkodifikasi dengan baik
dalam hafalan sahabat dan catatan pada berbagai lembaran para penulis.
Al-Qur’an juga telah tersusun dengan tertib perihal urutan ayat dan urusan
surat di dalamnya.
Tetapi memang Al-Quran berisi 30 juz dan 114 (sebagian ulama menghitungnya 113)
surat itu belum terhimpun dalam satu mushaf sebagaimana kita kenal hari ini karena
ketiadaan kebutuhan pada saat itu. Susunan Al-Qur’an sendiri tidak ditulis
berdasarkan urutan turun ayat, tetapi berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW.
(Al-Qaththan, tanpa tahun: 119-120) dan (Az-Zarqani, 2017 M: 199).
Az-Zarqani menyebut sedikitnya empat alasan kodifikasi Al-Qur’an di masa
Rasulullah SAW tidak sampai pada pengumpulan dalam satu mushaf. Pertama, tidak
ada kebutuhan mendesak untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Ahli Al-Qur’an masih banyak. Alat tulis dan alas tulis tidak mudah didapat.
Umat Islam dalam kondisi baik-baik saja. Situasi keamanan masih kondusif.
Semangat Rasulullah adalah semangat menghafal, bukan semangat menulis atau
membaca berdasarkan tulisan/catatan.
Kedua, wahyu masih dalam proses penuntasan turunnya yang masih kemungkinan
menasakh satu sama lain. Ketiga, Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, tetapi
bertahap dalam masa 20 tahun bahkan lebih. Keempat, susunan ayat dan surat pada
Al-Qur’an (sebagaimana kita kenal kemudian) berbeda dengan urutan turun ayat dan
surat Al-Qur’an.
Sebagaimana kita tahu, ayat dan surat Al-Qur’an turun berdasarkan sebab
(asbabun nuzul). Sedangkan penyusunan ayat dan surat pada Al-Qur’an memiliki
kaidah/logika/norma yang berbeda dari urutan turunnya wahyu. (Az-Zarqani, 2017
M: 200). Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar