Rabu, 07 Desember 2022

(Ngaji od the Day) Hukum Utang Melibatkan Pihak Ketiga

Ada sebuah pertanyaan dari pembaca kanal ekonomi syariah. Inti pertanyaan itu seperti ini:

 

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Ustadz, suami saya meminjam uang Rp4.000.000 ke koperasi dan pinjaman tersebut ada bunganya. Selanjutnya uang pinjaman tersebut dipinjamkan kepada orang lain melalui perantara teman suami, dan sebagai jaminan atas utang tersebut, orang itu menjaminkan motornya kepada suami saya. Suami saya tidak memberikan bunga atas pinjaman itu. Justru teman suamilah yang menarik bunga. Akad antara peminjam uang dengan teman suami, kalau dalam 2 bulan uang tidak dikembalikan, motor itu akan dijual oleh teman suami. Yang ingin saya tanyakan:

 

1. Bagaimana hukum utang piutang melibatkan pihak ketiga seperti kasus di atas?

 

2. Apakah suami ikut berdosa karena walaupun tidak menikmati bunga, ia tetap memanfaatkan barang jaminan? Karena barang jaminan sekarang berada di tangan suami?

 

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh.

 

Pertanyaan ini kiranya hampir menyerupai dengan beberapa tulisan penulis sebelumnya tentang konsepsi akad perkreditan di lembaga perbankan. Hanya saja, lingkup perkreditan ini, kali ini berada pada lingkup yang lebih kecil, yaitu koperasi. Apakah perkreditan pada koperasi itu sama statusnya dengan perkreditan pada perbankan? Ini yang pertama kali harus kita pilah.

 

Sejauh pengamatan penulis dengan mengadopsi dan merujuk pada beberapa literatur perbankan, ada beda penetapan bunga antara perbankan dengan koperasi. Dalam perbankan, kebijakan penetapan rasio suku bunga diatur secara ijbar (paksa) oleh bank sentral. Di Indonesia, posisi bank sentral ini dipegang perannya oleh Bank Indonesia. Biasanya, kebijakan tersebut disampaikan lewat Peraturan Bank Indonesia (PBI).

 

Jadi, dalam lingkup negara, keberadaan PBI ini layaknya taqnîn yang hukumnya bersifat mengikat (luzûm). Sifat kelaziman ini ditentukan berdasarkan banyak pertimbangan dalil nash dan berlaku khusus pada lingkup perbankan atau lembaga keuangan non-bank yang terdaftar di bawah naungan Otoritas Jasa Keuangan serta Bank Indonesia.

 

Bertindak di luar batas aturan yang sudah ditetapkan oleh kedua instansi, baik OJK dan BI, keduanya dapat secara langsung memberikan warning (peringatan) ke usaha jasa keuangan tersebut atau perbankan yang dimaksud. Inilah unsur ijbary tersebut. Kaidah yang digunakan dalam hal ini menyerupai kaidah tas'ir jabari (penetapan harga).

 

Menurut mayoritas ulama fiqih, kegiatan tas’ir al-jabari mempunyai beberapa syarat:

 

• Komoditas atau jasa tersebut (baca: jasa keuangan) menyangkut kepentingan dan keperluan masyarakat secara umum.

 

• Timbulnya cara penentuan harga komoditas yang sewenang-wenang oleh pedagang.

 

• Penguasa haruslah adil.

 

• Penunjukan ahli ekonomi untuk mengkaji kelayakan kondisi pasar.

 

• Peneteapan harga tidak merugikan pihak pedagang.

 

• Terjaminnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah setiap waktu. (Fathi al-Durainy, Haqqu al-Ibtikâr fi al-Fiqh al-Islâmy al-Muqâran, Damaskus: Muassasah al-Risâlah, 1981: 188)

 

Baru-baru ini anda mendengar ditutupnya RupiahPlus oleh OJK, bukan? Penyebabnya karena RupiahPlus telah bertindak di luar batas kewenangan. Itu artinya bahwa peran pengendalian secara ijbary memang dipegang OJK dan BI.

 

Adapun koperasi, umumnya berada di luar kendali kedua otoritas di atas. Kebijakan koperasi umumnya dikendalikan oleh sekelompok orang yang bersekutu untuk mengadakan usaha. Kebijakan di dalamnya juga ditentukan secara mandiri oleh koperasi. Bisa jadi mungkin ada koperasi yang berada di bawah kendali OJK dan BI. Tapi, sejauh ini, penulis belum menemukannya.

 

Pihak OJK dan BI tidak bisa masuk di dalam koperasi dan mengintervensinya, sehingga apabila terjadi kasus perdata atau pidana, sulit untuk menindak pengelolanya. Itulah yang paling dianggap krusial oleh penulis untuk membedakan antara perbankan dan perkoperasian.

 

Dengan demkian, persoalan bunga, antara perbankan dan perkoperasian, dalam hal ini juga menjadi berbeda disebabkan karena illat taqnin (penetapan undang-undang) di atas. Bunga pada perkoperasian kadang secara sengaja ditentukan untuk memungut jasa bagi uang yang dikucurkan. Padahal uang tidak bisa dikenai kulfah atau beban kerja. Penetapan upah berbasis uang ini merupakan ijarah fâsidah (sewa menyewa yang tak sah). Untuk perbankan, penulis rasa, penting kiranya mengamati struktur dan prosedur sebagaimana yang penulis ungkap dalam tulisan "Basis Akad Kredit Perbankan".

 

Kembali pada kasus perkreditan sebagaimana dalam soal. Jika mengamati pola perkreditan di soal tersebut, pengaji meyakini bahwa akad perkreditan di koperasi itu, masuk rumpun riba qardli sehingga berlaku kaidah penarikan kemanfaatan oleh pihak pemberi utang kepada pihak yang diutangi adalah riba.

 

Akad suami dengan pihak ketiga yang menjadi perantara penyaluran, termasuk akad wakâlah (akad perwakilan). Sementara akad Suami dengan Pihak Pengutang termasuk akad gadai (rahn) karena ada jaminan yang berperan sebagai pernyataan kesungguhan / keseriusan.

 

Dalam akad gadai berlaku ketentuan bahwa pihak râhin (penerima gadai) tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan. Alasan ketidakbolehan ini adalah karena pemanfaatan barang gadai dapat menggiringnya pada akad utang yang menarik kemanfaatan, sehingga bisa tercebur ke dalam riba qardli.

 

Lain halnya bila pemanfaatan barang gadai itu sudah pasti bisa diduga ridlanya (pasti memberikan idzinnya) Si pemilik barang (murtahin). Pemanfaatan semacam ini hukumnya adalah diperbolehkan, dengan catatan untuk maksud menjaga barang agar tidak rusak (itlâf). Hal ini dengan mengambil qiyas al-adna dari kasus menemukan barang (luqathah) yang terdiri dari makanan yang mudah rusak. Pihak penemu wajib mengambil makanan itu dan memakannya, mengingat hukum menelantarkannya justru malah haram disebabkan tadlyi'u al-mâl (menyia-nyiakan harta). Bila barang temuan saja wajib dirawat agar tidak tersia-siakan, apalagi barangnya pihak penggadai? Sudah barang pasti ada sisi yang lebih ditekankan bagi penjagaannya.

 

Adapun perilaku wakil dalam menyalurkan dana suami (muwakkil) kepada pihak yang diwakilkan (muwakkal fîh), merupakan yang dilarang oleh syariat karena dua illat, antara lain: (1) telah berlaku khianat terhadap amanah dari muwakkil, (2) telah menyalurkan barang yang diwakilkan tidak sebagaimana yang ditentukan oleh muwakkil.

 

Semoga keterangan ini semakin menambah wawasan kita dalam fiqih muamalah. Wallahu a'lam bish shawâb. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar