Al-Qur’an mengakui secara tegas bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki akhlak yang sangat agung. Bahkan dapat dikatakan bahwa pertimbangan (konsideran) pengangkatan beliau sebagai Nabi adalah keluhuran budi pekertinya. Hal ini dipahami dari wahyu ketiga yang antara lain menyatakan bahwa:
وَإِنَّكَ
لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
"Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung."
(QS Al-Qalam [68]: 4).
Kata "di atas" menurut ulama ahli tafsir Muhammad Quraish Shihab
(2000) mempunyai makna yang sangat dalam, melebihi kata lain, misalnya, pada
tahap atau dalam keadaan akhlak mulia.
Al-Qur’an surat Al-An'am ayat 90 menyebutkan dalam rangkaian ayat-ayatnya 18
nama Nabi/Rasul. Setelah kedelapan belas nama disebut, Allah berpesan kepada
Nabi Muhammad SAW: "Mereka itulah yang telah memperoleh petunjuk dari
Allah, maka hendaknya kamu meneladani petunjuk yang mereka peroleh."
أُولَٰئِكَ
الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۖ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ ۗ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ
عَلَيْهِ أَجْرًا ۖ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَىٰ لِلْعَالَمِينَ
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah
petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam
menyampaikan (Al-Quran)". Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan
untuk seluruh ummat.” (QS Al-An’am: 90)
Ulama-ulama tafsir menyatakan bahwa Nabi Saw. Pasti memperhatikan benar pesan
ini. Hal itu terbukti antara lain, ketika salah seorang pengikutnya mengecam
kebijaksanaan beliau saat membagi harta rampasan perang, beliau menahan
amarahnya dan menyabarkan diri dengan berkata:
"Semoga Allah merahmati Musa as. Dia telah diganggu melebihi gangguan yang
kualami ini, dan dia bersabar (maka aku lebih wajar bersabar daripada Musa
as.)."
Karena itu pula sebagian ulama tafsir menyimpulkan, bahwa pastilah Nabi
Muhammad SAW telah meneladani sifat-sifat terpuji para nabi sebelum beliau.
Nabi Nuh a.s. dikenal sebagai seorang yang gigih dan tabah dalam berdakwah.
Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai seorang yang amat pemurah serta amat tekun
bermujahadah mendekatkan diri kepada Allah. Nabi Daud a.s. dikenal sebagai nabi
yang amat menonjolkan rasa syukur serta penghargaannya terhadap nikmat Allah.
Nabi Zakaria a.s., Yahya a.s., dan Isa a.s., adalah nabi-nabi yang
berupaya menghindari kenikmatan dunia demi mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Nabi Yusuf a.s. terkenal gagah, dan amat bersyukur dalam nikmat dan bersabar
menahan cobaan. Nabi Yunus a. s. Diketahui sebagai nabi yang amat khusyuk
ketika berdoa, Nabi Musa terbukti sebagai nabi yang berani dan memiliki
ketegasan, Nabi Harun a.s. sebaliknya, adalah nabi yang penuh dengan
kelemahlembutan. Demikian seterusnya, dan Nabi Muhammad Saw. meneladani semua
keistimewaan mereka itu.
Ada beberapa sifat Nabi Muhammad yang ditekankan oleh Al-Quran, antara lain:
لَقَدْ
جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ
عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu (umat manusia), serta sangat
menginginkan kebaikan untuk kamu semua, lagi amat tinggi belas kasihannya serta
penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS Al-Taubah [9]: 128).
Begitu besar perhatiannya kepada umat manusia, sehingga hampir-hampir saja ia
mencelakakan diri demi mengajak mereka beriman (baca QS Syu'ara [26]: 3).
Begitu luas rahmat dan kasih sayang yang dibawanya, sehingga menyentuh
manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk-makhluk tak bernyawa.
لَعَلَّكَ
بَاخِعٌ نَفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
“Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak
beriman.” (QS Syu'ara [26]: 3)
Sebelum Eropa memperkenalkan Organisasi Pencinta
Binatang, Nabi Muhammad telah mengajarkan, "Bertakwalah kepada Allah dalam
perlakuanmu terhadap binatang-binatang, kendarailah dan makanlah dengan
baik."
"Seorang wanita terjerumus ke dalam neraka
karena seekor kucing yang dikurungnya."
"Seorang wanita yang bergelimang dosa diampuni Tuhan
karena memberi minum seekor anjing yang kehausan."
Rahmat dan kasih sayang yang dicurahkannya sampai pula pada
benda-benda tak bernyawa. Susu, gelas, cermin, tikar, perisai, pedang, dan
sebagainya, semuanya beliau beri nama, seakan-akan benda-benda tak bernyawa itu
mempunyai kepribadian yang membutuhkan uluran tangan, rahmat, kasih
sayang, dan persahabatan.
Diakui bahwa Muhammad diperintahkan Allah untuk menegaskan bahwa,
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ
وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا
وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
"Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya." (QS Al-Kahf [18]: 110)
Beliau adalah manusia seperti manusia yang lain dalam naluri, fungsi
fisik, dan kebutuhannya, tetapi bukan dalam sifat-sifat dan keagungannya,
karena beliau mendapat bimbingan Tuhan dan kedudukan istimewa di
sisi-Nya, sedang yang lain tidak demikian.
Seperti halnya permata adalah jenis batu yang sama jenisnya dengan batu yang di
jalan, tetapi ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh batu-batu lain.
Dalam bahasa tafsir Al-Qur'an, "Yang sama dengan manusia lain adalah
basyariyah bukan pada insaniyah." Perhatikan bunyi firman tadi: basyarun
mitslukum bukan insan mitslukum.
Atas dasar sifat-sifat yang agung dan menyeluruh itu, Allah
menjadikan beliau sebagai teladan yang baik sekaligus
sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan).
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
"Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi yang
mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari kemudian dan dia banyak
menyebut Allah." (QS Al-Ahzab [33]: 2l).
Keteladanan tersebut dapat dilakukan oleh setiap manusia, karena beliau telah
memiliki segala sifat terpuji yang dapat dimiliki oleh manusia.
Dalam konteks ini, Abbas Al-Aqqad, seorang pakar Muslim kontemporer menguraikan
bahwa manusia dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe: seniman, pemikir,
pekerta, dan yang tekun beribadah. Sejarah hidup Nabi Muhammad membuktikan
bahwa beliau menghimpun dan mencapai puncak keempat macam manusia tersebut.
Karya-karyanya, ibadahnya, seni bahasa yang dikuasainya, serta
pemikiran-pemikirannya sungguh mengagumkan setiap orang yang bersikap
objektif. Karena itu pula seorang Muslim akan kagum berganda kepada
beliau, sekali pada saat memandangnya melalui kacamata ilmu dan kemanusiaan,
dan kedua kali pada saat memandangnya dengan kacamata iman dan agama.
Banyak fungsi yang ditetapkan Allah bagi Nabi Muhammad antara lain sebagai
syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan) (QS Al-Fath [48]: 8),
yang pada akhirnya bermuara pada penyebarluasan rahmat bagi alam semesta.
Di sini fungsi beliau sebagai syahid/syahid akan dijelaskan agak mendalam.
Demikian itulah Kami jadikan kamu umat pertengahan, agar kamu menjadi saksi
terhadap manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi terhadap kamu ... (QS
Al-Baqarah [2]: 143)
Kata syahid/syahid antara lain berarti "menyaksikan," baik dengan
pandangan mata maupun dengan pandangan hati (pengetahuan). Ayat itu menjelaskan
keberadaan umat Islam pada posisi tengah, agar mereka tidak hanyut pada
pengaruh kebendaan, tidak pula mengantarkannya membubung tinggi ke alam ruhani
sehingga tidak berpijak lagi di bumi.
Mereka berada di antara keduanya (posisi tengah), sehingga mereka dapat menjadi
saksi dalam arti patron/teladan dan skala kebenaran bagi umat-umat yang
lain, sedangkan Rasulullah yang juga berkedudukan sebagai syahid (saksi) adalah
patron dan teladan bagi umat Islam. Kendati ada juga yang berpendapat bahwa
kata tersebut berarti bahwa Nabi Muhammad akan menjadi saksi di hari kemudian
terhadap umatnya dan umat-umat terdahulu, seperti bunyi firman Allah dalam
Al-Quran surat Al-Nisa' (4): 41:
فَكَيْفَ
إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ
شَهِيدًا
“Maka bagaimanakah halnya orang-orang kafir nanti apabila Kami menghadirkan
seorang saksi dari tiap-tiap umat dan Kami hadirkan pula engkau (hai Muhammad)
sebagai saksi atas mereka.” (QS Al-Nisa, [4]: 41).
Tingkat syahadat (persaksian) hanya diraih oleh mereka yang menelusuri jalan
lurus (shirath al-mustaqim), sehingga mereka mampu menyaksikan yang tersirat di
balik yang tersurat. Mereka yang menurut Ibnu Sina disebut "orang yang
arif," mampu memandang rahasia Tuhan yang terbentang melalu
qudrat-Nya. Tokoh dari segala saksi adalah Rasulullah SAW. Yang secara tegas di
dalam ayat ini dinyatakan "diutus untuk menjadi syahid (saksi)." []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar