Islam sebagai agama yang sempurna, memuat berbagai aturan dan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah swt melalui Rasulullah saw untuk mengatur kehidupan manusia, mulai dari cara beribadah kepada Allah, hingga cara hidup bersosial dengan sesama. Ketentuan dan aturan itulah yang dikenal dengan istilah syariat.
Untuk mengenal lebih jauh perihal subtansi syariat dalam Islam, terlebih dahulu
penting bagi kita untuk mengetahui sumber-sumber syariat itu sendiri. Sebab,
subtansi syariat tidak akan dimengerti jika sumber pokoknya tidak dipahami
dengan benar.
Secara garis besar, terdapat dua jenis hukum dalam Islam yang sangat penting
untuk diketahui, yaitu (1) sumber hukum naqli, berupa teks Al-Qur’an dan hadits
Rasulullah; dan (2) sumber hukum aqli, berupa penalaran dan pemahaman terhadap
Al-Qur’an dan hadits itu sendiri. Nah, dalam kesempatan ini penulis akan
menjelaskan hukum kedua perspektif ilmu tauhid, yaitu hukum aqli.
Definisi Hukum Aqli
Syekh Muhammad bin Ahmad bin Arafah ad-Dasuki (wafat 1230 H), salah satu ulama dengan kualitas keilmuan yang tidak diragukan lagi, khususnya dalam ilmu tauhid (aqidah-keyakinan), dalam kitabnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum aqli adalah hukum yang penetapannya disandarkan kepada akal yang sempurna.
Fungsi dari adanya hukum aqli ini adalah untuk menetapkan sesuatu karena keberadaan sesuatu yang lain, atau untuk meniadakan (menafikan) sesuatu karena tidak adanya barang yang lain (itsbatu amrin au nafyuhi).
Contoh: bumi dan langit itu ada karena ada yang menciptakan, maka tidak mungkin
keduanya ada dengan sendirinya. Begitu juga dengan benda-benda yang lainnya.
(Imam ad-Dasuki, Hasyiyah ad-Dasuki ‘ala Ummil Barahin, [Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah: tt], halaman 33).
Pembagian Hukum Aqli
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi at-Talmisani, Aljazair (wafat 895 H) dalam kitabnya menjelaskan bahwa hukum aqli terbagi menjadi tiga bagian, (1) wajib aqli; (2) mustahil atau muhal aqli; dan (3) jaiz aqli.
Wajib aqli adalah adalah setiap sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal
ketiadaannya. Contoh: Allah itu wajib ada-Nya. Maka akal tidak akan menerima
jika Allah dikatakan tidak ada.
Mustahil aqli adalah setiap sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal
keadaannya. Contoh: Allah itu mustahil tidak ada-Nya.
Adapun yang dimaksud Jaiz aqli adalah setiap sesuatu yang keberadaan dan
ketiadaannya bersifat sama. Contoh: keberadaan manusia bukanlah wajib, bukan
pula mustahil, sehingga keberadaannya dianggap Jaiz.
فَالْوَاجِبُ
مَا لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ عَدَمُهُ، وَالْمُسْتَحِيْلُ مَا لَا
يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ وُجُوْدُهُ، وَالْجَائِزُ مَا يُتَصَوَّرُ فِي
الْعَقْلِ وُجُوْدُهُ وَعَدَمُهُ
Artinya, “Wajib adalah setiap sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal
ketiadaannya. Mustahil adalah setiap sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal
keberadaannya. Sedangkan yang dimaksud Jaiz adalah setiap sesuatu yang bisa
diterima oleh akal keberadaan dan ketiadaannya,” (Imam ad-Dasuki, Matan Ummil
Barahin, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2009], halaman 27).
Tiga hukum aqli di atas tujuannya adalah untuk menegaskan kembali perihal
keesaan Allah. Dia adalah Zat Yang Maha Tunggal, tanpa sekutu, tanpa teman.
Keberadaannya tidak ada awal, dan tidak ada akhir, serta semua sifat-sifat
kesempurnaan dimiliki oleh-Nya dan semua sifat kekurangan tidak ada dalam
diri-Nya.
Oleh karena itu, selain tiga hukum aqli di atas, ada juga hal penting yang
harus diketahui oleh semua umat Islam, yaitu sifat wajib bagi Allah, sifat
muhal, dan yang jaiz baginya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam
ad-Dardiri dalam sebuah nazham, ia mengatakan:
وَوَاجِبٌ
شَرْعًا عَلَى الْمُكَلَّفِ * مَعْرِفَةُ الله العَلِيِّ فَاعْرِفِ * أَيْ
يَعْرِفُ الْوَاجِبَ وَالْمُحَالَ ** مَعْ جَائِزٍ فِي حَقِّهِ تَعَالَى
Artinya, “Wajib secara syariat Islam bagi orang mukallaf * untuk mengetahui
Allah Yang Maha Luhur * yaitu dengan cara mengetahui sifat wajib bagi Allah,
sifat muhal ** serta sifat jaiz bagi Allah swt.” (Imam ad-Dardiri, Syarhul
Kharidah al-Bahiyah, [Darul Ilmi: 2004], halaman 37).
Sifat-sifat yang wajib (pasti ada pada zat Allah-aqal tidak menerima jika tidak
ada) bagi Allah ada 20, yaitu; (1) wujud-ada; (2) qidam-dahulu; (3)
baqa’-kekal; (4) mukhalafah lil hawadits-berbeda dengan makhluk; (5) qiyamuhu
bi nafsih-berdiri dengan zat-Nya sendiri; (6) wahdaniyah-tunggal; (7)
qudrah-kuasa; (8) iradah-berkehendak; (9) ilmu-tahu; (10) hayah-hidup; (11)
sama’-mendengar; (12) bashar-melihat; (13) kalam-berfirman; (14) qadiran-maha
mampu; (15) muridan-maha berkehendak; (16) aliman-Maha tahu; (17) hayyan-maha hidup;
(18) sami’an-maha mendengar; (19) bashiran-maha melihat; dan (20)
mutakalliman-maha berfirman.
Sedangkan sifat mustahil (lawan sifat wajib) bagi Allah juga ada 20, yaitu; (1)
adam-tidak ada; (2) huduts-baru; (3) fana’-rusak; (4) mumatsalatu lil hawadits-sama
dengan makhluk; (5) qiyamuhu bi ghairihi-butuh pada zat yang lain; (6)
ta’addud-berbilang; (7) ajzun-lemah; (8) karahah-terpaksa; (9) jahlun-bodoh;
(10) mautun-mati; (11) shamamun-tuli; (12) a‘ma-buta; (13) bukmun-bisu; (14)
ajizan-tidak mampu; (15) karihan-yang terpaksa; (16) jahilan-yang bodoh; (17)
mayyitan-yang mati; (18) ashamma-yang tuli; (19) a’ma-yang buta dan (20)
abkama-yang bisu.
Sedangkan sifat yang jaiz bagi Allah swt hanya satu, yaitu fi’lu kulli mumkinin
au tarkuhu (menciptakan setiap sesuatu atau tidak menciptakannya) seperti
menciptakan manusia, dan makhluk yang lainnya.
Demikian penjelasan perihal hukum aqli, mulai dari wajib, mustahil, hingga
jaiz. Juga tulisan berupa sifat yang wajib, mustahil/muhal, dan jaiz bagi
Allah. Walahu a’lam. []
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan,
Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar