Hadratussyekh Hasyim Asyari adalah tokoh pendiri Nahdlatul Ulama sekaligus Rais Akbar organisasi keislaman dengan jumlah anggota terbanyak sedunia. Ada banyak aktivitas yang beliau jalani sepanjang hidup.
Di antaranya ialah menjadi pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang,
mengurus organisasi NU, dan di tengah kesibukan tersebut beliau menyempatkan
diri untuk menulis berbagai karya yang banyak berfokus pada penguatan akidah
warga jamiyyah beliau.
Salah satu di antaranya ialah Kitab Risalah Ahli Sunnah wa al-Jamaah fi
Hadits al-Mauta wa Asyrat al-Sa’ah wa Bayan Mafhum Ahl Sunnah wa al-Jamaah yang
kalau diterjemahkan menjadi: Risalah Ahlussunnah wal Jamaah: Analisis Tentang
Hadits Kematian, Tanda-Tanda Kiamat, dan Pemahaman tentang Sunnah dan Bidah.
Terjemahan buku ini telah diterbitkan oleh Lembaga Ta’mir Masjid Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama pada tahun 2011.
Salah satu tema menarik yang dipaparkan oleh Hadratussyekh dalam kitab ini
ialah tentang sunnah dan bid’ah. Sebuah tema yang sejak lampau ditulis oleh
beliau namun masih saja menjadi perdebatan hingga sekarang.
Dalam menjelaskan kata “sunnah” Hadratussyekh menunjukkan makna lafzhi
(kebahasaan), ‘urfi (keumuman) dan ishtilahi (keistilahan syariat) dari kata
tersebut. Di mana secara lafzhi, sunnah berarti jalan walaupun itu jalan yang
tidak diridhai.
Secara ‘urfi sunnah ialah ajaran yang diikuti secara konsisten oleh para
pengikut, baik ajaran tersebut berasal dari Nabi atau para wali sehingga
pengikut sebuah ajaran tertentu kita sebut sebagai sunni.
Berikutnya, secara istilah syariah, sunnah diartikan sebagai jalan yang
diridhai oleh Allah yang ditempuh dalam agama, yaitu yang ditempuh oleh
Rasulullah saw dan kalangan lainnya, yang paham terhadap agama, dan kalangan
para sahabat. Pengertian ini mengacu pada hadits:
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ بعدي، عَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Artinya: “Hendaklah kalian berdiri di atas sunnahku, dan sunnah para khalifah
al-râsyidîn al-mahdiyyîn (para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan menunjuki
kepada kebenaran) setelahku, gigitlah oleh kalian hal tersebut dengan geraham
yang kuat,” (HR Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)
Tiga sudut pandang pemaknaan kata “sunnah” tersebut dikutip oleh Hadratussyekh dari
Kitab Al-Kuliyyat karya Imam Abu al-Baqa Ayyub ibn Musa Kafawi.
Berikutnya, dalam memaknai kata “bid’ah” Hadratussyekh mengutip pendapat Syekh
Ahmad Zarruq al-Burnusi al-Fasi dalam Kitab ‘Uddah al-Murid al-Sadiq, di mana
secara syariat bid’ah dimaknai sebagai memperbaharui perkara dalam agama yang
menyerupai ajaran agama itu sendiri, padahal bukan bagian dari agama, baik
bentuk maupun hakikatnya. Syekh Zarruq mengutip sebuah hadits Nabi:
مَنْ
أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya: “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan
agama) maka perkara tersebut tertolak,” (HR Bukhari dan Muslim).
Juga hadits Nabi:
وَكُلُّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
Artinya: “Setiap hal yang dibuat-buat dalam agama adalah bid’ah,” (HR Nasa’i dan
Ibnu Majah).
Berikutnya, Hadratussyekh menyebutkan bahwa para ulama telah menjelaskan bahwa
pengertian kedua hadits di atas dikembalikan pada masalah hukum meyakini
sesuatu (amalan) yang tidak bisa mendekatkan diri kepada Allah, sebagai bisa
mendekatkan diri kepada Allah swt bukan mutlak semua pembaharuan (dalam agama)
karena mungkin saja pembaharuan tersebut terdapat landasan ushul-nya dalam
agama, atau terdapat contoh furui’yah-nya, maka diqiyaskanlah terhadapnya.
Dengan demikian bisa kita pahami bahwa tidak semua pembaharuan dalam ibadah itu
kita pahami sebagai bid’ah yang sesat sebagaimana dimaksudkan dalam hadits di
atas.
Adakalanya sebuah pembaharuan justru menjadi hal yang sunnah atau bahkan wajib
semisal mempelajari ilmu nahwu dan sharaf dengan mengaji syair-syair zaman
Jahiliyah yang menunjukkan ketinggian bahasa Arab merupakan pembaharuan yang
mesti dilakukan oleh ulama seperti Bapak Ilmu Nahwu Abul Aswad Ad-Du’ali yang
menyusun ilmu Gramatika Arab agar umat bisa memahami bahasa Al-Qur’an dan
hadits Nabi.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.
[]
Ustadz Mohammad Ibnu Sahroji atau Ustadz Gaes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar