Benarkah akad kredit bank adalah akad utang piutang?
Syekh Wahbah menyebut bahwa riba perkreditan adalah masuk rumpun riba nasa'. Itu berarti bahwa akad perkreditan tidak berlandas pada akad utang-piutang, melainkan akad jual-beli.
وربا المصارف أو فوائد البنوك: من ربا النسيئة، سواء أكانت الفائدة بسيطة أم مركبة، لأن عمل البنوك الأصلي الإقراض والاقتراض، فتدفع للمقرض فائدة ٤% أو 5% وتأخذ فائدة من المقترض ٩% أو ١٢%
Artinya: "Riba jasa perkreditan atau bunga bank merupakan bagian dari riba nasiah, baik itu merupakan bunga tunggal atau bunga majemuk, karena fondasi sistem perbankan dibangun atas dasar akad uang-piutang. Dengan fondasi ini, maka ditetapkan rasio bunga sebesar 4% atau 5% bagi pihak yang memberi utang sementara dipungut bunga dari pihak yang diutangi sebesar 9% atau 12%." (al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy wa adillatuhû, Beirut: Dâru al-Fikr, tt.: 4/140)
Dalam teks ini, memang secara jelas, Syekh Wahbah menyebut bahwa perjalanan akad perbankan adalah berfondasikan akad utang-piutang. Akan tetapi, kita jangan lupa bahwa konsep riba nasiah menurut Syekh Wahbah itu memuat dua unsur riba, yaitu riba qardli dan riba nasiah.
ربا النسيئة الذي لم تكن العرب في الجاهلية تعرف سواه، وهو المأخوذ لأجل تأخير قضاء دين مستحق إلى أجل جديد، سواء أكان الدين ثمن مبيع أم قرضاً
Artinya: "Riba jâhiliyah adalah riba yang sangat dikenal oleh masyarakat Arab kala itu, bahkan mereka tidak pernah mengenal riba yang selainnya dalam sejarah. Riba ini dipungut karena alasan tertundanya pelunasan hutang sehingga perlu daur ulang (restrukturisasi) dengan tempo yang baru, baik itu akibat utang karena penundaan pembayaran harga barang yang dibeli atau akibat akad utang piutang." (al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy wa adillatuhû, Beirut: Dâru al-Fikr, tt.: 4/68 )
Dalam keterangan di atas, secara jelas Syekh Wahbah menunjukkan kesatuan makna antara riba nasîah yang berasal dari jual beli kredit dengan tidak diketahui harga asalnya barang, dengan riba qardli yang berasal dari akad utang modal.
Riba qardli merupakan riba yang berasal dari akad utang-piutang modal dengan syarat adanya manfaat kepada pihak yang mengutangi. Sementara riba nasîah merupakan riba yang muncul akibat jual beli kredit yang tidak maklum harganya.
Unsur kesamaan dari riba nasîah dan riba qardli adalah sama-sama berangkat dari akad utang-piutang. Bedanya, riba nasîah berangkat dari utang barang, sementara riba qardli adalah berangkat dari utang modal.
Sementara praktik yang berlaku dalam amaliah perbankan, setiap pihak yang mengajukan utang harus menyodorkan jaminan yang nilainya kemudian disetujui oleh bank. Pencairan kredit didasarkan pada persetujuan bank tersebut. Itulah sebabnya, maka hakikatnya proses pengajuan kredit pada perbankan adalah diawali dari proses jual beli.
Jadi, benar adanya jika jaminan yang diajukan ke bank ketika mengajukan pinjaman kredit, hakikatnya adalah dibeli oleh bank, dan dijual kembali kepada nasabah dengan akad bai'u al-'inah secara taqshith (kredit).
Para ulama mazhab sendiri ikhtilaf dalam menyampaikan hukum bai'u al-'inah ini. Hanya mazhab Syafii yang menyatakan boleh. Ketiga mazhab lainnya menyatakan ketidakbolehan akad tersebut. Akan tetapi mereka membolehkan akad bai'u al-'uhdah (jual beli dengan akad sende), yang hakikatnya juga menyerupai akad bai'u al-'inah. Bedanya justru terdapat pada tempo. Jika bai-u al-'inah, tidak mensyaratkan adanya jeda waktu antara jual dan beli. Namun, dalam bai-u al-'uhdah, disyaratkan adanya tempo atau jeda waktu dan majelis. Dalam jeda ini, pihak muqridl bisa mengelola harta yang dibeli secara 'uhdah. Hasil pengelolaan merupakan hak milik dari muqridl (pihak pemberi utang).
Pangkal ikhtilaf akad ini bila dikaitkan dengan bunga bank adalah ditetapkannya besaran suku bunga yang dipungut dari debitur bila dibandingkan dengan margin kredit yang dikucurkan lewat bai'u al-inah yang bersifat tetap sehingga menyerupai flat interest (bunga tetap) dan dengan hasil pengelolaan dari bai'u al-uhdah yang menyerupai floating interest (suku bunga mengambang).
Ingat bahwa dalam bai'u al-'uhdah, berlaku bahwa pihak pemberi utang bisa mengelola barang yang dijadikan jaminan, yang mana barang tersebut dibeli oleh pihak perbankan dengan janji suatu ketika barang itu akan dibeli kembali oleh nasabah. Jika barang sudah dibeli, maka adalah hak bagi pembeli untuk mengelolanya. Pengelolaan itu bisa saja berupa akad disewakan (ijârah) kepada nasabah sehingga pihak bank tinggal menunggu bea sewa (ujrah) dari nasabah, bukan? Jika bea sewa itu ditetapkan bulanan, apakah masih bisa disebut sebagai riba?
Kiranya, hal ini memerlukan telaah lebih lanjut, mengingat klausul akad di perbankan belum tentu menjangkau sampai akad ini. Itulah sebabnya, hasil telaah dari Syekh Wahbah di atas, mungkin dipengaruhi oleh latar belakang mazhab beliau yang bermazhab Syafii yang mana hanya bisa menerima konsepsi bai'u al-'inah dan menolak bai'u al-'uhdah. Beliau menyatakan حرام حرام حرام dengan diulangi sebanyak tiga kali. Sementara itu, pernyataan beliau bisa saja ditolak oleh penganut mazhab lain yang khususnya menerima konsepsi bai'u al-'uhdah dan menolak bai'u al-'inah. Semoga kajian ini bermanfaat guna memberikan telaah lebih lanjut terhadap konsepsi perakadan bunga kredit bank. Walhasil, akad kredit perbankan adalah berangkat dari akad jual beli kredit. Wallahu a'lam bish shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar