Nabi Muhammad SAW adalah sumber teladan muslim, semua hal yang bersumber dari beliau dapat dikaji, didiskusikan dan dipraktikkan di tengah komunitas masyarakat muslim di seluruh dunia dengan menyesuaikan kultur yang ada. Termasuk yang menarik dikaji adalah tindak perilaku Nabi Pra Islam, sejauh mana kehujahan perilaku Muhammad SAW sebelum menjadi Nabi dan yang tidak dapat dipungkiri pula adalah Nabi Muhammad SAW hidup di tengah komunitas masyarakat Arab, menjadi bagian dari mereka, tentunya adat istiadat dan kultur yang ada memengaruhi tindak perilaku Nabi SAW.
Tidak mungkin rasanya seseorang menghindar dari budaya kultur di sekitar
mereka. Nabi datang di tengah-tengah masyarakat yang memiliki budaya dan adat
istiadat, maka mau tidak mau Nabi turun dan ikut hadir di tengah-tengah mereka.
Prinsipnya dalam Islam, jika budaya itu baik, maka dapat dilanjutkan
tradisinya, jika kurang baik maka dihentikan atau diganti dengan yang lebih
baik.
Maka dapat dikatakan, posisi Nabi selain menjadi bagian masyarakat Arab, beliau
juga adalah pembawa risalah sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran Qs. 3: 20,
Qs. 5: 92 dan 99, Qs. 13: 40, Qs. 16: 35 dan 82, Qs. 24: 54, Qs. 29: 18, Qs.
36: 17, Qs. 42: 48, dan Qs. 64: 12. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
Nabi menempati dua dimensi sekaligus, dimensi penyampai wahyu dan dimensi
sosial budaya di tengah masyarakat tempat Nabi tinggal.
Al-Quran secara gamblang memerintahkan taat kepada Nabi, tanpa rincian
lanjutnya Al-Quran juga memberikan otoritas kepada Nabi untuk menerapkan sebuah
hukum, segala tindak perilakunya berasal dari wahyu sebagaimana yang ditegaskan
dalam Al-Quran.
Kendati memiliki otoritas penuh, di sisi lain Nabi juga menginstruksikan agar
umatnya dapat memilah mana perkataan darinya yang merupakan wahyu dan mana yang
bukan. Sehingga apabila perkataan tersebut bersumber dari wahyu maka harus
diikuti, juga sebaliknya. (Ahmad 'Ubaydi Hasbillah, Sirah Nabawiyah dan
Demitologisasi Kehidupan Nabi, Journal of Quran and Hadith Studies, vol-1, No.
2, hal 269)
Selain membawa risalah, Nabi juga mengajarkan dan menerapkan nilai-nilai Qurani
di tengah masyarakat. Segala tindak tutur Nabi, menurut Jayrājpuri bukanlah
wahyu yang harus diikuti karena Nabi bukanlah seorang pembuat hukum, melainkan
penegak hukum. Pembuat hukum adalah Allah, manifestasinya adalah Al-Quran yang
nilai-nilainya akan diaplikasikan di tengah masyarakat. Pengaplikasian tersebut
tentunya membutuhkan seorang Rasul yang membimbing penerapan ajaran Al-Quran.
Dengan pemahaman seperti ini, maka Nabi dan hadits-haditsnya tidak memiliki
otoritas apapun selain dalam kapasitasnya sebagai kepala Negara, pembimbing dan
penegak hukum. Konsekuensinya, otoritas hadits berlaku secara temporal dan
lokal saja. (Daniel Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought,
Cambridge Middle East Studies, 1999, hal. 65)
Pemilahan hadits Nabi berimplikasi pada hukum yang lima. Semakin kuat dalil dan
dalalahnya maka semakin kuat pula hukum yang diproduksi dari teks hadits tersebut.
Jika pemilahan ini sudah berhasil dilakukan, maka akan mudah memosisikan mana
yang harus dan tidak harus diikuti. Karena yang berasal dari wahyu, tentu
sifatnya mengikat, baik ketat maupun longgar.
Lantas bagaimana cara membedakan mana hadits wahyu dan bukan wahyu?
Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub dalam tulisannya 'Hadits Antara Wahyu dan Budaya' menjelaskan dalam disiplin ilmu hadits, apa yang berasal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam itu, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, dan sifat-sifat Nabi, baik sifat fisik maupun sifat non fisik disebut hadits. Para ulama ahli hadits berpendapat bahwa hadits itu sama dengan sunah. Sementara para ahli hukum Islam berpendapat bahwa hadits mencakup empat aspek tadi, sedangkan sunah hanya mencakup 3 aspek, yaitu, ucapan, perbuatan dan penetapan Nabi.
Menurut para ahli hukum Islam sifat-sifat Nabi tidak disebut sunah tetapi
disebut hadits. Sedangkan Imam as-Syafi’i (W. 204 H.) berpendapat bahwa hadits
yang sahih disebut sunah maka bagi Imam as-Syafi’i semua sunah adalah hadits
tetapi tidak semua hadits adalah sunah.
Perbedaan pandangan ini berangkat dari pemikiran bahwa menurut para ahli hukum
Islam yang menjadi sumber syariat hukum Islam adalah sunah, yaitu: ucapan,
perbuatan dan penetapan Nabi saw. Sementara menurut para ahli hadits semua yang
berasal dari Nabi menjadi sumber ajaran Islam.
Dalam hal ini, penegasan pembagian sunah wahyu dan bukan dikelompokkan oleh
menjadi dua. Pertama, hadits wahyu, yaitu yang terkait dengan al-ghaibiyāt dan
hal yang latar belakangnya tidak dapat dinalar oleh akal. Hal-hal tersebut
bersifat permanen dan tidak dapat diubah. Dalam bagian tentunya bagian yang
termasuk kelompok awal adalah ibadah.
Adapun yang kedua, hadits non-wahyu adalah yang terkait dengan interpretasi
Nabi tentang variabel-variabel duniawi, baik dalam politik, perang atau
pengurusan harta dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan negara
Islam atau keputusannya tentang perselisihan yang terjadi di antara sahabat,
yang merupakan ijtihad berdasarkan dalil-dalil dari para pihak yang berkonflik,
semuanya itu bukanlah wahyu. (Lihat Sunnah al-Tasyrī'iyyah wa Gahir
al-Tasyrī'iyyah, Kairo: Nahdhah Mishr, 2001, hal 86).
Contoh populernya dalam hal ini adalah riwayat tentang penyerbukan kurma di Madinah,
di mana beliau menyarankan agar menghentikan pekerjaan mereka mengawinkan
kurma karena tidak ada gunanya. Ternyata hasilnya justru lebih buruk dan tidak
berbuah. Berita tersebut sampai kepada Nabi, beliau mengatakan, "Apabila
hal itu bermanfaat maka lakukan saja. Tadinya saya hanya menduga saja.
Janganlah kalian menyalahkan saya karena dugaan tersebut". Dalam
kesempatan lain, Nabi berucap, "Kalian lebih mengerti urusan dunia
kalian."
Ketidaktahuan Nabi dalam memberikan informasi mengenai agrikultur adalah karena
kurangnya pengalaman Nabi di bidang ini. Wahyu kala itu tidak ikut campur
terkait persoalan ini, karena agrikultur merupakan bagian dari sosial budaya
masa itu.
Misal lainnya adalah, petunjuk Nabi tentang obat-obatan juga termasuk bagian dari
adat dan kebudayaan yang berkembang di tengah masyarakat Arab saat itu. Ia
bukan bagian dari sumber wahyu yang memiliki implikasi hukum syariah yang
mengikat. Nabi bukanlah seorang tabib. Kendati demikian bukan berarti Nabi sama
sekali tidak tahu jenis pengobatan masa itu. Wajar saja orang yang hidup
puluhan tahun di tengah masyarakatnya mengetahui jenis pengobatan yang
berkembang di sana.
Jikalau pengobatan itu berasal dari wahyu, maka mengapa Nabi justru tidak
pernah mengobati pasien, malah beliau menganjurkan Sa'ad bin Abī Waqqāsh ketika
sedang sakit untuk berobat kepada al-Hāris bin Khalādah, seorang dokter pada
masa Nabi. Jika pengobatan berasal dari wahyu, tentunya Nabi akan dibekali
dengan pengobatan yang lebih canggih, untuk menunjukkan sisi keistimewaan dan
kelebihan pengobatan Nabi atas tabib lain di masa itu. (Ahmad 'Ubaydi
Hasbillah, Sirah Nabawiyah dan Demitologisasi Kehidupan Nabi, hal 272).
Dr. Ahmad 'Ubaydi Hasbillah dalam jurnalnya menyebutkan riwayat yang menegaskan
bahwa pengobatan Nabi bukan berdasarkan wahyu, akan tetapi budaya dan kondisi
sosial yang membentuk informasi dan sampai kepada beliau. Berikut teks
haditsnya:
كان
عروة يقول لعائشة: يا أمتاه لا اعجب من فهمك أقول زوجة رسول الله صلى الله عليه و
سلم وبنت أبي بكر ولا اعجب من علمك بالشعر وأيام الناس أقول ابنة أبي بكر وكان
أعلم الناس أو من أعلم الناس ولكن اعجب من علمك بالطب كيف هو ومن أين هو قال فضربت
على منكبه وقالت أي عرية ان رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يسقم عند آخر عمره
أو في آخر عمره فكانت تقدم عليه وفود العرب من كل وجه فتنعت له الأنعات وكنت
أعالجها له فمن ثم
Artinya, “Hisyam bin Urwah, Ayahnya Urwah bin al-Zubair pernah bertanya kepada
Aisyah, ‘Ibu, aku tidak heran tentang kehebatan pemahamanmu, engkau istri
Rasulullah dan putri Abu Bakar. Aku juga tidak heran pula pengetahuanmu tentang
syair dan peristiwa-peristiwa bersejarah, karena engkau putri Abu Bakar, orang
yang paling banyak ilmunya. Akan tetapi aku heran kepadamu tentang
pengetahuanmu dalam hal obat-obatan. Bagaimana engkau bisa mengetahui dan dari
mana asalnya?’ Lalu Aisyah menepuk bahu Urwah dan berkata, ‘Dulu, ketika usia
Rasulullah telah lanjut, Nabi sakit. Lalu, datang utusan orang-orang Arab dusun
(badui) dari berbagai pelosok membesuknya. Mereka menyebutkan beberapa resep
obat-obatan kepada Nabi dan dengan resep tersebut aku mengobati Nabi. Dari
sanalah aku mengetahuinya,’” (HR Ahmad).
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan tidak ada sama sekali pengobatan
fisik yang dianjurkan Nabi yang bersumber dari wahyu. Pun semisalnya ada,
seperti riwayat malaikat yang mewasiatkan kepada Nabi agar umatnya melakukan
bekam atau pernyataan Nabi tentang keutamaan bekam dari pengobatan lainya
adalah sebagai:
Pelestarian Nabi terhadap pengobatan tradisional yang kala itu sudah menjadi
budaya. Karena budaya yang tidak bertentangan dengan Islam, maka perlu
dilanjutkan, bahkan diapresiasi.
Pemilahan Nabi akan pengobatan yang terbaik masa itu.
Penegasan bahwa Islam adalah agama yang peduli pada kesehatan.
Pada simpulannya, perlunya bagi kita memahami pemetaan mana hadits budaya dan
wahyu. Membaca sejarah atau sirah nabawiyah sangat berperan membantu kita
memahami konteks hadits Nabi yang disabdakan masa itu. Melalui pemahaman yang
kompleks mengenai pembagian hadits ini, kita akan menjadi lebih bijak memandang
perkembangan yang terjadi dalam setiap peradaban yang lahir dan tumbuh
sepanjang masa di mana pun adanya. Wallahu a'lam.
[]
Ustadz Amien Nurhakim, musyrif Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus-Sunnah dan
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar