Jaminan dalam istilah fiqihnya masuk dalam rumpun akad dlammân. Dalam setiap akad transaksi yang melibatkan dua pihak yang berbeda, selalu membutuhkan keterlibatan akad yang satu ini, yaitu dlammân. Jual beli tidak sah, manakala barang tidak bisa dijamin sampainya kepada pembeli dalam kondisi selamat sebagaimana barang itu dilihat di saat akad.
Dalam banyak hadits, Baginda Rasulullah shallallaâhu 'alaihi wasallam sering menyatakan bahwa:
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Artinya: "Tidak halal transaksi utang dan jual beli, dua syarat dalam satu jual beli, laba selagi barang belum dijamin, dan jual beli sesuatu barang yang belum ada di sisimu" (Hadits Riwayat Sunan Abi Dawud: 3036).
Hadits ini sering dimaknai secara sederhana sebagai jual beli yang melibatkan dua syarat adalah tidak boleh. Demikian pula, hadits ini sering dimaknai bahwa menjual sesuatu yang belum diterima oleh pembeli pertama, adalah tidak boleh untuk dijual kembali ke pembeli berikutnya.
Pemahaman ini berangkat dari pemaknaan "larangan mengambil laba dari barang yang belum bisa dijamin". Simpelnya pemahaman oleh mereka yang hanya berhenti sampai konsep ini adalah bahwa jual beli barang yang belum ada di sisi penjual, adalah sama dengan jual beli utang dibayar dengan harta secara cash. Maka dari itu, laba yang diambil adalah sama dengan riba yang berasal dari utang (riba qardli). Utangnya darimana? Menurut pihak ini, utang berasal dari harga yang diserahin oleh pihak 'pembeli kedua' kepada 'pembeli pertama.' Itulah sebabnya, pihak yang satu ini acapkali melarang konsep transaksi dropship.
Pemahaman semacam tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar mengingat perbedaan penyikapan terhadap maksud dari menjual "sesuatu yang belum ada di sisi" dan menyikapi "sesuatu yang belum bisa dijamin". Dengan kata lain, 'sesuatu yang belum bisa dijamin' adalah tidak sama dengan "sesuatu yang bisa dijamin". Sesuatu "yang belum ada di sisi" adalah tidak sama dengan "sesuatu yang diwakilkan transaksinya".
Konsep adanya "jaminan kepastian", menjadikan "barang yang berstatus barang gaib" bisa berubah kedudukannya menjadi "barang yang akan ada" dan "bisa dijamin kehadirannya" di sisi penjual. Hukum transaksinya adalah sah menurut pendapat kedua dari mazhab Syafi'i, khususnya ketika berbicara soal transaksi dengan objek barang yang belum bisa dilihat namun bisa disifati. Sampai di sini kita dituntut untuk lebih mencermati.
Syekh Wahbah al-Zuhaili menyatakan:
أما المعين بالوصف لا بالذات بأن كان دينا موصوفا في الذمة كالمسلم فيه (المبيع المؤجل لموسم الحصاد) فلا يثبت فيه خيار الرؤية؛ لأن المعقود عليه الموصوف إن وجد بأوصافه المتفق عليها لزم العقد، وإن تخلف وصف منها لم يتحقق لعدم وجود محله.
Artinya: "Adapun barang yang dijejelaskan dengan jalan menyifatinya sementara barang belum tetap keberadaannya, seperti jika objek masih berupa "utang barang yang dipesan/akad inden (yaitu: akad barang dengan tempo penyerahan yang ditunda, misalnya waktu musim panen), maka pada akad dengan objek barang semacam ini, sudah pasti tidak dengan khiyar ru'yah, karena objek transaksi masih berupa barang yang masih disifati saja. Jika kelak ditemukan sifat bendanya sama dengan yang disepakati dalam akad, maka akad menjadi wajib terlaksana. Namun, bila ternyata cirinya beda dengan disebutkan saat akad, maka tidak ada jaminan wajibnya kelanjutan akad, karena ketiadaan wujud pasti "waktu serahnya"." (al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Damsyiq: Dâr al-Fikr, tt.: 4/280)
Sekilas pendapat Syekh al-Zuhaili di atas tidak menisbikan kemungkinan melakukan akad transaksi barang yang belum wujud dan masih ghaib (belum dilihat), karena waktu panen itu belum terjadi. Hanya saja, penjual menunjukkan sifat dan kualitas barang. Jual beli semacam ini masih mendapatkan pembenaran akan kelaziman akadnya, tapi tidak dengan khiyar ru'yah, melainkam khiyar syarat. Syarat yang dimaksud adalah jika barang sesuai dengan spesifikasi yang ditawarkan, maka akad bisa lazim. Namun, bila barang tidak sesuai dengan yang disampaikan, maka akad bisa jadi dibatalkan dengan khiyar.
Yang perlu kita garis bawahi dari pernyataan di atas adalah bahwa kelaziman bagi penjual adalah mewujudkan barang. Jika hal itu sudah masuk unsur yang bisa dijamin, maka boleh ia menerima harga dari pembeli di muka sesuai dengan yang ia patok. Dalam hal ini Syekh Wahbah tidak menyebut bahwa praktik ini memuat unsur riba, meskipun barangnya diserahkan secara tunda dan saat transaksi, pembeli hanya disajikan klasifikasi dan spesifikasi barang. Sampai di sini, cermati!
Adanya risiko berupa akad bisa dibatalkan manakala barang yang diserahkan kelak tidak sesuai dengan yang ditawarkan, inilah objek daripada dlammân (jaminan) itu. Jika dalam definisi al-Ghazâli, dlammân itu adalah:
واجب رد الشيء أو بدله بالمثل أو بالقيمة
Artinya: "(Dlamman adalah) kewajiban mengembalikan sesuatu atau menyerahkan gantinya dengan yang sama atau dengan qimah (harga)". (al-Ghazâly, al-Wajîz, Damaskus: Dâr al-Ma'ârif, tt.: 1/208).
Dengan berpedoman pada definisi di atas, maka ada tiga rumpun dlammân transaksi menurut al-Ghazáli, yaitu:
1. Bisanya barang diretur manakala tidak sesuai sifat yang ditawarkan.
2. Kewajiban dari penjamin (dlâmin) adalah mengusahakan barang sesuai dengan spesifikasi yang ditawarkan
3. Pengembalian harga (qîmah) bisa dilakukan manakala terjadi pembatalan transaksi.
Jika jaminan-jaminan semacam ini bisa dilakukan, maka bagaimana mungkin jual beli barang yang masih berada di pihak produsen (perakit) oleh pembeli pertama yang mendapati tawaran langsung dari produsen, bisa tidak boleh menawarkan ke pembeli kedua? Padahal, kedudukan fiqih dari pembeli pertama ini bisa dikelompokkan dalam akad samsarah (makelar). Sebagaimana akad ini mendapat legitimasi kebolehannya dalam mazhab Hanafi dan qaul kedua dari mazhab Syafii, khususnya ketika mazhab terakhir berbicara soal objek jual beli barang ghaib. Wallahu a'lam bish shawâb. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah, Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar