Masyarakat datang dari rumah untuk menghadiri shalat Jumat dan shalat idul fitri di masjid atau di tanah terbuka. Mereka umumnya ingin beribadah shalat dua rakaat dan mendengarkan khutbah yang dapat membentuk ketakwaan. Ini berlaku sejak dahulu, 14 abad lalu.
Perjalanan umat Islam kadang tercederai oleh mereka yang menumpangkan
kepentingan pribadi maupun kelompoknya melalui mimbar-mimbar keagamaan. Mereka
melakukan politisasi agama melalui khutbah Jumat, khutbah idul fitri, dan forum
keagamaan lainnya di mana masyarakat sedang berkumpul. Mereka melontarkan
ujaran kebencian dan caci maki terhadap lawan politik mereka.
Hal ini tidak hanya terjadi sebagai gejala baru beberapa tahun belakangan ini
di Indonesia, tetapi juga terjadi sejak masa-masa awal pemerintahan Bani
Umayah. Tentu saja penyebutan kembali politisasi agama sebagai kekonyolan dan
kebodohan di masa lalu bukan dimaksudkan untuk membenarkan politisasi agama
belakangan ini, tetapi peringatan agar kita tidak mengulangi catatan hitam
sejarah umat Islam.
Sebut saja Muawiyah bin Abu Sufyan, pendiri Dinasti Bani Umayyah. Ia wafat pada
usia 78 tahun (602-680 M). Ia berkuasa pada 661-680 M. Ia meminta para khatib
untuk menyelipkan caci maki dan ujaran kebencian terhadap lawan politiknya,
pribadi Sayyidina Ali RA, di dalam khutbah mereka.
“Orang pertama yang membuat tradisi caci maki di mimbar adalah Muawiyah bin Abu
Sufyan. Ia membuat regulasi yang mengharuskan (imam dan khatib) untuk mencaci
maki Imam Ali bin Abi Thalib di setiap kali shalat pada seluruh wilayah
kekuasaannya. Kebijakan ini diikuti oleh penguasa Bani Umayyah selanjutnya,”
(Lihat Abbud As-Syalji, Mausu‘atul Adzab, [Beirut, Ad-Darul Arabiyyah lil
Mausu‘at: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 17).
Politisasi agama melalui caci maki dan ujaran kebencian pada mimbar agama juga
masuk ke dalam shalat dan khutbah idul fitri. Khutbah idul fitri yang
sebenarnya tidak wajib untuk didengarkan (meski sangat disunnahkan) juga
dimanipulasi untuk kepentingan politik.
Khutbah idul fitri disampaikan setelah shalat dua rakaat di mana orang yang
ingin mendengarkan dapat bertahan dan orang yang tidak ingin mendengarkan boleh
meninggalkan tempat shalatnya. Tetapi untuk menahan masyarakat dan memaksa
mereka mendengarkan caci maki dan ujaran kebencian terhadap lawan politik,
Gubernur Madinah di Masa Muawiyah bin Abu Sufyan, Marwan bin Al-Hakam
(623/626-685 M), membuat peraturan yang menempatkan khutbah shalat idul fitri
sebelum shalat dua rakaat sebagaimana rangkaian pelaksanaan shalat Jumat.
“Orang yang pertama mendahulukan khutbah daripada shalat idul fitri adalah
Marwan bin Al-Hakam, gubernur Madinah, dengan pertimbangan (illat) masyarakat
segera pergi meninggalkan tempat shalat karena enggan mendengarkan khutbah yang
berisi caci maki dan ujaran kebencian terhadap mereka yang tidak semestinya,”
(Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam,
[Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], juz II, halaman 96).
Khutbah Jumat dan juga khutbah idul fitri yang berisi caci maki dan ujaran
kebencian ini tetap berlangsung sepeninggal Muawiyah dan Marwan bin Al-Hakam.
Putusan ini juga belum dicabut sampai Khalifah Umar bin Abdul Aziz (cucu Marwan
bin Al-Hakam) berkuasa. Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (682-720 M) yang terkenal
zuhud dan bijaksana ini membuat regulasi baru. Ia memilih untuk mengakhiri
khutbah yang berisi ujaran kedengkian terhadap klan Sayyidina Ali bin Abi
Thalib. Ia berkuasa pada 717 M hingga wafat pada 720 M.
“Ketika Sayyidina Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah, ia mencabut
regulasi tersebut. Khalifah Bani Umayyah yang saleh ini kemudian memerintahkan
agar khatib mengisi sesi caci maki dengan bacaan Surat An-Nahl ayat 90,” (Lihat
Abbud As-Syalji, Mausu‘atul Adzab: juz I/17).
Khalifah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan memutus tradisi caci maki dalam khutbah
Jumat dan khutbah Idul Fitri yang berlangsung selama kurang lebih 50 tahun di
masa Dinasti Bani Umayyah. Sejak Khalifah Umar bin Abdul Aziz mencabut putusan
tersebut, para khatib Jumat dan khatib idul fitri hingga saat ini hampir selalu
membaca Surat An-Nahl ayat 90.
Namun demikian, nafsu gila kekuasaan baik para politisi maupun masyarakat
partisan pendukung menuntut para khatib untuk melakukan politisasi agama
melalui khutbah Jumat dan khutbah idul fitri. Nafsu kekuasaan menuntun para
khatib dan masyarakat untuk kembali melakukan kedunguan dan kebodohan yang
telah lalu yang hanya membuat friksi yang sangat tidak perlu di tengah
umat Islam. Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar