Senin, 26 Desember 2022

Muassis Berkisah tentang Sejarah Awal Berdirinya IPPNU

Sekitar awal November 2020, penulis mengingat sebuah momen ketika sowan ke salah satu pendiri (muassis) Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) almarhumah Nyai Hj Basyiroh Zawawi di kediamannya, di Jenu, Tuban, Jawa Timur. Kala itu, penulis sowan ke rumah yang terletak tak jauh dari pinggir laut tersebut, bersama keluarga.


Pada buku Sejarah Perjalanan IPPNU 1955-2000 (diterbitkan PP IPPNU, 2000), Hj Basyiroh dikenal dengan nama Basyiroh Shoimuri. Nama yang melekat di belakangnya, merupakan nama ayahnya, yang tak lain KH Shoimuri. Setelah menikah dengan KH Zawawi, namanya lebih dikenal dengan sebutan Basyirah Zawawi, sampai sekarang.


Sowan ini merupakan yang kedua kalinya bagi penulis. Penulis juga masih merasakan keramahan yang sama, waktu disambut masuk ke rumah Bu Basyiroh. Selama hampir satu jam, ia juga berkisah banyak hal: tentang masa kecilnya saat bersama sang kakek, Kiai Siradj Solo, hingga saat berkiprah di IPPNU.


“Masa kecil saya bersama anak-anak pondok santri putra, TK sampai MI yang mengantar santri putra. Kalau santri kesiangan saya marahi, jam segini kok baru shalat, nanti kadang minta gendong, ya begitulah nakalnya saya,” ungkap tokoh kelahiran 9 Agustus 1937 itu.


Kiai Siradj yang menjadi pengasuh pesantren di daerah Panularan Solo merupakan salah satu ulama perintis NU di Solo. Ia memiliki satu putra, yakni Kiai Shoimuri. Dari trah Kiai Shoimuri inilah kemudian melahirkan putra-putri, termasuk di antaranya Basyiroh dan Hj Muhsinah, ibu dari Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf.


Sebelum aktif di IPPNU, Basyiroh terlebih dahulu aktif di Fatayat NU. Di tahun 1954, bahkan ia pernah hadir di Muktamar ke-20 NU di Surabaya. “Kala itu saya dan ayah saya ikut hadir. Saya menghadiri sebagai utusan dari Comissaris Daerah (Cabang) Fatayat NU Surakarta, sedangkan ayah saya mewakili Syuriah PCNU Boyolali,” terangnya.


Pada momen Muktamar yang sama, lanjut Basyiroh, di forum sidang khusus Muslimat NU, membicarakan alangkah baiknya kalau dibentuk IPNU Putri, karena IPNU Putra sudah ada. Di sinilah, menurut Basyiroh, awal mula pembentukan IPPNU mulai secara serius dibahas dalam forum berskala nasional.


Akhirnya tahun 1955, saat Kongres pertama IPNU di Malang, mengundang utusan pancadaerah (Jogja, Solo, Jombang, Kediri, dan Malang), dan dibentuklah IPPNU. “Dibentuknya di rumahnya Bu Mahmudah, putri Kiai Nahrowi. Kemudian dibentuklah suatu kepengurusan, namanya bukan Pimpinan Pusat, melainkan Dewan Harian IPPNU.

 

Ketuanya Bu Umroh, Wakilnya saya (Basyiroh, pen), Sekjennya Bu Syamsiah Mutoyib dari Ngawi, tapi kuliah di Solo. Ya, hampir semua pengurus awal IPPNU dari Solo. Dari Yogya ada Bu Asiah. Dari Kediri Bu Maslamah. Dari Jombang, dari Pondok Denanyar. Malang Bu Mahmudah Nahrowi,” kenang Basyiroh saat awal pembentukan IPPNU.


Keliling daerah

 

Sepuluh bulan berselang, setelah pembentukan awal Dewan Harian IPPNU, diselenggarakan Konferensi Besar (Konbes) IPPNU di Kota Solo. Di mana beberapa keputusan dari Konbes tersebut, dibentuk Pimpinan Pusat yang diamanahkan kepada Basyiroh.


Setahun kemudian diadakan Kongres IPPNU di Jogja tahun 1957. Namun, Konferensi Besar sebelumnya di Solo, dinaikan statusnya menjadi Kongres I, sedangkan Kongres di Jogja menjadi Kongres kedua. Dalam Kongres kedua ini, Basyiroh kembali terpilih menjadi ketua umum PP IPPNU.


Praktis, setelah menjadi pucuk pimpinan, Basyiroh mesti banyak berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia. Selain untuk pembentukan cabang baru juga untuk konsolidasi organisasi yang baru seumur jagung berdiri.


Pernah, suatu ketika di tahun 1956, sebagai Ketua PP IPPNU ia ikut diundang dalam Muktamar NU di Medan, Sumatera Utara. “Sebetulnya belum waktunya pulang, tapi disuruh pulang sebab ada pemberontakan PRRI/ Permesta, saya masih ingat kami naik kapal Tampomas,” kata dia.


Pengalaman lain, yang agak lucu namun berkesan baginya, yakni saat ia tengah melakukan kunjungan ke daerah Karesidenan Pekalongan.

 

“Waktu masih aktif di IPPNU, saya sering keliling daerah bersama Bu Umroh. Bahkan, pernah suatu ketika, malamnya nanti saya akan menikah, siangnya saya masih di Batang. Lalu, setelah pamitan dengan tuan rumah dan rekanita lainnya, saya pulang sendiri naik bus,” kata Basyiroh mengingat perjalanan hidupnya.


Hj Basyiroh, sang ketua umum PP IPPNU pertama, wafat pada hari Selasa, 19 Januari 2021 dan dimakamkan di Jenu, Tuban.
[]

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar