Sejarah telah merekam keberadaan ulama-ulama besar dengan kekuatan hafalan yang sangat luar biasa. Fakta di lapangan membuktikan bahwa kekuatan hafalan mereka bagaikan gunung-gunung yang kokoh menjulang tinggi, bagaikan karang di lautan yang tidak pernah berpindah meski harus dihantam ombak yang besar. Salah satu ulama dengan kualitas semacam itu adalah Imam Qatadah bin Da’imah as-Sadusi, atau yang biasa disapa dengan panggilan Imam Qatadah.
Para ulama berbeda pendapat tentang tanggal kelahirannya. Namun, Imam
adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala’ mengatakan, ia lahir pada tahun
60 H, dan wafat pada tahun 118 H. Ia berasal dari suku as-Sadus, yaitu bagian
dari Bani Syaiban, suku Arab bagian utara. Imam adz-Dzahabi menyebut Imam
Qatadah sebagai Hafizhul Ashr (penghafal di masanya) dan Qudwatul Mufassirin
wal Muhadditsin (suri teladannya para ahli tafsir dan ahli hadits). (Imam
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala' [Beirut,
Syria: Muassasah ar-Risalah 1982], juz 1, h. 272).
Ulama yang hidup pada masa tabiin dengan banyak kelebihan ini ternyata tidak
bisa menikmati indahnya belajar menggunakan kedua matanya. Imam Qatadah
terlahir dalam keadaan kedua matanya buta. Namun baginya, kebutaan mata bukan
berarti meniscayakan kebutaan hati dan pikiran.
Justru kondisi itulah yang membuatnya istimewa. Imam Qatadah sama sekali tidak
menjadikan “kekurangannya” itu sebagai penghambat perjuangannya menuntut ilmu.
Dengan kondisi seperti itu, ia mendatangi berbagai tempat ilmu tanpa malu dan ragu.
Semua itu dilakukan karena ia sadar akan derajat dan kemuliaan ilmu. Tentu
perjalanan yang ditempuhnya tidaklah gampang. Tak jarang ia terjatuh. Namun,
baginya fisik bukanlah penentu untuk menjadi orang berilmu. Apalah arti fisik
sempurna jika tidak digunakan untuk mencari ilmu dan mengamalkannya?
Semangatnya yang menggebu dan keinginanya yang menggelora mengalahkan
teman-teman sebayanya ketika belajar.
Pada mulanya, Qatadah menimba ilmu dari sekian banyak shahabat Nabi Muhammad ﷺ yang masih hidup, seperti
Anas bin Malik, Abdullah bin Sarjis, Handzalah al-Katib, Abu Thufail al-Kinani,
Anas bin an-Nadhr, dan sahabat nabi yang lainnya radhiyallahu ‘anhum. Dengan
Istiqamah, Qatadah selalu mendatangi pengajian-pengajian yang mereka
selenggarakan, atau, bahkan bertatap muka secara langsung ketika ia tidak
memahami suatu ilmu.
Setelah periode sahabat selesai, dan diganti periode selanjutnya, yaitu tabiin, Imam Qatadah belajar kepada ulama-ulama besar tabiin yang sezaman dengannya. Imam adz-Dzahabai mencatat bahwa guru Imam Qatadah saat itu terdiri dari 42 tabiin, di antaranya seperti Said bin al-Musayyib, Abul Aliyah, Zurarah bin Aufa, Atha’ bin Abi Rabah, Imam Muhammad bin Sirin, Abi Mulih bin Usamah, Imam Hasan al-Bashri dan yang lainnya. Bahkan, menurut Imam adz-Dzahabi, Qatadah berguru kepada Imam Hasan al-Bashri selama dua belas tahun.
Dengan bermodalkan semangat dan mengandalkan pikirannya, Qatadah mampu melahap
semua ilmu yang diajarkan oleh guru-gurunya. Tidak hanya paham, ia menghafal
semuanya. Maka, tidak heran jika Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam
an-Nubala' mengatakan bahwa ia sebagai Hafidhul Ashr (penghafal di
masanya) dan Qudwatul Mufassirin wal Muhadditsin (suri teladannya para ahli
tafsir dan ahli hadits).
Syekh Ali bin Muhammad asy-Syaukani pernah menceritakan tentang ihwal Imam
Qatadah ketika berguru pada Imam Said bin al-Musayyib. Dalam kitabnya
disebutkan:
أقام
قتادة عند سعيد المسيب ثمانية أيام، فقال له في اليوم الثالث: ارتحل يا أعمى فقد
أنزفتني
Artinya, “Imam Qatadah pernah ingin menetap di (rumah) Imam Said al-Musayyib
selama 8 hari (untuk menimba ilmu darinya), maka Imam Said mengatakan padanya
di hari ketiga: ‘Pergilah wahai penyandang tunanetra, sesungguhnya engkau telah
mencuriku’” (Syekh Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Irsyadu al-Fuhul ila Tahqiqi
al-Haq min Ilm al-Ushul, juz 1, h. 175).
Pada akhirnya, perjalanan panjang yang dilalui Imam Qatadah, pengembaraannya
dalam mencari ilmu yang menguras kekuatan, dengan segala keterbatasannya yang
serba melelahkan berujung manis. Kegigihannya menuai hasil, semangatnya kini
telah terbayar. Ia sukses mendalami berbagai cabang ilmu syariat. Bahkan,
sangat jarang dijumpai ada seorang yang bisa mengunggulinya. Ia menjadi tokoh
bersejarah dalam Islam. Ia adalah orang yang kuat daya ingatannya dalam
menghafal dari kalangan penduduk Bashrah. Tidaklah ia mendengar suatu ilmu
melainkan langsung bisa menghafalnya.
Imam Said al-Musayyib sebagai guru dari Imam Qatadah begitu mengagumi muridnya
yang satu ini. Pujiannya kepada muridnya pernah disampaikan secara langsung,
“Aku tidak menyangka Allah ﷻ menciptakan manusia dengan kekuatan hafalan
sepertimu” (Imam adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, 1982: juz 1, h. 272).
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari sosok seperti Imam Qatadah. Kekurangan
dan keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk menggapai kesempurnaan di
sisi Allah ﷻ. Semuanya kembali pada
tekad, kemauan, dan keikhlasan. []
Sunnatullah, santri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar