Masyarakat menyebut masjid adalah rumah Allah swt yang difungsikan untuk menunaikan shalat. Selain itu, biasanya masjid juga dimanfaatkan untuk proses belajar dan mengajar keagamaan atau ngaji. Namun demikian, banyak hal yang bisa direalisasikan melalui masjid untuk tujuan kemaslahatan umat secara luas.
Hal tersebut menunjukkan bahwa selain dapat menegakkan agama Allah, masjid juga
dapat digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketertiban sosial melalui
dakwah-dakwah keagamaan. Jika di Indonesia terdiri dari masyarakat yang
majemuk, maka masjid hendaklah mendakwahkan kesejukan dalam praktik kehidupan
sehari-hari.
Al-Qur’an menyebut fungsi masjid antara lain di dalam Firman-Nya:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
رِجَالٌ
لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ
وَالْأَبْصَارُ
“Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya pada waktu pagi dan petang. Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan, dan tidak (pula) oleh jual-beli, atau aktivitas apapun dan mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.” (QS. An-Nur: 36-37)
Perintah bertasbih bukan hanya berarti mengucapkan Subhanallah, melainkan lebih
luas lagi, sesuai dengan makna yang dicakup oleh kata tersebut beserta
konteksnya. Sedangkan arti dan konteks-konteks tersebut dapat disimpulkan
dengan kata taqwa.
Sedangkan taqwa sendiri tidak hanya diwujudkan dalam hablum minallah (hubungan
dengan Allah), tetapi juga hablum minannas (hubungan sesama manusia) serta
hablum minal alam (hubungan dengan alam/lingkungan). Di titik ini, masjid
hendaknya menjadi titik tolak perubahan ke arah masyarakat yang berkeadilan di
segala lini.
Terkait arti masjid ini, Pakar Tafsir Al-Qur’an asal Indonesia, Muhammad
Quraish Shihab dalam buku karyanya Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas
Pelbagai Persoalan Umat (Mizan, 2000) menguraikan, kata masjid terulang
sebanyak 28 (dua puluh delapan) kali di dalam Al-Qur’an. Dari segi bahasa, kata
masjid terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta
tunduk dengan penuh hormat dan ta’dzim.
Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai
sujud oleh syariat, adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna
di atas. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan
shalat dinamakan masjid, yang artinya "tempat bersujud."
Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat kaum
Muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat
masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan
kepada Allah semata. Karena itu Al-Qur’an surat Al-Jin ayat 18, misalnya,
menegaskan bahwa:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, karena janganlah menyembah selain Allah sesuatu pun.” (QS Al-Jin: 18)
Selain itu, Quraish Shihab dalam buku yang sama juga mengemukakan bahwa
Rasululullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Telah dijadikan untukku (dan
untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri.” (HR Bukhari dan
Muslim melalui Jabir bin Abdullah).
Jika Rasulullah mengaitkan masjid dengan bumi ini, maka jelas bahwa masjid
bukan hanya sekadar tempat sujud dan sarana penyucian.
Tidak juga hanya berarti bangunan tempat shalat, atau bahkan bertayamum sebagai cara bersuci pengganti wudhu, tetapi masjid juga berarti tempat melaksanakan segala aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah saw. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar