Pertanyaan:
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, sebagian mempertanyakan hukum membeli emas dan perak dengan uang kertas karena dianggap sebagai riba. Bagaimana pandangan Islam terkait praktik jual beli tersebut? Terima kasih atas jawabannya.
(Hamba Allah/Tangerang).
Jawaban:
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada
kita semua. Dalam Islam memang ada larangan untuk menukar emas-perak kecuali
dengan bobot yang serupa karena dikhawatirkan riba sebagaimana keterangan
hadits berikut.
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تبيعوا الذهب بالذهب ولا الورق بالورق إلا سواء
بسواء
Artinya, “Rasulullah saw bersabda, ‘Jangan kalian menjual emas dengan emas,
perak dengan perak kecuali dengan kesamaan.’” (Syekh Taqiyuddin Al-Hishni,
Kifayatul Akhyar, [Beirut: Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 201).
Apakah praktik jual beli emas dengan uang kertas dapat dianggap sebagai bagian
dari larangan tersebut?
Forum Muktamar Ke-5 NU di Pekalongan, Jawa Tengah, pada 1930 M pernah membahas
masalah ini. Para peserta Muktamar merespons praktik jual beli emas dengan uang
kertas yang beredar di masyarakat.
Mereka dihadapkan pada pertanyaan, “Bagaimana hukum membeli emas dengan uang
kertas, dan pendapat manakah yang dipilih oleh Muktamar Ke-5 NU tentang status
uang kertas itu?”
Forum tersebut memutuskan, “Muktamar memilih pendapat yang mengesahkan jual
beli dengan uang kertas tersebut karena menganggap bahwa uang kertas itu
termasuk benda, jadi tidak diharuskan persamaan, timbang-terima (muqabadhah).”
Para kiai yang menjadi peserta Muktamar Ke-5 NU itu mengutip Kitab Syamsul
Isyraq karya Muhammad Ali Al-Maliki berikut ini:
إِذَا
عَلِمْتَ هَذَا كُلَّهُ أَنَّ اْلإِحْتِمَالَ الثَّانِي فِيْ وَرَقِ النَّوْطِ
أَعْنِي احْتِمَالَ كَوْنِهِ كَالْفُلُوْسِ هُوَ الاحْتِمَالُ الرَّاجِحُ
وَاْلأَحْوَطُ فِي الاحْتِمَالَيْنِ الْمَذْكُوْرَيْنِ فِيْهِ لِقُوَّةِ
دَلِيْلِهِ أَمَّا أَوَّلاً فَلِأَنَّهُ إِمَّا قِيَاسٌ بِجَامِعٍ أَوْ تَخْرِيْجٌ
عَلَى قَاعِدَةٍ تَشْمَلُهُ كَغَيْرِهِ وَتِلْكَ الْقَاعِدَةُ هِيَ كُلُّ عَرَضٍ
جَرَى بَيْنَ النَّاسِ مَجْرَى الْعَيْنِ يَتَحَقَّقُ فِيْهِ وَجْهَانِ وَجْهٌ
كَوْنُهُ كَالْعُرُوْضِ وَوَجْهٌ كَوْنُهُ كَالْعَيْنِ وَالنَّقْدِ بِخِلاَفِ
احْتِمَالِ كَوْنِهِ كَسَنَدِ الدَّيْنِ فَإِنَّهُ إِمَّا قِيَاسٌ بِدُوْنِ
جَامِعٍ أَوْ تَخْرِيْجٌ عَلَى قَاعِدَةٍ لاَ تَشْمُلُهُ كَغَيْرِهِ
Artinya, “Jika Anda mengetahui ini semua bahwa kemungkinan yang kedua perihal
uang kertas, yakni kemungkinan keberadaannya sama dengan fulus (uang logam)
merupakan kemungkinan yang lebih unggul dan lebih berhati-hati, karena kuatnya
dalil atasnya. Adapun yang pertama maka karena berdasarkan qiyas dengan satu
titik temu atau mentakhrij pada kaidah yang mencakupnya, sebagaimana selainnya.
Maksud kaidah tersebut adalah: ‘Semua benda yang berlaku dimasyarakat
sebagaimana emas dan perak (sebagai alat tukar), maka di dalamnya ada dua dua
sudut pandang. Pertama, keberadaannya seperti komoditas (barang). Kedua,
keberadaannya seperti emas dan perak (alat tukar). Berbeda dengan kemungkinan
keberadaannya sebagai jaminan utang, karena mungkin hal itu merupakan qiyas
tanpa titik temu atau mentakhrij pada kaidah yang tidak mencakupnya,
sebagaimana selainnya.” (Syekh Muhammad Ali al-Maliki, Syamsul Isyraq fi Hukmit
Ta’ammuli bil Arwaq, [Mesir: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah: 1921 M], halaman
105).
Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
(Alhafiz Kurniawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar