Para sahabat Nabi Muhammad SAW merupakan auliya atau wali Allah sekaligus ulama. Manusia-manusia yang begitu dekat dengan Allah seperti halnya Nabi Muhammad. Namun, jika diperhatikan, kisah-kisah karomah atau keistimewaan lebih banyak terdapat pada para wali setelah masa sahabat Nabi. Dengan kata lain, lebih banyak cerita karomahnya para wali ketimbang sahabat.
Memandang hal itu, Habib Luthfi bin Yahya dalam Secercah Tinta (2012)
menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Muhammad, tidak perlu yang namanya karomah
itu. Karena keimanan mereka langsung diterima oleh Rasulullah. Dengan kata
lain, tidak membutuhkan penguat lainnya berupa karomah itu.
Mendekati keimanan para sahabat ialah golongan tabi’in yang hidup menjumpai
para sahabat. Jaminan keimanan mereka langsung diketahui dari para sahabat
Nabi. Walaupun mereka tidak melihat Rasulullah, mereka sudah bercermin kepada
para sahabat Nabi.
Mereka menyadari kedudukan para sahabat yang hebat dan luar biasa, apalagi Rasulullah, tidak bisa diukur. Maka untuk meyakini dan beriman, tidak perlu adanya karomah. Tetapi setelah era tabi’in, karomah yang datang dari Allah itu perlu.
Perlu adanya karomah macam karomahnya Syekh Abdul Qadir Jailani dan wali-wali
lainnya. Munculnya karomah di tangan ulama-ulama besar seperti Syekh Abdul
Qadir Jailani untuk mengangkat kepercayaan masyarakat umum supaya lebih tebal
terhadap mukjizat Nabi Muhammad.
Menurut Habib Luthfi, tujuan dari karomah-karomah ulama-ulama dan para wali
ialah untuk menunjukkan mukjizat para Nabi terdahulu. Karomah-karomah itu
membawa, menolong, dan menguatkan keyakinan orang-orang awam. Keyakinan orang
awam dan kepercayaannya terhadap Al-Qur’an serta yang terkandung di dalamnya
akan semakin tebal.
Karomah yang dimiliki oleh wali itu tidak hanya nampak ketika hidup saja. Tetapi setelah wafat, waliyullah masih diberi karomah. Dan bagi pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah, kepercayaan terhadap adanya waliyullah dan karomah itu perlu diyakini secara baik. Bahkan empat imam madzhab sudah bersepakat mengenai karomah yang ada para wali ketika hidup maupun sudah wafat.
Wali menurut KH Sholeh Darat As-Samarani (gurunya KH Hasyim Asy’ari) adalah
seorang ‘arif billah' (mengetahui Allah) sekedar derajat dengan menjalankan
secara sungguh-sungguh taat kepada Allah dan menjauhi maksiat. Artinya para
wali itu menjauhi segala macam kemaksiatan berbarengan dengan selalu bertobat
kepada Allah. Sebab wali itu belum kategori ma’shum (terjaga) seperti
Nabi.
Maka wali belum bisa meninggalkan maksiat secara penuh. Makanya mereka disebut
waliyullah. Keberadaan wali yang sedemikian agung ini mendapatkan keistimewaan
dalam hidupnya. Mereka dalam hidupnya selalu mengingat dan menggantungkan diri,
dan menyatukannya pada Allah. Hati selalu menghadap dan pasrah dengan takdir
Allah saja. Itulah definisi sederhana mengenai wali menurut Mbah Sholeh Darat.
Adapun karomah menurut Mbah Sholeh Darat sesuatu yang nulayani adat (berbeda dari sewajarnya) jika dilihat secara kasat mata. Mereka yang mendapat karomah selalu menunjukkan kepribadian baik dan meniru jejak Rasulullah dengan bekal syariah dan baik secara ideologi serta perilakunya.
Karomah yang dimiliki oleh wali itu tidak hanya nampak ketika hidup saja.
Tetapi setelah wafat, waliyullah masih diberi karomah. Dan bagi pengikut
Ahlussunnah wal Jama’ah, kepercayaan terhadap adanya waliyullah dan
karomah itu perlu diyakini secara baik. Bahkan empat imam madzhab sudah
bersepakat mengenai karomah yang ada para wali ketika hidup maupun sudah wafat. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar