Siapa yang tidak kenal Imam Syafi’i. Seorang sarjana Islam independen terkemuka, menguasai multidisiplin keilmuan Islam, dan terhitung sebagai mujtahid mutlak; sebuah pencapaian intelektual yang sulit dicapai, apalagi zaman sekarang. Tapi, bagaimana mungkin ulama legendaris itu ‘gemetar’ saat ditanya sebuah dalil.
Dalam diskursus Ushul Fiqih, secara global, dalil syari’at terbagi menjadi dua:
dalil yang disepakati oleh Imam Empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali)
dan dalil yang tidak disepakati oleh keempat Imam tersebut. Kemudian, dalil
yang disepakati disebut sebagai al-Adillah al-Muttafaq ‘Fiha, sementara dalil
yang tidak disepakati semua imam mazhab disebut al-Adillah al-Mukhtalaf Fiha.
Perbedaannya, jika dalil yang disepakati, berarti semua imam mazhab
menggunakannya sebagai landasan hukum Islam (syari’at). Sebaliknya, dalil yang
tidak disepakati adalah dalil yang tidak semua imam mazhab mengadopsinya
sebagai dasar hukum.
Salah satu dalil yang disepakati itu adalah ijma’ atau konsensus para ulama.
Posisi ijma’ sendiri berada pada urutan ketiga setelah Al-Qur’an dan hadits.
Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengulas sebuah kisah Imam Syafi’i
berkaitan dengan dasar hukum Islam ketiga itu (ijma’).
Namun, sebelum itu, penulis ingin menegaskan bahwa dasar mengapa ulama
menggunakan ijma’ adalah Al-Qur’an. Di antaranya adalah ayat Al-Qur’an berikut,
وَمَن
يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ
غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ
وَسَآءَتۡ مَصِيرًا
Artinya, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa
[4]: 115)
Ayat di atas menegaskan, bahwa orang yang tidak mengikuti jalan orang-orang
Mukmin, akan mendapat ancaman neraka Jahannam. Atas dasar inilah, orang yang
tidak setia pada konsensus para ulama (ijma’), berarti masuk dalam ancaman itu.
(lihat Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal. 47)
Dalam kitab Al-Imla’ (hal. 141-143) (kitab komentar dari Syarah Mahalli atas
Al-Waraqat) oleh Dr Amjad Rasyid, mengutip kisah Imam Syafi’i yang ditanyai
oleh seorang kakek misterius terkait dasar penggunaan ijma’ sebagai salah satu
landasan hukum Islam.
Dikisahkan, pada suatu hari, waktu antara zuhur dan ashar. Imam Syafi’i tengah
bersandar di sebuah tiang (riwayat lain mengatakan bukan tiang). Tiba-tiba
datang seorang kakek misterius dengan mengenakan jubah, imamah, dan sarung.
Semua yang dikenakan kakek itu terbuat dari shuf (bulu domba). Tangannya
memegang sebuah tongkat. Tampak sekali kewibawaannya.
Imam Syafi’i yang melihat kehadirannya, segera berdiri untuk merapikan pakaian.
Lalu duduk. Kakek itu mengucapkan salam dan turut duduk. Betapa Imam Syafi’i melihat
kakek itu penuh dengan kewibawaan.
Sang kakek berkata, “Saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan.”
“Silakan,” jawab Imam Syafi’i.
“Apa dasar dari agama Allah?” tanya sang kakek.
“Al-Qur’an.”
“Lalu, apa lagi?”
“Sunnah Rasulullah saw.”
“Lalu?”
“Konsensus (ijma’) para ulama.”
“Apa landasan-landasan Anda mengatakan konsensus para ulama?” desak sang kakek.
“Al-Qur’an.”
“Jika Al-Qur’an, lalu, ayat yang mana?” lanjutnya mendesak.
Kali ini Imam Syafi’i tidak langsung menjawab. Berpikir sejenak.
Imam Syafi’i masih belum juga menjawab. Menyadari demikian, sang kakek
memberinya jedah waktu tiga hari untuk Imam Syafi’i, guna mencarikan jawaban.
“Saya beri waktu tiga hari tiga malam. Jika engkau menemukan ayat dari
Al-Qur’an itu, kau benar. Jika tidak, maka bertaubatlah!” tegas kakek.
Wajah Imam Syafi’i tampak pucat pasi. Lalu ia pergi dan tidak terlihat selama
tiga hari tiga malam itu, untuk berusaha dan mencari petunjuk kepada Allah swt.
Tiga hari telah berlalu. Artinya, waktu Imam Syafi’i telah habis. Imam Syafi’i
pun kembali ke tempat bertemu sang kakek tiga hari yang lalu, di waktu antara
zuhur dan ashar. Dalam waktu tiga hari itu, tentu Imam Syafi’i berusaha keras
dan berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah swt. Terbukti, wajah, kedua tangan,
dan kedua kaki Imam Syafi’i, terlihat membengkak. Badannya pun terlihat kurang
sehat.
Imam Syafi’i pun duduk di tempat biasa dengan gerakan yang lamban. Sang kakek
datang, mengucap salam, lalu duduk seperti pada pertemuan pertama.
“Silakan, berikan jawabanmu,” sang kakek memulai.
“Baik,” jawab Imam Syafi’i. Kemudian dilanjut dengan membaca ayat Al-Qur’an
berikut,
أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ:
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ
غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا
Artinya, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa
[4]: 115)
“Jawabanmu tepat,” timpal sang kakek.
Kakek itu pun berdiri dan pergi. Belakangan, menurut Tajuddin As-Subki, kakek
itu adalah Nabi Khidir.
Kisah Imam Syafi’i di atas mengandung pesan moral yang sangat penting. Kita
tahu, Imam Syafi’i adalah ulama besar yang tidak diragukan lagi keilmuannya.
Kebesaran Imam Syafi’i diakui oleh banyak ulama. Imam Ahmad bin Hambal (w. 241
H) pernah berkata, “Imam Syafi’i itu laksana mentari bagi dunia dan kesembuhan
bagi tubuh. Setelahnya, tidak ada orang yang menandingi kebesarannya.”
Syekh Yunus bin Abdul A’la (w. 264 H) juga pernah berkata, “Andaikan
dikumpulkan seluruh ulama, maka tidak akan mampu menandingi kecerdasan Imam
Syafi’i.”
Namun, kebesaran dan keluasan ilmu Imam Syafi’i tidak membuatnya sombong.
Bahkan sangat tawaduk. Dalam kisah di atas, saat Imam Syafi’i belum tahu jawaban
akan sebuah pertanyaan yang diajukan sang kakek misterius, ia tidak gengsi
untuk tidak menjawab. Karena memang belum tahu jawabannya.
Lebih dari itu, kisah di atas juga menunjukkan betapa tanggung jawab akademik
seorang Syafi’i begitu besar. Dilihat dari kondisi fisiknya yang tidak
baik-baik saja setelah tiga hari tiga malam mencari jawaban, membuktikan bahwa
Syafi’i sangat bersungguh-sungguh, baik zahir maupun batin, dalam berusaha
mendapatkan jawaban yang tepat.
Pada hari ini, saat banyak orang mengaku sebagai ulama dengan kapasitas
keilmuan dan moral jauh dari cukup, kisah Imam Syafi’i menjadi bahan
introspeksi. Imam Syafi’i saja tidak terburu-buru menjawab apa yang belum
diketahuinya. Masak ada orang dengan kapasitas ilmu di bawah standar, dengan lantang
mengaku ulama dan dengan jumawa mengaku paling benar.
[]
Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS
Kempek Cirebon, Mahasantri Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar