Term Ilmu Kalam Jadid yang mentransformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, tidak hanya mencoba menyibak masalah-masalah teologis antroposentris, tetapi juga menghadirkan Maqasid Kalamiyah yang lebih humanis dan demokratis.
Tidak dapat dipungkiri, Ilmu Kalam pada awal perkembangannya menghadirkan
dialektika agama yang banyak menjadi awal percikan api di antara sekte-sekte
muslim kala itu, yang pada akhirnya mengakibatkan pertumpahan darah antarsesama
muslim, hal ini dapat kita lihat dalam banyak jejak sejarah umat Islam, salah
satunya adalah pertikaian antara Sunni dan Syiah yang sampai sekarang belum
menemui titik terang, maka muncullah pertanyaan, bagaimana kita
mentransformasikan Ilmu Kalam yang kental akan pertikaian kepada Ilmu Kalam
tanpa pertikaian?
Kecenderungan diskursus kemanusiaan di masa Renaissance pada Abad Kelima Belas
dan Abad Ketujuh Belas telah mencapai titik puncak. Pada masa ini, orang-orang
di Barat meyakini bahwa manusia dan segala sesuatu harus dikaji dengan akal
kritis dan metode ilmu empirik. Mereka yang mengikuti pemikiran ini berkata
Kitab Suci juga tidak ada bedanya dengan hal lainnya. Karena itu, ia harus
ditelisik, dikaji dan dikuliti di laboratorium ilmiah.
Menyikapi fenomena ini, para teolog Kristen, untuk melakukan pembelaan atas
iman Kristiani dan penyelarasannya dengan kondisi baru, berusaha melahirkan
sebuah disiplin ilmu baru yang disebut sebagai The Modern Theology atau New
Theology (Kalam Jadid). Peletak dasar term Modern Theology ini adalah
Schleiermacher (w 1834) yang lebih menekankan pada persoalan seperti Pengalaman
Religius, Kristologi, Tafsir-tafsir Baru atas Doktrin-doktrin Kristen
semisal Wahyu, Keselamatan dan Trinitas.
Term Kalam Jadid pertama kali diperkenalkan dalam pemikiran Islam (Sunni) oleh
Syibli Nu’mani (w 1914) dan dalam kosmos pemikiran Syiah, Murtadha Muthahhari
yang mengajak pemikir Muslim untuk mengonstruksi Ilmu Kalam dengan
memperhatikan masalah-masalah baru dalam Teologi, seperti sebab-sebab
kemunculan Agama, wahyu dan ilham, dalil-dalil pembuktian wujud Tuhan, imamah
dan kepemimpinan.
“Baru” (jadid) merupakan sifat bagi masalah-masalah teologis. Artinya pada masa
lalu, Kalam lebih banyak berkutat dengan masalah-masalah dalam ketuhanan dan
eskatologi, namun dewasa ini lebih banyak pada ranah kemanusiaan
Dalam perkembangannya, Ilmu Kalam yang bertransformasi dari pembahasan langit,
menjadi pembahasan bumi, turut menyuguhkan maqasid yang bersifat humanis dan
demokratis, lebih concern kepada objek pembahasan, dan menyingkirkan fanatisme
serta anarkisme dalam praktiknya. Dr. Romzi Tfifha dalam seminar yang bertajuk
“Ilmu Kalam Baru dan Pembaharuan Diskursus Agama” di Universitas Az-Zaitunah,
Fakultas ‘Ulum Islamiyyah, Kairouan, Tunisia, memaparkan bahwa Maqasid Syariah
tidak hanya berkutat pada permasalahan Fiqih, tetapi “bermain” juga dalam ranah
Ilmu Kalam.
Dalam ranah Ilmu Kalam, Maqasid Kalam tidak hanya bertujuan untuk membentengi
aqidah umat dari berbagai paham luar yang membahayakan dan melakukan serangan
balik terhadap berbagai syubuhat, sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Khaldun
dalam magnum opus-nya, tetapi Maqashid Ilmu kalam ditarik lebih luas dan
condong kepada sisi kemanusiaan, setidaknya ada enam asas dalam maqasid ilmu
kalam baru, berbeda dari Maqasid Syariah yang menghadirkan lima asas.
Pertama, Hifzu al-Din yang tentu saja menjaga aqidah muslim dari
syubhat-syubhat, asas ini berfokus pada urusan hati, sehingga umat muslim bisa
terhindar dari dogma menyimpang dan syubhat yang tersebar. Tidak berhenti
sampai di situ, asas ini pula pada akhirnya memberikan kemampuan pada umat
untuk memberikan antitesa atas dogma yang salah dan syubhat yang dilontarkan,
maka, tujuan Ilmu Kalam Baru harus tetap bertujuan membentengi aqidah
umat.Inilah identitas utama Ilmu Kalam.
Kedua, Hifzu al-‘Aql, peran ini berupaya menjaga akal manusia agar tetap
berpikir logis dan tidak bersifat fanatik dalam dialektika-dialektika ini.
dengan tujuan ini, para teolog diharapkan mampu menafsirkan
permasalahan-permasalahan ilmu kalam baru dengan akal sehat sembari
menghadirkan metode filosofis. Karena Ilmu Kalam baru menitikberatkan logika
dan argumen empirik dalam membangun tesisnya. Pasalnya, logika dan argumen
empirik merupakan gaya khas dari Ilmu Kalam Baru ini.
Ketiga, Menjaga sistem kehidupan yang toleran, ini merupakan titik yang sangat
ditekankan dalam Ilmu Kalam Jadid, sehingga diskursus yang dihadirkan di
dalamnya adalah soal kemanusiaan yang inklusif, dan penyikapan baik atas
perbedaan yang terjadi di masyarakat, bukan hanya substansinya yang menjunjung
tinggi toleransi, tetapi metodenya juga harus bersifat toleran, sehingga para
teolog dapat berdialog dengan saling menghargai pendapat. Sistem sosial ini
sangat sentral dalam dialog transopini, bahkan transideologi, sehingga output
dialog ini adalah solusi yang dihadirkan oleh kedua belah pihak, bukan
pertikaian yang memperkeruh keadaan dan merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Poin ini, di satu sisi menghadirkan rasa tenang atas keselamatan fisik mereka
dari tindakan-tindakan anarkis atas gesekan opini yang muncul, dan di sisi lain
menghadirkan kenyamanan dalam masyarakat, tanpa adanya penghakiman yang
dilontarkan oleh kelompok yang berseberangan pendapat, dan pucuknya adalah
kewarasan dan kesehatan mental masyarakat dalam membangun peradaban. Karena
tabiat manusia adalah hidup bermasyarakat, maka penting dihadirkannya rasa
keamanan dan kenyamanan antarindividu atau bahkan antarkelompok.
Keempat, Menjaga demokrasi. Dengan tetap menjaga kebebasan berpendapat, manusia
akan menghasilkan sintesis dari dialektika yang disuguhkan, tanpanya, hanya
akan menimbulkan kejumudan dalam berpikir, dan hanya akan menghasilkan
kediktatoran dengan memaksakan subjektivitas satu sudut. Dr Romzi menjelaskan
bahwasanya asas ini harus didasarkan pada hak sesama manusia dalam berpendapat.
Kelima, Menjaga keluhuran manusia. karena corak Ilmu Kalam baru ini lebih fokus
terhadap kemanusiaan, maka, esensi dialektika dalam Ilmu Kalam Baru ini juga
harus bertujuan untuk memuliakan identitas manusia.
Emosional manusia dalam berdialog merupakan hal krusial, maka, moral manusia
dalam berdialektika juga harus dijunjung tinggi, agar tidak saling menjatuhkan
dan mencemarkan nama baik lawan diskusi. Asas ini akan menumbuhkan rasa saling
menghormati. Tidak hanya substansi pembahasannya yang menjaga keluhuran
identitas manusia, tetapi juga menjunjung tinggi moralitas manusia dalam
dialog.
Keenam, Menjaga utopia masyarakat. Mimpi masyarakat untuk menciptakan utopia
peradaban harus tetap dijaga secara harmonis, Peran Ilmu Kalam baru dalam
membangun masyarakat berkualitas terkadang menjadi hal yang dipandang sebelah
mata, pasalnya, ilmu kalam alih-alih menumbuhkan kemesraan dalam masyarakat,
malah menimbulkan berbagai intrik yang mengakibatkan perpecahan di dalam masyarakat,
sehingga menjadi faktor pengacau tatanan masyarakat.
Maka, ilmu kalam baru diharapkan dapat menghadirkan diskursus yang kental
dengan kedamaian dan keromantisan masyarakat dalam proses dialektikanya, maupun
pada output yang dihasilkannya. Asas ini seyogyanya didasarkan oleh masyarakat
agamis yang kualitatif, dan kesadaran individu terhadap toleransi dan
demokrasi.
Semua asas ini selain menunjukkan batas-batas ranah Kalam Baru, juga mencoba
menunjukkan aksiologis Ilmu Kalam yang sebelumnya hanya dipandang sebagai ilmu
yang membuahkan perpecahan dan pertikaian tanpa adanya output yang kualitatif.
Filsafat nilai yang dihadirkan Romzi adalah sebuah reformasi terhadap nilai
ilmu ini, nilai ini yang nantinya akan menghasilkan banyak sintesa atas
dialektika yang disuguhkan para teolog, dan disamping itu, menggunakan metode
yang lebih etis. Dari sini dapat kita peras pemikirannya menjadi dua nilai
utama yang ia junjung tinggi, yaitu, kemanusiaan dan demokrasi.
Dua pilar yang dibangun untuk Ilmu Kalam baru ini diproyeksikan untuk
menghadirkan toleransi beragama, dan bermasyarakat, memperluas tujuan awal yang
dibentuk oleh ulama-ulama di masa lampau (Membentengi aqidah umat dari berbagai
paham luar yang membahayakan dan melakukan serangan balik terhadap syubuhat)
Akhir kata, dengan maqasid ini, Romzi Tfifha menawarkan gaya Ilmu Kalam Baru
yang akan lebih menonjol, tidak hanya pembahasannya yang antroposentris,
metodenya yang filosofis, tapi juga menyuguhkan tujuan yang humanis dan
demokratis. Bukan hanya keluar dengan sintesa yang maksimal, dialektika Ilmu
Kalam Baru juga akan lebih menjaga keharmonisan masyarakat karena corak
toleransinya yang kental sehingga Ilmu Kalam akan ikut andil dalam pembangunan
peradaban bangsa. []
Ahmad Hashif Ulwan, mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunisia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar