Pertanyaan:
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Redaktur NU Online mohon bertanya, tentang seorang khatib yang menjawab panggilan telpon saat khutbah Jumat, apakah diberbolehkan atau tidak? Terima kasih atas jawabannya.
(Hamba Allah-Malaysia).
Jawaban:
Wa’alaikumus salam wr.wb. Penanya dan pembaca budiman, semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua.
Berkaitan apakah seorang khatib boleh menjawab panggilan telpon saat khutbah
Jumat, maka ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu tentang hukum berbicara
di tengah-tengah khutbah, dan syarat ketersambungan atau muwâlah khutbah.
Pertama, dilihat dari sisi berbicara saat khutbah maka merujuk mazhab Syafi’i
hukumnya tidak haram. Meskipun ada warning dari Nabi saw untuk diam saat
khutbah berlangsung sebagaimana hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim
yang sering dibaca bilal sebelum khatib naik mimbar, namun menurut mazhab
Syafi’i hal itu tidak otomatis mengharamkan bicara saat khutbah berlangsung.
Sebab ada pula hadits-hadits shahih yang menunjukkan Nabi saw berbicara atau
menjawab pertanyaan orang lain di tengah pelaksanaan khutbah Jumat. Di
antaranya adalah riwayat sebagaimana berikut.
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ يَقُولُ: دَخَلَ رَجُلٌ الْمَسْجِدَ وَرَسُولُ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ مَتَى السَّاعَةُ؟ فَأَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ أَنِ اسْكُتْ. فَسَأَلَهُ
ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، كُلُّ ذَلِكَ يُشِيرُونَ إِلَيْهِ أَنِ اسْكُتْ. فَقَال لَهُ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ الثَّالِثَةِ: وَيْحَكَ مَاذَا
أَعْدَدْتَ لَهَا. وَذَكَرَ الْحَدِيثَ. رواه البيهقى باسناد صحيح
Artinya, “Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: ‘Ada lelaki masuk ke
masjid sementara Rasulullah saw sedang ada di mimbar hari Jumat. Lalu lelaki
itu bertanya: ‘Wahai Rasulullah, kapan hari kiamat datang?’ Maka orang-orang
pun memberi isyarat kepadanya untuk diam. Lelaki itu masih mengulangi
pertanyaannya sampai tiga kali. Setiap ia mengulanginya, orang-orang pun
memberi isyarat kepadanya untuk diam. Lalu pada ketiga kalinya Rasulullah saw
menjawab: ‘Celaka kamu, apa yang engkau persiapkan untuknya? Lalu Anas
menyebutkan perbincangan selanjutnya’.” (HR al-Baihaqi dengan sanad yang
shahih).
Dari hadits seperti ini kemudian mazhab Syafi’i merumuskan bahwa hukum
berbicara saat khutbah berlangsung adalah tidak haram, namun sekadar makruh.
Sebab dalam hadits tersebut Nabi saw tidak mengingkarinya dan menegaskan
kewajiban untuk diam. Andaikan berbicara di saat khutbah Jumat hukumnya haram,
maka pasti saat itu Nabi saw menegaskan keharamannya. Dari sini pula dipahami bahwa
perintah untuk diam saat khutbah Jumat, baik yang ada dalam Al-Qur’an maupun
hadits adalah perintah sunnah, sehingga hukum meninggalkannya sekadar makruh,
tidak sampai haram. (Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I’ânatut Thâlibîn, [Beirut,
Dârul Fikr,], juz II, halaman 86); dan (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû’,
juz IV, halaman 525).
Kedua, dilihat dari sisi ketersambungan khutbah atau muwâlah. Untuk keabsahan
khutbah Jumat menurut pendapat al-Azhar (yang kuat), disyaratkan ketersambungan
antara rukun-rukun khutbah, serta ketersambungan antara dua khutbah dan shalat
Jumat, sehingga bila terpisah dengan jeda yang cukup lama—dengan kadar waktu
yang cukup untuk melakukan shalat dua rakaat secara paling cepat dengan
melakukan yang wajib-wajib saja, kira-kira 3-4 menit—, maka khutbahnya tidak
memenuhi syarat.
قوله
(وَالْأَظْهَرُ اشْتِرَاطُ الْمُوَالَاةِ) بَيْنَ أَرْكَانِهِمَا وَبَيْنَهُمَا
وَبَيْنَ الصَّلَاةِ بِأَنْ لَا يَفْصِلَ طَوِيلًا عُرْفًا بِمَا لَا تَعَلُّقَ
لَهُ بِمَا هُوَ فِيهِ ... وَمَرَّ اخْتِلَالُ الْمُوَالَاةِ بَيْنَ
الْمَجْمُوعَتَيْنِ بِفِعْلِ رَكْعَتَيْنِ بِأَقَلِّ مُجْزِئٍ فَلَا يَبْعُدُ
الضَّبْطُ بِهَذَا هُنَا وَيَكُونُ بَيَانًا لِلْعُرْفِ
Artinya, ‘Pendapat al-Adhar menyaratkan ketersambungan antara rukun-rukun
khutbah dan antara dua khutbah dengan shalat Jumat, yaitu imam tidak memisahnya
dengan jeda yang menurut umumnya dianggap lama, memisahnya dengan hal-hal yang
tidak ada hubungannya dengan khutbah yang sedang dilakukannya … dan telah lewat
keterangan tentang rusaknya ketersambungan antara dua shalat yang dijama’ sebab
melakukan shalat dua rakaat secara paling ringkas, maka dalam kasus khutbah
Jumat ini juga dapat dibatasi dengan batas tersebut, dan hal ukuran jeda dua
rakaat secara paling ringkas ini menjelaskan ukuran jeda yang umumnya dianggap
lama. (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfahtul Muhtâj dicetak bersama Hawasyis
Syirwâni wal ‘Ubbâdi, juz II, halaman 457).
Dari dua pertimbangan ini maka dapat disimpulkan, hukum seorang khatib yang
menjawab panggilan telpon saat khutbah Jumat adalah boleh, hanya saja bila
sampai memutus ketersambungan khutbah karena memakan waktu jeda yang cukup
lama—dengan kadar waktu yang cukup untuk melakukan shalat dua rakaat secara
paling ringkas, kira-kira 3-4 menit—, maka khutbahnya tidak memenuhi syarat,
dan sudah semestinya diulangi.
Pun demikian, sebaiknya hal itu dihindari. Sudah semestinya khatib fokus dalam
khutbahnya dan tidak melakukan aktivitas-aktivitas lain yang tidak ada
hubungannya dengan khutbah. Meskipun tidak membatalkan khutbah Jumat, namun menjawab
panggilan telpon saat khutbah jelas-jelas menjadikan Jumatan yang dilakukan
tidak sempurna.
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِذَا قُلْتَ
لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغِيتَ. متفق
عليه
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda:
‘Ketika kamu berkata ‘diam’ kepada temanmu saat hari Jumat, sementara Imam
sedang berkhutbah, maka shalat Jumatmu sia-sia’.” (Muttafaq ‘Alaih). (Ibnu
Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bâri, [Beirut, Dârul Ma’rifah: 1379 H), juz II,
halman 414).
Demikian jawaban kami, semoga dapat dipahami secara baik. Kami selalu terbuka
untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca. Wassalamu ’alaikum wr. wb. []
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar