Rabu, 28 Juli 2021

Satrawi: Kearifan Lokal dan Peran Penyintas Covid-19

Kearifan Lokal dan Peran Penyintas Covid-19

Oleh: Hasibullah Satrawi

 

Peningkatan kasus Covid-19 setelah Lebaran yang diperkirakan oleh banyak pihak pelan-pelan menjadi kenyataan. Secara nasional, hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kasus baru Covid-19 yang mencapai puluhan ribu per hari, sesuai laporan harian yang dilakukan pemerintah. Sementara secara lokal, hal ini bisa dilihat dari ditemukannya peningkatan kasus Covid-19 di beberapa daerah, seperti di Kudus, Jawa Tengah; Bangkalan, Jawa Timur; dan beberapa daerah lain.

 

Semua kita tentu berharap persoalan Covid-19 tidak terus berkembang seperti di India beberapa waktu lalu. Sebaliknya, kita berharap Covid-19 segera terkendali dan selesai secara total. Hingga kita semua bisa segera kembali pada kehidupan normal seperti sebelum pandemi Covid-19.

 

Pemerintah menerapkan PPKM darurat untuk merespons situasi yang memburuk. Menurut hemat penulis, ada beberapa masalah serius terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 selama ini yang harus diperbaiki seiring dengan penerapan PPKM darurat. Salah satunya adalah kebimbangan pemerintah pusat antara prioritas ekonomi dan pandemi.

 

Kebimbangan pemerintah terkait dengan persoalan ini sangat terasa sejak awal terjadinya munculnya kasus Covid-19 di Indonesia. Inilah yang kemudian menimbulkan hal-hal paradoks yang pada akhirnya berdampak terhadap kepercayaan dan keseriusan masyarakat untuk sama-sama menegakkan protokol kesehatan.

 

Keputusan melarang mudik Lebaran 2021 bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari yang telah disampaikan. Di satu sisi, masyarakat dilarang mudik untuk menekan penularan Covid-19. Tapi di sisi lain, tempat wisata sempat dinyatakan dibuka. Bahkan di saat masyarakat dilarang mudik, beberapa pekerja asing diberitakan berdatangan ke Indonesia.

 

Adalah benar bahwa ekonomi dan kesehatan sejatinya bukan pilihan. Tapi dalam rangka penyelesaian pandemi, seharusnya ada prioritas yang ditetapkan, yaitu penyelesaian pandemi. Dalam hemat penulis, pemerintah pusat dari awal tidak menetapkan pilihan ataupun prioritas. Sekarang mungkin sudah tak bisa lagi menetapkan sebuah prioritas dan pilihan; mengingat di satu sisi, semua pihak sudah merasa berkorban demi Covid-19 dan di sisi yang lain, semua pihak harus mengurus dapur masing-masing.

 

Masalah lain yang tak kalah serius adalah kepemimpinan krisis yang lemah dalam menghadapi pandemi Covid-19 dengan seluruh dampak yang ditimbulkan. Di satu sisi ada satgas khusus yang dibentuk oleh pemerintah untuk menangani Covid-19. Tapi di sisi lain, ada banyak otoritas lain yang bisa memengaruhi kinerja satgas hingga tak jelas siapa/lembaga mana yang bertanggung jawab atas apa.

 

Sudah pasti tak ada seorang pun yang ingin terinfeksi virus korona baru. Sebagaimana sudah pasti tak ada pihak/lembaga mana pun yang ingin salah dan atau dipersalahkan. Namun, hal ini tak berarti tidak ada keputusan yang harus diambil oleh lembaga terkait.

 

Sebagaimana hal ini juga tak berarti tidak ada sebuah otoritas atau lembaga tertentu yang harus bertanggung jawab, termasuk bila terjadi kesalahan tertentu dari kebijakan yang ada. Dan bila sampai ada lembaga/otoritas yang seakan tak mau mengambil keputusan karena takut akan terjadinya sebuah kesalahan lalu dipersalahkan, itulah salah satu tanda kepemimpinan krisis yang lemah.

 

Masalah lain yang tak kalah serius adalah sikap sebagian masyarakat yang cenderung abai bahkan tak percaya terhadap Covid-19. Ibarat rumah yang berada dalam hantaman badai yang sangat kuat, sikap sebagian masyarakat yang cenderung abai bahkan tak percaya terhadap Covid-19 mempercepat dan memperparah kehancuran rumah itu.

 

Tentu ada banyak hal yang membuat sebagian masyarakat cenderung abai atau tidak percaya terhadap persoalan Covid-19, dimulai dari persoalan pendidikan, kepercayaan, kebutuhan hidup, hingga kebobrokan moral dari oknum penyelenggara negara, khususnya yang terkait dengan penanganan Covid-19, seperti korupsi dana bantuan sosial terkait Covid-19, jual beli alat tes Covid-19, dan yang lainnya. Semua ini telah membuat rumah besar Indonesia kita sangat rapuh.

 

Evaluasi 

 

Untuk menghadapi masalah-masalah di atas, pemerintah harus segera memperbaiki dan mengevaluasi kinerjanya dengan memperhatikan kredibilitas, soliditas, bersih, dan bertanggung jawab. Hingga kebijakan dan program-program yang dilakukan oleh pemerintah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Dalam konteks seperti ini, segala bentuk penyimpangan seperti korupsi, praktik jual beli tes, dan yang lainnya tak boleh terjadi kembali.

 

Selaras dengan perbaikan kinerja pemerintah, kampanye penyadaran terkait Covid-19 harus dilakukan secara lebih massif dan terus-menerus. Dalam hemat penulis, sangat penting memperhatikan aspek kearifan lokal dalam kampanye penyadaran Covid-19 ini, baik dari sisi konten (message) ataupun dari sisi penyampai pesan (messenger).

 

Untuk wilayah-wilayah yang dikenal sangat religius, kampanye penyadaran Covid-19 kepada masyarakat luas bisa menggunakan materi-materi keagamaan yang juga disampaikan oleh tokoh-tokoh panutan seperti tokoh agama. Hingga masyarakat bisa menangkap lebih mudah pesan yang ada dan terdorong untuk melakukan protokol kesehatan yang tak hanya dianggap sebagai kepentingan dunia, melainkan juga menjadi kepentingan akhirat.

 

Sebagai contoh, keimanan terhadap takdir yang sangat kuat di kalangan masyarakat bisa digunakan untuk kampanye penyadaran Covid-19; bahwa semua yang terjadi di muka bumi adalah takdir Allah SWT; bahwa semua yang belum terjadi merupakah ”wilayah ikhtiar atau upaya” yang bisa dilakukan untuk mendapatkan takdir baik (seperti pernah disampaikan oleh sahabat Umar bin Khattab dalam riwayat yang sangat terkenal itu).

 

Untuk mereka yang sudah terpapar Covid-19, semuanya telah menjadi takdir Allah SWT. Tapi untuk masyarakat yang belum terpapar, wilayah ikhtiar masih terbuka untuk memperjuangkan nasib dan takdir yang lebih baik, yaitu tidak terpapar Covid-19 dengan mengamalkan protokol kesehatan; sering mencuci tangan dengan sabun, menggunakan masker secara benar, menjaga jarak minimal 2 meter, mengurangi mobilitas atau perjalanan, dan menghindari kerumunan.

 

Di luar tokoh agama setempat, kampanye penyadaran Covid-19 penting juga disampaikan oleh penyintas Covid-19, yakni mereka yang telah sembuh dari Covid-19. Para penyintas bisa menyampaikan kepada masyarakat betapa bahaya dan besarnya dampak dari Covid-19 hingga terbangun kesadaran di kalangan masyarakat umum terkait bahaya dan pentingnya melindungi diri sendiri dan orang lain dari Covid-19. Terlebih lagi hal ini dilakukan secara terorganisasi oleh para penyintas Covid-19.

 

Sejauh ini, peran dari penyintas Covid-19 masih sangat kurang. Kalaupun ada yang berperan, mungkin hanya bersifat individual daripada terorganisai. Hingga akhirnya keraguan dan ketidakpercayaan sebagian masyarakat terkait Covid-19 tidak menjadi lebih sedikit dengan adanya penyintas atau mereka yang terinfeksi Covid-19. Padahal pengalaman dan testimoni penyintas Covid-19 sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat terkait keberadaan, bahaya, dan pentingnya menyelamatkan diri sendiri dan orang lain dari virus ini.

 

Perpaduan antara kearifan lokal dan pengalaman penyintas akan sangat kuat dalam membangun kesadaran masyarakat terkait dengan keberadaan dan bahaya Covid-19. Melalui kesadaran ini, masyarakat dengan pemerintah bisa bersama-sama menghadapi dan mengalahkan Covid-19. Dan dengan perbaikan dua arah ini (pemerintah dan masyarakat), kita bisa segera terbebas dari Covid-19. Amin. []

 

KOMPAS, 1 Juli 2021

Hasibullah Satrawi | Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar