Jumat, 30 Juli 2021

Nasaruddin Umar: Lesson Learning dari Covid-19 (8) Ketika Agama Mengalami Desakralisasi

Lesson Learning dari Covid-19 (8)

Ketika Agama Mengalami Desakralisasi

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Islam adalah sistem nilai yang sarat dengan ajaran sakral. Nilai-nilainya bersumber dari Tuhan yang biasanya melalui kitab suci. Nilai-nilainya berisi ajaran tuntunan kehidupan yang harus diikuti. Tuhan menjanjikan surga bagi yang mengikutinya dan menjanjikan neraka bagi yang menentangnya.

 

Ajaran agama bersifat sakral karena tuntunan langsung dari Tuhan. Berbeda dengan tuntunan yang merupakan produk kecerdasan manusia hanya bersifat luhur dan profane tetapi tidak sampai sakral. Desakralisasi ajaran agama, adar atau tidak sadar, akan berdampak pada kelestarian hidup alam semesta.

Setiap agama dapat dibedakan dengan ajaran yang bersumber langsung atau tidak langsung dari Tuhan melalui kitab suci-Nya. Islam mempunyai dua ajaran inti, yakni ajaran yang dasar dan ajaran non dasar. 

 

Ajaran dasar berisi aqidah dan Syari’ah yang mengatur perinnsip-perinsip dasar kehidupan manusia. Sedangkan ajaran non-dasar lebih bersifat kelengkapan dan aksesoris sebagai pengayaan dari ajaran dasar yang tertuang di dalam kitab suci. 

 

Ajaran-ajaran yang bersifat non dasar tidak sepenuhnya bisa disebut sakral karena di antaranya ada yang diadakan sendiri oleh manusia sebagai kelengkapan sistem ajaran. Biasanya diambil dari nilai-nilai kearifan lokal, misalnya tradisi perkawinan. 

 

Ajaran dasar perkawinan menurut syari’ah sangat  simpel: Ada dua calon pengantin laki-laki dan perempuan, ada wali yang mengawinkan, ada dua orang saksi utama, ada mahar yang diperuntukkan kepada calon mempelai perempuan, ada sighat perkawinan yang diucapkan oleh calon pengantin laki-laki.

Ajaran agama yang sakral ialah ajaran yang lansung secara tekstual ditemukan dasarnya di dalam kitab suci atau sabda nabi-Nya. Contohnya, petunjuk Al-Qur’an atau hadis untuk melakukan berbagai kewajiban seperti ibadah mahdhah, berlomba-lomba melakukan kebaikan dan menghindari larangan-Nya. 

 

Sedangkan contoh ajaran yang dihubungan dengan agama tetapi tidak dianggap sakral ialah ajaran yang lahir sebagai kreasi penganutnya seperti tradisi yang menyertai rukun dan syarat perkawinan. 

Perkawinannya sendiri sakral sebagaimana dilukiskan dalam Al-Qur’an dengan perjanjian suci (mitsaqan galidhan). Akan tetapi upacara lamaran dan variasi adat yang melekat pada upacara perkawinan hanya merupakan nilai profane, bukan nilai sakral.

 

Upaya untuk melakukan desakralisasi ajaran agama dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Ada desakralisasi ajaran karena kepentingan politik seperti penafian simbol-simbol agama untuk melindungi calon pemimpin di luar garis meanstream agama (Islam). 

 

Contohnya upaya sekelompok orang untuk memisahkan secara total antara urusan agama dan negara yang dalam Islam merupakan satu kesatuan atau sistem yang sulit dipisahkan  dengan keseluruhan nilai-nilai Islam. 

 

Ada juga dengan kepentingan ekonomi misalnya keengganan untuk membicarakan soal riba di dalam sebuah sistem perekonomian hanya lantaran ingin menyedot keuntungan lebih banyak.

 

Ada kepentingan etnik, misalnya lebih mengedepankan kriteria etnik kedaerahan ketimbang nilai-nilai universal keagamaan, hanya karena ingin mengunggulkan etnisitasnya. Yang lainnya karena demi kepentingan sains maka kloning manusia nekat dilakukan sementara urusan bodi manusia itu tabu dalam Islam. 

 

Desakralisasi agama sama bahayanya dengan upaya sekelompok orang untuk melakukan sakralisasi nilai-nilai profan. Sesungguhnya sebuah nilai yang diperjuangkan bukan nilai sakral tetapi diupayakan untuk disakralkan lantaran ada kepentingan tertentu. 

 

Tegasnya, sakralisasi nilai-nilai non sakral sama bahayanya dengan desakralisasi nilai-nilai sakral. Allahu a’lam. []

 

REPUBLIKA, 07 Juli 2021

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar