Rabu, 28 Juli 2021

Nasaruddin Umar: Lesson Learning dari Covid-19 (6) Ketika Pertimbangan Agama Dipinggirkan

Lesson Learning dari Covid-19 (6)

Ketika Pertimbangan Agama Dipinggirkan

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Agama dan pemeluknya mestinya menyatu. Agama seharusnya memberikan directions terhadap pemeluknya di dalam menempuh perjalanan sejarah hidup umat manusia.

 

Dalam era post-truth banyak sekali nilai-nilai menawarkan diri untuk dijadikan referensi di dalam menyelesaikan persoalan, baik sebagai individu, keluarga, maupun sebagai anggota masyarakat dalam suatu negara. 

 

Apa jadinya sebuah masyarakat jika pertimbangan agama tidak lagi didengarkan? Bagaimana jadinya sebuah masyarakat religius jika nilai dan norma agamanya mengalami marginalisasi?

 

Masih mampukah mereka terus menjadi dirinya sendiri,  atau mereka mengalami alienasi, disorientasi, hipokrit, atau bekerja di bawah standar? Jawaban ini semuanya terpulang kepada setiap individu. 

 

Marginalisasi nilai dan norma ajaran agama tidak mesti diartikan lantaran pemerintah tidak mengakomodasi pertimbangan agama di dalam membuat dan menerapkan kebijakan. Boleh jadi karena arus kuat modernisme yang yang melanda umat manusia secara universal ikut menggerus nilai-nilai ajaran agama. 

 

Serbuan nilai-nilai modernisme kini sudah seperti stateless values, sebuah tata-nilai yang bebas negara. Modernisme memiliki kemampuan untuk menembus batas-batas geografis bangsa dan negara, merasuk ke dalam lapisan-lapisan budaya, dan menerobos sekat-sekat agama dan kepercayaan. 

 

Akibatnya sejumlah individu di dalam masyarakat mengalami gangguan keterbelahan kepribadian (split personality). Ada yang bersikap permisif, ada yang bersikap radikal, dan ada yang bersikap masa bodoh (stupidity).

 

Memang akan lebih parah jika ada kesengajaan negara untuk melakukan deprivasi norma-norma agama dengan melakukan disfungsionalisasi ajaran agama di dalam masyarakat, seperti yang pernah terjadi di sejumlah negara sekuler. 

 

Kemal Ataturk ketika menjadi penguasa Turki yang berpenduduk 97% muslim, pernah melarang warganya untuk menggunakan simbol-simbol Arab di negerinya, seperti atribut pakaian, termasuk penggunaan azan di masjid-mesjid dengan bahasa Arab. Masyarakatnya dipaksa menjadi modern dan sekuler. 

 

Namun apa jadinya? Bukannya mengantar Turki menjadi lebih baik dan lebih bermartabat, bahkan turki yang pernah menjadi pusat kerajaan Ottoman/Usmani terjun bebas ke bawah ditinggalkan oleh sejumlah bangsa dan negara yang pernah menjadi protektoratnya.

 

Deprivasi ajaran agama oleh negara yang diwakili pemerintah di dalam masyarakat pernah terjadi secara sistematis pada era kolonialisme Belanda. 

 

Arsitek politik pemerintah Hindia Belanda yang sangat piawai, Prof. Dr. Salomon Keyzer, gurunya Prof. Snouck Hurgronje, menyarankan agar umat Islam dibiarkan memperdalam pengetahuan keagamaan yang berhubungan dengan fiqih ibadah, tetapi tidak dengan fikih politik (Fiqh al-Siyasah).

 

Fikih yang terakhir ini bisa merepotkan pemerintah. Ia juga mentolerir fikih mazhab Syafi’ yang dinilai mendukung politik paternalistik dan sosiologi patriarki. 

 

Tidak perlu menundukkan semua penduduk Indonesia cukup menundukkan raja-raja lokalnya, karena apa kata raja itu kata rakyatnya. 

 

Tidak perlu juga menundukkan semua warga, cukup menundukkan kaum laki-lakinya maka apa kata laki-laki itu akata perempuan. Teori ini secara defacto juga pernah diterapkan di masa pemerintahan Orde Lama dan di awal Orde Baru.

 

Deprivasi norma agama (Islam) selain akan menurunkan gairah politik juga berpotensi melahirkan ketegangan horizontal sesama warga bangsa. Apalagi jika deprivasi ini dirasakan oleh kaum mayoritas, maka itu akan sangat berarti secara politis. 

 

Politik Hindia Belanda ini ternyata membawa bom waktu. Pemanjaan terhadap golongan dan kelas masyarakat tertentu dan marginalisasi golongan dan kelompok lain ternyata menghasilkan diskriminasi secara ekonomi dan politik. Di antaranya pertumbuhan ekonomi tidak berbanding lurus dengan deret ukur populasi agama mayoritas di tanah air. 

 

Ini yang pernah diingatkan oleh Gus Dur, bahwa hati-hati jika pertumbuhan ekonomi itu hanya dirasakan oleh kelompok agama tertentu dan tidak ikut dirasakan oleh penganut agama mayoritas, maka itu berpeluang menjadi potensi konflik baru di masa depan.

 

Religiusitas masyarakat Indonesia tidak perlu diragukan. Penempatan sila ketuhanan, baik dalam Piagam Jakarta maupun Pancasila, sebagai sila pertama menjadi bukti betapa religiusitas bangsa ini sangat kuat. 

 

Perolehan kemerdekaan yang amat heroic dan historic  juga tak dapat dipisahkan kentalnya faktor agama di dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Jadi sebaiknya semua pihak konsisten menggunakan bahasa dan spirit agama di dalam mempertahankan dan membangun bangsa ini.

 

Dengan menggunakan bahasa agama maka partisipasi aktif masyarakat pasti akan terwujud, karena mereka yakin membela tanah air adalah ibadah. []

 

REPUBLIKA, 05 Juli 2021

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar