Jumat, 30 Juli 2021

(Ngaji of the Day) Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6

 اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

 

Ihdinas shirātal mustaqīma

Artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

 

Kenapa Orang Sembahyang (Hampir Pasti adalah Mukmin) Perlu Minta Hidayah?

 

Imam Ibnu Katsir pernah membuat dialog imajinatif. “Kok bisa orang Mukmin meminta hidayah setiap waktu shalat dan di luar shalat, padahal ia sudah beriman? Bukankah ini kerja sia-sia?”

 

Menurutnya, tanpa meminta hidayah siang dan malam, tidak ada jaminan Allah memberikan petunjuk-Nya. Hamba berhajat kepada Allah pada setiap saat dan keadaan dalam memelihara, memperdalam, membukakan mata, menambah, dan melanggengkan hidayah untuknya. Seorang hamba tidak berkuasa untuk memberikan manfaat dan mudharat untuk dirinya tanpa kehendak Allah.

 

Oleh karenanya, Allah menunjukinya untuk memohon kepada-Nya setiap waktu agar Dia menganugerahkannya pertolongan, keteguhan, dan taufiq. Orang yang bahagia sejati adalah orang yang diberi taufiq untuk meminta kepada-Nya. Pasalnya, Allah menjamin pengabulan permohonan mereka yang berdoa, terutama ia yang terdesak, berhajat, dan faqir kepada-Nya di ujung malam dan sepanjang siang.

 

Dalam Surat An-Nisa ayat 136, Allah memerintahkan orang Mukmin untuk beriman. Artinya, ini bukan bentuk sia-sia dan percuma atau tahshilul hasil karena maksud dari tuntutan keimanan itu adalah keteguhan, keberlanjutan, dan kelanggengan atas amal saleh yang telah ditentukan.

 

Allah memerintahkan orang-orang mukmin untuk berdoa “Rabbanā la tuzigh qulūbanā…” (Tuhan kami, jangan Kausesatkan hati kami setelah Kauberikan petunjuk kepada kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu. Sungguh, Kau maha pemberi) Surat Ali Imran ayat 8.

 

Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq membaca doa ini secara sirr atau perlahan setelah Surat Al-Fatihah pada rakaat ketiga shalat Maghrib. Dengan demikian, arti “Ihdinas shirātal mustaqīma” adalah rawatlah hidayah bagi kami dan jangan palingkan kami kepada selain hidayah. (Ibnu Katsir)

 

Ibnu Katsir mengutip At-Thabarani yang meriwayatkan pandangan Ibnu Abbas perihal Surat Al-Fatihah ayat 6. Ibnu Abbas mengatakan bahwa “As-Shirāthal mustaqīm” adalah ajaran yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW untuk kita. Oleh karena itu, kata Ibnu Jarir At-Thabari, menurut saya takwil paling utama atas Surat Al-Fatihah ayat 6 adalah “anugerahkan taufiq kepada kami untuk teguh pada apa yang Kauridhai dan Kauberikan kepada para hamba-Mu yang mendapat nikmat baik berupa ucapan maupun perilaku. Itulah ‘As-Shirāthal mustaqīm’ karena orang yang menerima taufiq; mereka yang menerima nikmat-Nya, yaitu para nabi, as-shiddiq, syuhada, dan orang saleh, adalah mereka yang diberi taufiq untuk Islam, membenarkan para rasul, berpegang pada Al-Qur’an, mengamalkan perintah-Nya, menahan diri dari larangan-Nya, mengikuti jalan hidup Nabi Muhammad, jalan hidup khulafaur rasyidin, dan jalan hidup semua orang saleh. Semua itu yang disebut ‘As-Shirāthal mustaqīm,’” (Ibnu katsir)

 

Al-Khazin dalam tafsirnya mengatakan bahwa surat Al-Fatihah ayat 6 berarti “Tunjukilah kami,” tetapi ada yang bilang, “Tetapkan kami pada petunjuk” sebagaimana kalimat yang ditujukan kepada orang yang memang sedang berdiri, “Berdirilah hingga aku kembali,” maksudnya tetaplah berdiri seperti ini.

 

Doa untuk mendapat hidayah meski mereka selama ini berada dalam hidayah bermakna permintaan untuk tetap iman dan permohonan tambahan hidayah. Pasalnya, anugerah (biasanya berupa spiritual) dan hidayah Allah tidak terbatas. Ini pandangan Ahlussunnah wal Jamaah.

 

Shirat sendiri berarti jalan, jalan yang baik. Menurut Ibnu Abbas, “shirat” berarti agama Islam. Ada ulama lain bilang, “shirat” berarti Al-Qur’an. Ada juga ulama yang berpendapat, “shirat” berarti kelompok Ahlussunnah wal Jamaah. Ada juga ulama mengartikannya, “Tunjukilah kami jalan mereka yang berhak menerima surga.”

 

Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib menjelaskan Surat Al-Fatihah ayat 6 bahwa jalan untuk mendapatkan hidayah terbagi dua, satu jalan dalil dan hujjah; dan kedua adalah jalan pembersihan batin dan riyadhah. Jalan pencarian dalil banyak tidak terhingga. Tiada satu pun atom di alam raya ini tanpa pembuktian pada kesempurnaan, kebesaran, dan keagungan Ilahi sebagaimana syair, “Pada setiap sesuatu menjadi tanda…yang menunjukkan bahwa Dia esa.” Ar-Razi menjelaskan kerapihan hukum alam yang ditentukan oleh Allah. Menurutnya, bukti di alam raya atas Allah banyak tak terhingga asal mau memikirkannya.

 

Adapun jalan pencarian hidayah melalui pembersihan batin dan riyadhah merupakan laut lepas yang tidak berpantai. Menurut Ar-Razi, semua orang yang berjalan menuju Allah memiliki caranya yang khas dan mempunyai mata airnya sendiri sebagaimana Al-Baqarah ayat 148. Kalangan arifin memperhatikan pembahasan yang dalam dan rahasia yang halus ketika pemahaman orang awam baru mulai menanjak. (Imam Fakhruddin Ar-razi).

 

Serupa dengan penjelasan sebelumnya, Syekh Jamaluddin Al-Qasimi menerangkan bahwa “shirath” secara bahasa berarti jalan terang dan jelas yang tidak berkelok, berbelok, melengkung, dan menikung, dalam pengertian empiris, fisik, material, visual, indrawi. Tetapi kata ini kemudian dipinjam untuk mengungkapkan setiap ucapan dan perbuatan yang dapat mengantarkan seseorang pada tuuan terpuji. Shirath atau jalan secara fisik dipinjam untuk hal yang metafisik, yaitu haq, atau kebenaran. Jika itu dilalui, maka jalan itu dapat mengantar seseorang pada tujuan mulia. (Al-Qasimi, 1957 M/1376 H: 23).

 

Ulama tafsir mengartikan “shirathal mustaqim” sebagai Al-Qur’an, haq, islam, apa yang diamalkan dan diajarkan rasul serta sahabat dan orang saleh, jalan yang baik, jalan surga, sunnah wal jamaah, jalan haji, petunjuk, taufiq, ilham, dalil.

 

Al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jami' li Ahkamil Qur'an mengatakan pandangan ulama tafsir atas Surat Al-Fatihah ayat 6 ini saling menguatkan satu sama lain. Orang yang mengikuti Islam, Al-Qur’an, atau Nabi Muhammad SAW, niscaya ia mengikuti haq. Imam At-Thabari juga berpendapat serupa. “Ihdina” adalah doa dan permohonan hamba kepada Allah. “Tunjukilah kami ke jalan lurus. Bimbing dan perlihatkan kami jalan hidayah yang mengantarkan kami pada kesenangan dan kedekatan-Mu.”

 

Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah menjadikan kalimat doa di tengah surat ini sebagian berisi pujian dan berisi permohonan. Doa ini merupakan permintaan paling utama dari segala permintaan para pendoa karena doa ini dikatakan oleh-Nya dan kita berdoa dengan lafal permintaan yang merupakan kalam-Nya sebagaimana hadits, “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah selain doa”.

 

Al-Qurthubi juga mengutip Fudhail bin Iyadh yang mengartikan “sirathal mustaqim” sebagai jalan haji. Ini tentu bersifat khusus. Pengertian jalan secara umum tentu lebih utama. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengartikannya sebagai agama Allah (Islam) yang mana agama lain tidak diterima olehnya. Sedangkan Ashim Al-Ahwal dari Abul Aliyah mengartikannya sebagai Rasulullah dan dua sahabat sepeninggalnya. (Al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkamil Qur'an).

 

Adapun Imam Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsir monumentalnya mengatakan bahwa ahli tafsir bersepakat bahwa “shirathal mustaqim” adalah jalan terang yang tidak bengkok.

 

Jamaluddin Al-Qasimi dalam tafsirnya, Mahasinut Ta’wil, mengartikan “shirathal mustaqim” sebagai jalan syariat. Lindungi dari penyesatan orang yang menyesatkan dan dari jalan syahwat, jalan syubhat. (Al-Qasimi, 1957 M/1376 H: 18). Hidayah dapat berarti ta’lim dan taskhir penundukkan seperti terhadap alam semesta dan hewan. (Al-Qasimi, 1957 M/1376 H: 15). Menurut Al-Qasimi, perbedaan pendapat ahli tafsir merupakan perbedaan dalam keragaman (ikhtilaf tanawwu’), bukan perbedaan dalam pertentangan (ikhtilaf tadhadud). (Al-Qasimi, 1957 M/1376 H: 20).

 

Qadhil Qudhat Abus Sa‘ud bin Muhammad Al-Imadi Al-Hanafi (wafat 982 H) dalam tafsirnya, Irsyadul Aqlis Salim ila Mazayal Kitabil Karim, mengambil pengertian yang berbeda dari ahli tafsir pada umumnya. Ia mengartikan kata “al-mustaqīm” secara spesifik, yaitu lurus, maksudnya jalan haq; yaitu agama lurus yang toleran, tawasuth antara ifrath (ekstrem kanan dalam bentuk salafi, jihadi, takfiri) dan tafrith (ekstrem kiri, tasahhul, liberalisme-sekuler). (Abus Sa'ud, Irsyadul Aqlis Salim ila Mazayal Kitabil Karim, [Riyadh, Maktabatur Riyadh Al-Haditsah: tanpa tahun], juz I, halaman 30).

 

وكل هذه الأقوال صحيحة، وهي متلازمة، فإن من اتبع النبي صلى الله عليه وسلم، واقتدى باللذين من بعده أبي بكر وعمر، فقد اتبع الحق، ومن اتبع الحق فقد اتبع الإسلام، ومن اتبع الإسلام فقد اتبع القرآن، وهو كتاب الله وحبله المتين، وصراطه المستقيم، فكلها صحيحة يصدق بعضها بعضا، ولله الحمد.

 

Artinya, “Semua pendapat ini sahih dan itu lazim. Siapa saja yang mengikuti Nabi Muhammad SAW, dan dua sahabat sepeninggalnya, Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar, adalah orang yang mengikuti jalan haq. Orang yang mengikuti jalan haq, ” Ibnu katsir

 

Al-Baghowi meriwayatkan dalam tafsirnya bahwa “As-shirathal mustaqīm” adalah Islam menurut Ibnu Abbas dan Jabir serta pendapat Muqatil; Al-Qur’an menurut Ibnu Mas’ud; kitabullah menurut Sayyidina Ali; jalan surga menurut Said bin Jubair; jalan sunnah wal jamaah menurut Sahal bin Abdullah; jalan Rasulullah menurut Bakar bin Abdullah Al-Muzanni; dan Rasulullah bersama dua sahabatnya menurut Abul Aliyah dan Al-Hasan. Secara bahasa, “As-shirathal mustaqīm” adalah jalan yang terang; jelas.

 

Ragam Pelafalan Ihdinas Shirātal Mustaqīm

 

Imam Al-Baghowi meriwayatkan bahwa “shirathal mustaqīm” dibaca dengan huruf sin, “ihdinas sirath” sebagaimana diriwayatkan oleh Uwais dari Ya’qub. Menurutnya, sirath dengan huruf sin inilah asalnya. Ia dinamai sirath dengan huruf sin karena ada kalimat “yasruthus sābilah” atau melalui jalan yang dilewati.

 

Ada lagi ulama, kata Imam Al-Baghowi, membacanya dengan huruf zai, “ihdinaz zirāthal mustaqīm.” Imam Hamzah membacanya dengan isymam pada huruf zai. Semua jenis bacaan ini shahih. Tentu, pilihan terbaiknya adalah membaca “shirat” dengan huruf shad karena ini bacaan mayoritas imam qiraah, sesuai mushaf. Wallahu a‘lam. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar