Tragedi Yaman (4)
Oleh: Azyumardi Azra
Tragedi Yaman. Sejarah pahit Yaman yang tak lain adalah salah satu pusat keilmuan dan jaringan keilmuan dan guru yang didatangi banyak murid dari kepulauan Nusantara dan Asia Selatan.
Yaman yang pedih dan kepulauan Nusantara. Padahal, tidak jarang ada klaim beredar tentang penyiar Islam di Jawa—termasuk beberapa Wali Songo—berasal dari Yaman atau Hadhramaut.
Sejarah menjadi ideologis, ajang klaim atau kontestasi yang sulit diverifikasi kebenarannya dengan pendekatan dan metodologi sejarah apa pun. Hadhramaut, bagian integral Yaman, adalah tempat asal banyak warga keturunan Arab di kepulauan Nusantara.
Kajian relatif lengkap tentang imigrasi dari Yaman ke kepulauan nusantara masih saja LWC van den Berg, Le Hadhramout et les colonies d’arabes dans l’archipel Indien (1886). Berg menyimpulkan, gelombang imigrasi terjadi sejak paruhan dua abad ke-19.
Kepulauan nusantara adalah salah satu diaspora terbesar warga Yaman, khususnya Hadhramaut. Kini ada 30.500.000 penduduk Yaman; sekitar lebih empat juta warga asal Yaman terpencar pada diaspora di banyak negara.
Menurut estimasi, ada sekitar 80 ribu warga asal Yaman yang menetap di Inggris dan sekitar 20 ribu orang di Amerika Serikat.
Kini akibat perang, makin banyak warga Yaman mengungsi. Kini di Mesir ada antara 500 ribu sampai 700 ribu pengungsi. Sekitar 3,65 juta menjadi pengungsi di berbagai negara Timur Tengah dan Asia seperti Malaysia. Tidak jelas apakah ada pengungsi Yaman di Indonesia.
Mayoritas warga asal Yaman di Indonesia berasal dari Provinsi Hadhramaut (Hadhramut). Mereka biasa disebut Hadharim. Provinsi Hadhramaut dengan ibu kota Mukalla kini berpenduduk sekitar 2.255.000.
Tidak diketahui pasti berapa jumlah Hadharim di Indonesia. Menurut beberapa catatan, populasi ‘keturunan Arab’ sebagai berikut: 1859 ada 4.992; 1870 ada 12.417; 1900 ada 27.399; 1920 ada 44.902; 1930 ada 71.335; 2000 ada 87.066; 2005 ada 87.227.
Sangat boleh jadi, jumlah warga Indonesia ‘keturunan Arab’, terutama Hadharim jauh lebih besar.
Banyak di antara mereka telah terintegrasi atau lebur ke dalam etnis atau masyarakat lokal, sehingga nyaman menyebut diri sebagai ‘orang Jawa’, ‘orang Bugis’, dan seterusnya.
Sekali lagi, jumlah pasti warga Indonesia asal Yaman atau khususnya Hadhramaut, sulit diketahui. Tetapi jelas, pengaruh mereka relatif kuat dan berpengaruh dalam kehidupan Islam di Indonesia.
Pengaruh kaum Yamani atau Hadharim di Indonesia, terwujud secara individual ataupun kolektif.
Secara kolektif, teraktualisasi melalui ormas-ormas Islam yang kepemimpinannya dipegang ulama dan tokoh-Hadharim atau juga lewat ormas lebih umum semacam NU atau Muhammadiyah.
Organisasi pertama pimpinan warga Hadharim adalah Jam’iyyat al-Khayr; didirikan di Batavia pada 1901 oleh beberapa sayyid terkemuka—Ia menjadi salah satu ormas Islam paling awal berdiri.
Namun, pada 1914, kalangan non-sayyid mengundurkan diri dan membentuk organisasi baru al-Irsyad al-Islamiyah—pada 1998 pecah yang kemudian menjadi Perhimpunan al-Irsyad dan al-Irsyad al-Islamiyah.
Upaya rekonsiliasi gagal mempersatukan kembali— yang akhirnya sampai di Mahkamah Agung. Ormas ketiga yang juga sangat penting adalah al-Khairat, berdiri dan berpusat di Palu pada 1930.
Al-Khairat, seperti juga Jam’iyat Khair dan Perhimpunan al-Irsyad beserta al-Irsyad al-Islamiyah, aktif dalam dakwah dan pendidikan. Dinamika Jam’iyah Khayr dan al-Irsyad, khususnya memperlihatkan kecenderungan divisif di kalangan Hadharim karena stratifikasi sosial.
Kemudian makin divisif karena meluasnya kecenderungan paham dan praksis keagamaan semacam Salafi atau Wahabi, Suni atau Syiah Puncak stratifikasi sosial kaum Hadharim adalah sayyid (dan syarifah untuk perempuan), keturunan Rasulullah SAW, atau ‘ahl al-bayt’.
Sebagian eksplisit menggunakan gelar sayyid. Jika berorientasi kuat pada dakwah mereka juga biasa disebut ‘habib’ (jamak, haba’ib). Ahl al-bayt terbelah dua: ada yang pro-Suni dan ada yang pro-Syiah.
Selanjutnya, ada kalangan non-sayyid, yang jika kuat berorientasi pada dakwah biasa dipanggil ‘masyayikh’ atau ‘shaykh’ atau ‘ustaz’. Setelah itu ada ‘qaba’il’, kepala suku dan terakhir ‘muwallad’, campuran atau ‘Indo’.
Masing-masing stratifikasi sosial itu, memiliki ikatan kuat (close knit). Hal ini terlihat jelas dalam perkawinan yang sering menampilkan ‘kawin mawin’ sesama anggota stratifikasi sosial.
Tragedi Yaman juga adalah tragedi Hadhramaut. Karena itu, sepatutnya warga Indonesia yang memiliki tali darah dan ikatan emosional dengan Hadhramaut menggalang solidaritas bersama ormas-ormas Islam Indonesia secara keseluruhan. []
REPUBLIKA, 01 Juli 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar