Rabu, 28 Juli 2021

(Ngaji of the Day) Politik Pangan dan Pengaruhnya terhadap Impor Indonesia

Pemasaran produk dalam pasar bebas (free market) menciptakan timbulnya iklim persaingan. Karena di dalam pasar ada kemungkinan ditemui produk-produk yang memiliki kemiripan atau bahkan sama, maka timbullah yang dinamakan strategi pemasaran. Strategi yang baik adalah strategi yang dikelola. Upaya pengelolaan strategi pemasaran diwadahi dalam satu divisi tersendiri oleh sebuah organisasi perusahaan, yang dalam perkembangannya, dikenal sebagai manajemen pemasaran (marketing management).

 

Ada empat komponen utama penyusun manajemen, antara lain: (1) kebijakan organisasi, (2) manajemen pengetahuan, (3) berfikir skenario dan (4) strategi eksekusi di lapangan.

 

Sebuah strategi lahir pasti didahului oleh sebuah skenario. Dasar dari skenario ini adalah bahwa di dalam sebuah aksi, maka akan terbentuk yang dinamakan reaksi yang merupakan landasan bagi aksi selanjutnya. Inilah skenario itu.

 

Sebagai contoh misalnya tahun 1968, Presiden Soeharto pernah menelurkan kebijakan impor terigu dari Amerika Serikat. Awal mulanya impor dilakukan hanya sebesar 390 ribu ton saja sebagai antisipasi kebutuhan sandang dan pangan jelang lebaran.

 

Maksud utama pemerintah saat itu dalam menerapkan kebijakan impor ini adalah baik, yaitu sebagai faktor pengendali harga pangan di pasaran. Banyak dipuji, bahwa kebijakan tersebut dinilai berhasil mengendalikan harga terigu di pasaran. Namun, disadari atau tidak, justru jumlah inilah rupanya yang menjadi stimulan bagi impor gandum ke Indonesia secara besar-besaran pasca tahun 1970.

 

Gandum merupakan bahan baku terigu. Ia dipergunakan sebagai bahan dasar pembuat roti dan mie instan. Semula Indonesia memanfaatkan bahan dasar roti dari tapioka yang memiliki bahan dasar berupa tepung singkong. Dengan masuknya terigu ke Indonesia, yang saat itu dijual lebih murah dari tapioka, apalagi terigu memiliki cita rasa yang hampir mirip dengan beras yang merupakan bahan dasar makanan pokok Indonesia, maka dengan mudah terigu menjadi diterima oleh cita rasa lidah Indonesia. Lambat laun, tapioka menjadi terpinggirkan dan tergantikan oleh terigu yang berbahan dasar gandum.

 

Dengan alasan ilmiah, yaitu menjaga stabilitas harga terigu di Indonesia, maka Amerika Serikat mengirimkan para pakar pengetahuannya untuk meyakinkan para pembuat keputusan dan kaum teknokrat bahwa jumlah pasokan gandum di dunia sangatlah besar. Tidak hanya dari Amerika, melainkan juga dari Timur Tengah. Seolah tidak ada skenario monopoli di sini. Inilah awal bagi manajemen pengetahuan. Meyakinkan pemimpin negara tertentu dengan argumentasi ilmiah dan sistematis namun berbasis skenario. Apa skenarionya? Produk gandum Amerika Serikat menemukan pasar baru.

 

Dengan motif pertama berupa hibah lunak harga terigu ditambah mulai didirikannya tiga buah pabrik pengolahan biji gandum, pada tahun 1970, maka mulailah sedikit demi sedikit bantuan hibah Amerika tersebut dikurangi. Jadilah kemudian, Indonesia bertindak selaku konsumen pengimpor gandum yang besar. Besarnya impor ini dari tahun ke tahun naik sekitar 5-6% seiring perubahan demografi penduduk Indonesia yang lahir dari darah gandum. Bagaimana hal ini terjadi?

 

Substitusi pengetahuan tentang gandum lewat pakar pangan Amerika rupanya mempengaruhi banyak para akademisi dan teknokrat Indonesia untuk mendorong pengembangan inovasi produk dengan bahan baku gandum. Popularitas gandum ini semakin naik seiring muncul produk-produk baru berbahan baku gandum, salah satunya adalah mie instan.. Makanan cepat saji ini menjadi tidak asing lagi bagi lidah masyarakat Indonesia. Bahkan menurut data yang dihimpun oleh World Instant Noodles Association (WINA), total kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap mie instan ini mencapai 14,8 Miliar bungkus, pada tahun 2016. Angka konsumsi ini dikabarkan meningkat sebesar 13,2 Miliar bungkus dibanding tahun sebelumnya. Tahun 2017 saat itu diprediksi akan terjadi peningkatan sebesar 16 miliar bungkus. Padahal kita tahu, bahwa mie instan ini berbahan baku tidak dari hasil pertanian Indonesia.

 

Pergeseran gandum, dari semula sebagai produk kelas tersier sebagai substitusi pengendalian harga tapioka di pasaran jelang lebaran (yang berbahan baku singkong) menjadi produk kelas utama dan harian, menjadikan Indonesia merupakan negara yang harus mengikuti skenario politik pangan gandum negara pengekspor lainnya, dalam hal ini adalah Amerika Serikat (USA).

 

Permintaan pasar yang tinggi terhadap produk turunan gandum mendorong impor gandum dari hari ke hari menjadi semakin meningkat. Padahal, kita tahu bahwa gandum bukan termasuk jenis tanaman yang bisa diproduksi di wilayah subtropis dan jenis tanah alluvial seperti di Indonesia. Akibatnya, meskipun Indonesia sudah menggiatkan diri melakukan alternatif penelitian dan upaya inokulasi penanaman gandum, namun angka yang mampu diproduksinya tidak bisa sesukses di negeri-negeri produsen aslinya. Impor pada akhirnya tidak bisa dihindari.

 

Data tahun 2016 yang dipublikasikan oleh Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) menyebutkan bahwa impor gandum pada paruh 2016 telah mencapai 8,2 juta ton. Prediksi impor ini akan meningkat di tahun 2017 yakni sebesar 5-6%, sehingga berkisar antara 8,7-8,8 juta ton , di tahun 2017. Dengan demikian, pada tahun 2018, perkiraan angka impor gandum terjadi sebesar 9,3-9,4 juta ton, dan tahun 2019 mencapai 9,9-10 juta ton per tahun. Terakhir, angka produksi gandum Indonesia, hanya mencapai 500 ribu ton per tahun. Angka impor ini masih diprediksi akan terus meningkat seiring berdirinya industri baru pembuat tepung berbahan baku gandum. Kita bersyukur, hari ini sudah mulai dilakukan penelitian pangan dengan tema dasar mencari alternatif pengganti gandum.

 

Penelitian dilakukan terhadap beberapa jenis tanaman pokok yang mampu hidup dengan baik di Indonesia. Beberapa di antaranya ada yang memfokuskan diri pada cassava (ubi kayu). Segi keuntungan dari penelitian ini adalah selain cassava merupakan tanaman endemik Indonesia, keberadaannya selama ini masih kurang maksimal dimanfaatkan oleh masyarakat. Sampai di sini, kita berharap bahwa penelitian ini berhasil dilakukan sebagai solusi mengurangi impor gandum. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar