Tragedi Yaman (3)
Oleh: Azyumardi Azra
Tragedi Yaman. Negeri dengan riwayat panjang yang tengah berada di tubir kehancuran dan bencana kemanusiaan karena perang saudara dengan campur tangan kekuatan militer asing. Indonesia memiliki hubungan historis sosio-religius panjang dengan Yaman.
Mengingat hubungan panjang dan kaya dengan berbagai legacy-nya, kurang proporsional jika kalangan masyarakat, ormas Islam, dan Pemerintah Indonesia hanya bereaksi sporadis di tengah tragedi Yaman.
Pemerintah Indonesia melalui Perwakilan Tetap RI (PTRI) pernah, misalnya, pada 15 Mei 2021, mengangkat tragedi Yaman ke sidang Dewan Keamanan PBB.
Duta Besar Indonesia (PTRI) untuk PBB, Dian Triansyah Djani, meminta seluruh pihak yang berkonflik melakukan demilitarisasi dan berdamai.
Ia juga mengimbau para pihak di Yaman mengizinkan masuknya badan kemanusiaan PBB dan lembaga bantuan internasional untuk menyelamatkan warga, yang kelaparan dan terserang penyakit.
Sementara itu, KBRI di Sanaa sudah ditutup sejak konflik meningkat pada 2015. Sebagian besar personelnya dipindahkan ke KBRI Muscat, Oman. Keputusan Presiden untuk penutupan sementara secara resmi muncul belakangan (Keppres No 18 Tahun 2019).
WNI juga sebagian besar sudah dievakuasi, tetapi tampaknya belum jelas kapan KBRI Sanaa dibuka kembali karena belum ada tanda-tanda perdamaian.
MUI pusat pernah pula mengimbau badan dan lembaga filantropis Indonesia menyelamatkan warga Yaman dari bencana kemanusiaan karena kelaparan dan penyakit (8 Maret 2021).
Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Bunyan Saptomo, meminta agar para pihak menghentikan perang di Yaman dan menyelesaikan konflik secara damai.
Dia juga mengimbau agar Indonesia berperan lebih aktif turut menyelesaikan perang di Yaman. Usaha ini dapat dilakukan lewat kerja sama dengan OKI, PBB, dan koalisi negara terlibat konflik dan perang di Yaman.
Tragedi Yaman. Sangat menyedihkan, khususnya bagi penulis Resonansi ini, yang banyak meneliti jaringan keilmuan dan koneksi religio-kultural dan budaya masyarakat-masyarakat Muslim berbeda melintasi lautan dan benua.
Termasuk dalam konteks itu hubungan dan jaringan antara komunitas-komunitas Muslim kepulauan nusantara dan Yaman.
Hubungan dan jaringan di antara kedua wilayah sudah tercipta paling tidak sejak abad ke-16-17 M terkait dua hal: Pertama, hubungan religio-diplomatik dan politik antara beberapa kerajaan kepulauan nusantara, khususnya Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Utsmani (Dinasti Ottoman).
Terkait itu, wilayah Yaman menjadi tempat transit armada angkatan laut Kesultanan Utsmani untuk membantu Kesultanan Aceh dalam perang melawan Portugal. Sejak awal abad ke-16, kapal Portugal sampai di Lautan Hindia menjarah kapal dagang kepulauan nusantara, khususnya dari Aceh.
Kedua, hubungan itu terbentuk melalui ‘jaringan ulama’ kepulauan nusantara dengan Yaman atau Semenanjung Arabia dan dunia Muslim lebih luas. Murid-murid ‘Jawi’ setidaknya sejak abad ke-16 sudah menjejakkan kaki di Yaman dalam perjalanan naik haji dan menuntut ilmu ke Haramayn.
Muslimin kepulauan nusantara dikenal di Haramayn sebagai ‘ashab al-Jawiyyin’ atau ‘Jama’ah al Jawiyyin’.
Setelah berlayar dari kepulauan nusantara dan mengarungi Lautan India, mereka melakukan perjalanan darat sepanjang pantai utara, timur, dan selatan Semenanjung Arabia.
Perjalanan darat mereka diselang-selingi menetap beberapa waktu di kota kecil atau kampung untuk belajar pada ulama setempat, menciptakan hubungan yang kemudian menjadi bagian ‘jaringan ulama’.
Salah seorang murid Jawi yang kemudian menjadi ulama besar kepulauan nusantara, ‘Abd al-Rauf al-Singkil (asal Singkel Aceh), menuturkan rute perjalanan daratnya. Dia menempuh perjalanan melintasi bagian utara dalam kawasan Laut Persia.
Lalu, ke arah timur, selatan, dan naik ke utara Semenanjung Arabia menuju Jeddah, Makkah, dan Madinah. Perjalanan ‘Abd al-Rauf mulai dari Doha, Qatar; kemudian ke arah timur melintas Oman.
Dari situ, dia memasuki Yaman dan berselang-seling menyinggahi Mawza’, Mukha, al-Lumayah, Ta’izz, Bayt al-Faqih, Zabid, dan Zudaidah. Semua tempat ini kini berada dalam provinsi berbeda.
Tarim, kota historis penting terletak Provinsi Hadramawt, Yaman Selatan, adalah pusat madrasah dan ulama sejak waktu yang lama. Tarim kaya dengan masjid yang diperkirakan lebih dari 360. Tarim juga diklaim sebagai kota yang memiliki paling banyak ahl al-bayt.
Selain itu perlu disebut Zabid. Inilah kota keilmuan historis yang kini termasuk di Provinsi Hudaydah di selatan Sanaa. Zabid pernah menjadi ibu kota Yaman (abad ke-13-15) juga pusat ulama terkemuka, salah satunya adalah Murtadha Abu Fayd al-Husayni al-Zabidi (1732-1771), muhaddits ulung yang juga terkenal sebagai salah seorang mujadid abad ke-12 Hijrah. []
REPUBLIKA, 24 Juni 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar