Pada Juli 2020 silam, umat Islam di Jakarta, khususnya di Betawi, kehilangan sosok ulama yang lembut dan mengayomi, KH Mundzir Tamam, Lc., MA (1939 M-2020 M). Dia adalah mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta selama dua periode. Ia lahir di Klender, Jakarta, pada 5 Mei 1939 dari pasangan H Maisin dan Hj Fatimah. Ia adalah anak terakhir dari sepuluh bersaudara.
Ia mengaji, bisa membaca Al-Qur`an, pertama kali kepada ayahnya. Ia kemudian mengaji kitab kepada seorang guru satu kampung yang masih memiliki hubungan famili dan merupakan pendiri Perguruan Islam Al-Wathoniyah, yaitu KH Hasbiyallah. Ia juga mengaji kitab kepada kakaknya, KH Achmad Mursyidi bin H Maisin. Ia juga mengaji kepada KH Muhammad Yasin, adik dari KH Hasbiyallah.
Pendidikan formalnya ditempuh di Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah Jamiat Khaer, Tanah Abang. Lalu ia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, pimpinan (Rais Aam PBNU 1981-1984) KH Ali Ma`sum sampai tahun 1960.
Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Fakultas Syariah Kuliyatul Qadha milik NU, Solo, Jawa Tengah untuk meraih doktoral tingkat satu. Belum sampai meraih gelar doktoral tingkat satu, pada tahun 1964, ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri, yaitu di Baghdad University, Irak, mengambil S1 dan juga S2.
Pada tahun 1971, setelah menyelesaikan kuliah S1 dan S2-nya, ia kembali ke Indonesia. Dua tahun setelah pulang di Indonesia, tepatnya pada tahun 1973, ia menikah dengan Hj Ratu Fauziah binti Mahdi bin Hasani yang ibu dari Hasani ini, yaitu Maryam adalah anak dari Syeh Ma`mun Quro, Serang, Banten.
Dari pernikahan ini, KH Mundzir Tamam dikaruniai enam orang anak, yaitu Arief Fauzan, Nada Shofi, Affan Shofwan, Nila Naila, Liyanatul Q, dan Atiyatul H.
Aktivitasnya ketika tiba di Indonesia adalah memberi kuliah di PTIQ dan IIQ. Selain itu ia juga mengisi kuliah di STAI Salahuddin Al-Ayyubi. Pada malam hari, ia memimpin pengajaran di majelis taklim-majelis taklim. Saking banyaknya majelis taklim-majelis taklim yang ia ajarkan, ia sendiri belum bisa menghitungnya.
Aktivitasnya mengajar di majelis taklim-majelis taklim masih dia lakukan sampai sekarang, bahkan dia membuka majelis taklim di rumahnya setiap hari Ahad untuk beberapa mahasiswa yang mau memperdalam kitab-kitab.
Ia mengajar antara lain Kitab Riyadhus Shalihin, Tafsir Al-Jalalain, Tafsir Ibnu Abbas, Kitab fiqih Fathul Qarib, Nihayatuz Zain, Mathla`ul Badrain (kitab dalam bahasa Melayu), Risalatul Mu‘awanah, Nashaihud Diniyyah, dan Nashaihul `Ibad. Murid-muridnya kini banyak yang sudah menjadi ulama dan pejabat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.
Ia bukan hanya seorang pengajar, tetapi juga aktivis organisasi. Organisasi yang pernah diikuti selain MUI adalah organisasi kemahasiswaan sampai ormas Islam, Nahdatul Ulama (NU). Bahkan di NU, ia pernah menjabat sebagai Ketua NU Provinsi DKI Jakarta (1992-1996).
Ulama yang memiliki motto “Sabar sebagai pangkal keberhasilan” ini juga aktif di partai politik, yaitu di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Keterlibatannya di PPP bukan hanya karena keluarga besarnya juga aktif terlibat di partai ini, seperti abangnya KH Achmad Mursyidi, tetapi karena juga kesamaan dari keyakinan yang dipeluknya, yaitu Islam.
Keaktifannya di PPP mengantarkannya untuk duduk sebagai wakil rakyat di DPR RI selama dua periode dari tahun 1997 sampai tahun 2005. Setelah itu, ia diminta untuk menjadi Ketua Umum Provinsi DKI Jakarta untuk menggantikan ketua umum sebelumnya. Keaktifan di MUI Provinsi DKI Jakarta bukan hal yang baru karena sebelum menjadi anggota dewan ia sudah aktif sebagai pengurus MUI.
Selain di MUI, ia menjadi salah satu pengurus di PHI (Perjalanan Haji Indonesia). Banyak artikel yang pernah ia tulis. Ia juga menulis dua buku, di antaranya berjudul Perjanjian Kerja yang merupakan terjemahan dari tesisnya ketika kuliah di Baghdad University, Irak. []
(Rakhmad Zailani Kiki)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar