Jumat, 23 Juli 2021

(Ngaji of the Day) Hukum Bayi Tabung

Hukum Bayi Tabung


Pertanyaan:

 

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Redaksi NU Online, perkembangan teknologi dalam dunia medis memungkinkan reproduksi melalui proses yang disebut bayi tabung. Bagaimana pandangan Islam terkait bayi tabung tersebut? Terima kasih. Wassalamu 'alaikum wr. wb.

 

(Yunus)

 

Jawaban:

 

Wassalamu ‘alaikum wr. wb. Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Masalah bayi tabung pernah diangkat dalam pembahasan pada Munas NU 1981 di Yogyakarta. Peserta menjawab secara rinci hukum reproduksi bayi tabung pada forum tersebut.

 

Para kiai saat itu memahami bayi tabung sebagai bayi yang dihasilkan bukan dari persetubuhan, tetapi dengan cara mengambil mani/sperma laki-laki dan ovum/mani perempuan, lalu dimasukkan dalam suatu alat dalam waktu beberapa hari lamanya. Setelah hal tersebut dianggap mampu menjadi janin, maka dimasukkan ke dalam rahim ibu. (PBNU, Ahkamul Fuqaha, [Surabaya, Kalista-LTN PBNU: 2011 M], halaman 370).

 

Hukum memproses bayi tabung tidak dapat dijawab dengan hukum tunggal, yaitu mubah atau haram. Para peserta Munas NU 1981 ketika itu merinci hukum bayi tabung dengan tiga rincian kasus berbeda.

 

Pertama, apabila mani yang ditabung dan yang dimasukkan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani suami istri, maka hukumnya haram. Kedua, Apabila mani yang ditabung tersebut mani suami istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram.

 

Ketiga, apabila mani yang ditabung itu mani suami istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukkan ke dalam rahim istrinya sendiri, maka hukumnya boleh.

 

Adapun yang dimaksud dengan “Mani muhtaram ialah mani yang keluar atau dikeluarkan dengan cara tidak dilarang oleh syara’. Sedang mani bukan muhtaram ialah selain yang tersebut di atas.” (PBNU, 2011 M: 370).

 

Putusan forum Munas NU 1981 ini didasarkan pada hadits yang dikutip dari Tafsir Ibnu Katsir dan Kitab Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh. Berikut ini adalah kutipan hadits dari Tafsir Ibnu Katsir:

 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ الشِّرْكِ أَعْظَمُ مِنْ نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِيْ رَحِمٍ لاَ يَحِلُّ لَهُ

 

Artinya, “Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik daripada mani yang ditempatkan seorang laki-laki (berzina) di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya,” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, [Kairo, Darul Hadits: 2003), Juz III, halaman 50).

 

Adapun berikut ini adalah argumertasi forum Munas NU 1981 dengan Kitab Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh sebagai rujukan:

 

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُسْقِيَنَّ مَاءَهُ زَرْعَ أَخِيْهِ

 

Artinya, “Siapa saja yang beriman kepada Allah SWT dan hari kiamat, maka janganlah sekali-kali berzina dengan istri sesamanya.’” (Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1998), juz II, halaman 25).

 

Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

 

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.

 

Alhafiz Kurniawan

Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar