Lesson Learning dari Covid-19 (3)
Mengapa Alam Tunduk kepada Manusia?
Oleh: Nasaruddin Umar
Alam ialah segala sesuatu selain Allah Swt (kullu ma siwa Allah). Di dalam menjalankan tugas kekhalifahannya, Allah Swt menundukkan alam semesta kepada manusia.
Allah Swt menegaskan: Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia. (Q.S. al-Hajj/22:65).
Ketika pertama kali diciptakan manusia, Allah Swt menyerukan kepada segenap makhluk untuk bersujud kepada Adam, lalu semuanya bersujud kecuali iblis: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Q.S. al-Baqarah/2:30).
Para malaikat pun bersujud apalagi makhluk alam semesta. Bumi, bulan, matahari, dan bintang-bintang semuanya tunduk dan patuh kepada manusia. Termasuk laut, gunung, dan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Manusia boleh mengelola alam raya untuk dan dalam rangka menyempurnakan kapasitas dirinya sebagai hamba dan khalifah.
Ketundukan alam semesta bukannya tanpa alasan. Selain adanya perintah langsung Allah Swt dan para makhluknya yang lain, juga defacto manusia memiliki sejumlah keistimewaan yang tidak melekat di dalam diri malaikat dan jin, sebagaimana dijelaskan dalam artikel terdahulu.
Alam semesta akan tunduk kepada manusia sepanjang ia menjalankan kapasitas dan fungsi kekhalifahannya dengan benar. Manusia tetap memimpin jagat raya sesuai dengan tuntunan Sang Khaliq sebagaimana dituntunkan dalam Kitab Suci. Misalnya di dalam menjalankan kapasitas kekhalifahannya manusia tidak melampaui batas sebagaimana dijelaskan dalam artikel terdahulu.
Manusia tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang digariskan Allah Swt kepadanya, yang pada akhirnya akan merugikan sendiri kehidupan umat manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S. al-Rum/30:41).
Konsep taskhir dalam Islam mempunyai prasyarat. Ketika manusia melupakan dirinya sebagai hamba dan khalifah yang harus memakmurkan bumi, namun mereka melakukan eksplorasi alam yang melampaui ambang daya dukungnya, dan sesama mereka saling menghujat dan menyebabkan pertumpahan darah, sebagaimana dikhawatirkan malaikan dalam aayat tersebut di atas.
Agaknya prediksi malaikat di dalam Q.S. al-Baqarahdi atas benar. Di mana-mana terjadi disrupsi lingkungan alam dan lingkungan hidup dan perang mengakibatkan pertumpahan darah antara sesama umat manusia.
Ketika manusia tidak lagi mengindahkan ketentuan Allah Swt, misalnya para penguasa tidak lagi memihak kepada keadilan dan kemaslahatan umat, mengabaikan akal sehat dan hati nurani, para pebisnis tidak lagi mengindahkan etika bisnis, para ulama dan ilmuan sudah kehilangan pertimbangan objektivitasnya, para buruh dan karyawan sudah kehilangan rasa ketulusannya, maka ketika itu bencana demi bencana senantiasa mengintai dalam masyarakat.
Boleh jadi munculnya virus baru seperti Covid-19 merupakan bagian dari kegagalan manusia sebagai khalifah. Manusia sudah tidak lagi memikirkan pola keseimbangan dan keserasian ekosistem, mereka lebih banyak didikte oleh ego dan kerakusan, sehingga mereka menjadi khalifah tanpa dibimbing oleh hati Nurani. Akibatnya manusia sendiri harus menanggung berbagai resiko. Allahu a’lam. []
REPUBLIKA, 02 Juli 2021
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar