Berkurban merupakan syiar Islam yang hampir semua orang mengetahui akan anjuran dan pahala besar yang didapatkan oleh muslim yang melaksanakannya. Anjuran berkurban tentu saja hanya bagi orang yang mampu secara finansial. Namun demikian, tidak semua orang kaya melaksanakan kurban; bisa jadi karena mempersiapkan untuk kebutuhan tertentu, prioritas hal lain, keengganan, dan lain sebagainya.
Bagaimanakah pandangan fiqih Islam perihal orang mampu secara finansial namun tidak melaksanakan kurban?
Hukum berkurban diperselisihkan oleh para ulama. Menurut pendapat mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah hukumnya sunah. Artinya sesuatu yang apabila dilakukan mendapat pahala, bila ditinggalkan tidak berdosa.
Di antara argumen mayoritas ulama adalah hadits Ibnu Abbas, beliau mendengar Nabi bersabda:
ثَلَاثٌ هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضُ وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ اَلْوِتْرُ وَالنَّحَرُ وَصَلَاةُ الضُّحَى
“Tiga hal yang wajib bagiku, sunah bagi kalian yaitu shalat witir, kurban, dan shalat Dhuha” (HR Ahmad dan al-Hakim).
Dalam riwayat Imam al-Tirmidzi disebutkan sabda Nabi:
أُمِرْتُ بِالنَّحَرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ
“Aku diperintahkan berkurban, dan hal tersebut sunah bagi kalian” (HR al-Tirmidzi).
Dalam haditsnya Ummu Salamah disebutkan bahwa Nabi bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِيْ الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحَّيَ، فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعَرِهِ وَأظْفَارِهِ
“Bila kalian melihat hilal Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian menghendaki berkurban, maka tahanlah rambut dan kukunya (untuk tidak dipotong)” (HR. Muslim dan lainnya).
Dalam hadits tersebut terdapat pesan bahwa pelaksanaan kurban tergantung pada kehendak seseorang, yang memberi petunjuk dinafikannya kewajiban berkurban. Syekh Wahbah al-Zuhaili berkata:
ففيه تعليق الأضحية بالإرادة، والتعليق بالإرادة ينافي الوجوب.
“Dalam haditsnya Ummu Salamah terdapat penggantungan kurban dengan kehendak, sedangkan menggantungkan ibadah dengan kehendak meniadakan hukum wajib”. (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz.3, hal.596).
Sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa kurban hukumnya wajib bagi setiap orang mukim yang mampu kecuali orang yang sedang melaksanakan haji di Mina. Yang dimaksud mampu adalah orang yang memiliki harta lebih senilai nishabnya zakat mal, yaitu 200 Dirham, yang melebihi kebutuhan pokok dirinya dan pihak yang wajib ditanggung nafkahnya. Syekh al-Imam al-Nawawi berkata:
وقال ربيعة والليث بن سعد وأبو حنيفة والأوزاعي واجبة على الموسر إلا الحاج بمنى. وقال محمد بن الحسن هي واجبة على المقيم بالأمصار والمشهور عن أبي حنيفة أنه إنما يوجبها على مقيم يملك نصابا
“Dan berkata Rabi’ah, al-Laits bin Sa’ad, Abu Hanifah dan al-Auza’i, berkurban adalah wajib atas orang yang kaya kecuali jamaah haji di Mina”. Berkata Muhammad bin al-Hasan bahwa kurban adalah wajib atas orang yang bermukim di kota-kota, yang masyhur dari Abu Hanifah bahwa beliau hanya mewajibkan kurban bagi orang mukim yang memiliki satu nishab (200 dirham)” (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’, juz.9, hal. 290).
Di antara argumen Abu Hanifah adalah haditsnya Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda:
مَنْ وَجَدَ سَعَةُ لِأَنْ يُضَحِّيَ فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَحْضُرْ مُصَلَّانَا
“Barang siapa mampu berkurban dan ia tidak melaksanakannya, maka janganlah ia menghadiri tempat shalat kami”. (HR. al-Baihaqi).
Para ahli hadits menyebutkan bahwa hadits-hadits yang dijadikan hujjah mazhab Hanafiyyah adalah lemah, atau diarahkan kepada pengukuhan anjuran berkurban. Syekh Wahbah al-Zuhaili mengatakan:
وضعف أصحاب الحديث حديث الحنفية أو هو محمول على تأكيد الاستحباب كغسل الجمعة في حديث: غُسل الجمعة واجب على كل محتلم. ويرشد إليه الأثر أن أبا بكر وعمر كانا لا يضحيان، مخافة أن يرى الناس ذلك واجباً والأصل عدم الوجوب.
“Para pakar hadits melemahkan hadits-haditsnya Hanafiyyah, atau diarahkan kepada pengukuhan atas kesunahan berkurban seperti masalah mandi Jumat dalam hadits Nabi; mandi Jumat wajib atas setiap orang baligh. Kesimpulan ini ditunjukkan oleh sebuah atsar bahwa Abu Bakar dan Umar tidak berkurban karena khawatir manusia meyakininya sebagai hal yang wajib, sementara hukum adalah tidak adanya kewajiban”. (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz.3, hal.597).
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hukum meninggalkan kurban bagi orang yang mampu diperselisihkan oleh para ulama. Menurut mazhab Hanafiyah hukumnya haram (berdosa) sebab berkurban adalah wajib. Sedangkan menurut mayoritas ulama tidak berkonsekuensi dosa, karena berkurban hukumnya sunah (tidak wajib).
Berpijak dari pendapat mayoritas, meski berkurban hukumnya sunah, namun meninggalkannya bagi orang yang mampu adalah makruh, sebab terjadi ikhtilaf dalam status wajibnya. Oleh sebab itu ulama menegaskan bahwa berkurban lebih utama daripada sedekah sunah biasa. Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
ويكره تركها للخلاف في وجوبها ومن ثم كانت أفضل من صدقة التطوع
“Dan makruh meninggalkan kurban karena ikhtilaf ulama dalam kewajibannya, karena itu kurban lebih utama dari sedekah sunah.”
Syekh Abdul Hamid al-Syarwani memberi komentar atas referensi di atas sebagai berikut:
ـ(قوله ومن ثم كان أفضل إلخ) هل المراد ما تصدق به منها أفضل من صدقة التطوع اهـ سم (أقول) والظاهر أن المراد جميع الأضحية وفضل الله تعالى واسع
“Ucapan Syekh Ibnu Hajar; karena itu kurban lebih utama dari sedekah sunah; apakah yang dimaksud bahwa hanya daging kurban yang disedekahkan dari kurban lebih utama dari sedekah sunah (sebuah kejanggalan)?, dari Syekh Ibnu Qasim al-‘Ubbadi. Aku berkata, pendapat yang jelas bahwa yang dikehendaki adalah seluruh daging kurban (baik yang disedekahkan atau yang dikonsumsi pribadi), dan karunia Allah luas”. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dan Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj dan Hasyiyah al-Syarwani, juz.12, hal.246).
Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar