Lesson Learning dari Covid-19 (7)
Ketika Agama Kehilangan Daya Jihad
Oleh: Nasaruddin Umar
Setiap agama menganjurkan kelembutan dan kekuatan atau daya jihad. Agama akan berfungsi normal manakala kedua misi ini berjalan seiring. Agama tanpa kelembutan akan kehilangan akar di dalam masyarakat. Sebaliknya agama tanpa kekuatan daya jihad akan kehilangan kontrol sosial.
Agama harus mampu menampilkan kelembutannya kepada orang-orang yang mengikuti ajarannya dan harus bersikap tegas kepada mereka yang menentang ajarannya. Bagi mereka yang taat akan diberi ganjaran syurga dan ganjaran neraka bagi mereka yang mengingkarinya.
Ini sejalan dengan ayat: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. (Q.S. al-Fath/48:29).
Kekuatan daya jihad di dalam setiap agama amat diperlukan. Dalam Islam misalnya, daya jihad diperlukan untuk menegakkan kebenaran dan menumpas kebatilan. Tanpa kekuatan ini maka agama akan dikalahkan oleh nilai-nilai lain yang mungkin destruktif bagi kemanusiaan.
Sebagai contoh, rezim kebatilan dan kekuatan tirani yang berkuasa di dalam masyarakat perlu diakhiri dengan mengedepankan kekuatan jihad. Daya jihad juga diperlukan untuk memberantas kebodohan, kemiskinan, dan berbagai kelemahan yang menggerogoti masyarakat.
Namun penggunaan daya jihad ini tetap harus berada di bawah control ijtihad dan mujahadah yang terukur. Ijtihad ialah pengerahan kekuatan nalar umat di dalam mengartikulasikan nilai-nilai ajaran agamanya. Sedangkan mujahadah pengerahan aspek rohani umat di dalam menghayati nilai-nilai luhur agamanya.
Daya jihad, ijtihad, dan mujahadah harus dianggap satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jihad tanpa kontrol ijtihad dan mujahadah bisa berpotensi melahirkan kekerasan. Karena itu, daya jihad tidak identic dengan kekarasan. Daya jihad juga tidak mesti harus ada yang korban. Jihad yang paling akbar kata Nabi ialah jihad melawan diri sendiri.
Pencitraan positif terhadap jihad dalam Islam benar-benar diperlukan saat ini. Daya jihad sesungguhnya sesuatu yang luhur dan merupakan bagian penting dalam agama (Islam). Namun akhir-akhir ini kata jihad ternodai oleh sekelompok kecil warga umat yang menggunakan kekerasan di dalam menyelesaikan setiap persoalan keumatan.
Semenjak maraknya terorisme dan bom bunuh diri yang memperatasnamakan agama maka sejak itu kata jihad berkonotasi negatif, setidaknya menurut sebagian pandangan dunia barat.
Islam minus daya jihad akan kehilangan roh. Semangat daya jihad inilah yang membuat dunia Islam mencapai kejayaan di masa lampaunya, terutama di dalam masa keemasannya. Perluasan (futuhat) dunia Islam sampai ke Afrika, anak benua India, Eropa, sampai ke Asia Tenggara merupakan bagian penting kekuatan daya jihad.
Perluasan itu tidak dapat disebut ekspansi apalagi kolonialisme karena mereka memilih Islam sebagai pilihannya sama sekali tidak melalui paksaan, tetapi dengan kesadaran sendiri berkat kesuksesan dakwah yang dijalankan oleh para penganjurnya yang menampilkan Islam sebagai nilai-nilai kemanusiaan yang amat mengesankan.
Daya jihad pada agama tidak boleh digunakan untuk mempertahankan kebatilan. Sebaliknya kelembutan agama tidak bisa digunakan untuk mendiamkan berlangsungnya kebatilan. Dengan kata lain, agama tidak boleh kalah terhadap kebatilan dan harus mendukung tegaknya kebenaran. Namun di dalam mendukung kebenaran itu tidak serta merta harus ditegakkan dengan kekuatan.
Dalam Islam menyerukan kebenaran dilakukan dengan persuasive sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. al-Nahl/16:125).
Al-Qur’an juga menegaskan tidak ada paksaan dalam beragama: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (Q.S. al-Baqarah/2:256). Jika ajaran sebijak ini tersingkir di dalam kehidupan, maka Tuhan dan para makhluknya yang lain tentu tidak lagi akan respek kepada manusia dengan segala akibatnya. []
REPUBLIKA, 06 Juli 2021
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar