Senandung Al-Qur’an di Tatar Sunda
Penulis : Jajang A. Rohmana
Tebal : xxii+266 halaman
Tahun : 2019
Penerbit : Layung
ISBN : 978-602-73599-9-4
Peresensi : Syakir NF, mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU)
Al-Qur'an merupakan karya sastra yang sangat tinggi. Betapa tingginya mengingat langsung dibuat oleh Allah SWT. Karenanya, butuh keilmuan yang mumpuni untuk dapat memahami setiap kata perkata hingga ayat, surat, dan makna secara keseluruhannya. Artinya, kita perlu menguasai berbagai macam piranti untuk sampai pada pemahaman yang komprehensif atas ayat-ayat Al-Qur’an.
Hal ini terasa sulit bagi masyarakat awam yang tidak secara khusus mendalami
keilmuan tersebut. Tak ayal, butuh pendekatan khusus agar Al-Qur'an dapat
meresap ke sanubarinya dan mewujud dalam setiap langkah, sikap, dan
tindak-tanduk mereka. Hal demikian inilah yang ditangkap oleh para sastrawan
cum ajengan Priangan. Mereka membuat terjemahan Al-Qur'an tidak berbentuk
prosa, melainkan puisi terikat dengan rima dan jumlah suku kata tertentu
bergantung pada metrum mana yang dipilihnya.
Jika menilik istilah dalam dunia kesusastraan sendiri, kata terjemahan untuk
merujuk pada karya ulama Sunda tersebut sepertinya kurang tepat. Alih wahana
lebih tepatnya mengingat ada perubahan bentuk dari prosa ke puisi. Tetapi
pilihan kata ‘terjemahan’ dipilih bukan atas pertimbangan sastrawi, tetapi atas
pandangan bahwa terjemahan juga bagian dari penafsiran.
Upaya demikian bukanlah hal sederhana mengingat butuh pemikiran yang ekstra
agar hasil dapat terasa di setiap umat Islam yang berada di Tatar Sunda.
Menerjemah dalam bentuk prosa juga butuh pemilihan diksi yang paling tepat,
terlebih dalam puisi terikat yang harus menyesuaikan jumlah suku kata pada
setiap barisnya, jumlah baris dalam setiap baitnya, dan rima yang tepat sesuai
dengan metrumnya. Hal tersebut agar suasana puisi dapat dirasakan oleh pembaca
maupun pendengarnya.
Jajang A. Rohmana mengumpulkan puisi-puisi yang dalam bentuk pupujian dan dangding itu dalam sebuah bukunya berjudul Terjemahan Puitis Al-Qur’an: Dangding dan Pupujian Al-Qur’an di Jawa Barat. Tentu sebagai seorang akademisi, tidak berhenti di situ saja. Ia mengungkapkan berbagai hal ihwal puisi a la Sunda, proses penerjemahan, dan yang berkaitan dengannya.
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati itu menyebut empat nama penerjemah Al-Qur'an dalam bentuk puisi, yakni RAA Wiranatakusumah, KH Sirojudin Abbas, R Hidayat Suryalaga, dan Enas Mabarti. Mereka banyak memproduksi terjemahan ayat Al-Qur'an dalam bentuk dangding dan pupujian, meski tidak secara keseluruhan Al-Qur’an penerjemahannya.
Puisi-puisi tersebut pada praktiknya tidak saja ditulis, tetapi juga
didendangkan. Bahkan Jajang menyebut hal ini penting. Pasalnya, orang Sunda
dapat menyalurkan ekspresi estetis lokalnya atas Al-Qur’an melalui
terjemahannya tersebut tanpa harus merasa menodai kesuciannya.
Jika menilik Teeuw dalam Sastra dan Ilmu Sastra, sastra tulis dalam praktik
biasanya berfungsi sebagai sastra yang dibacakan dan dibawakan bersama-sama,
menjadi performing art, sebuah pertunjukan seni. Dalam hal ini, pemilihan
metrum untuk menerjemahkan ayat juga sangat menentukan untuk memberikan suasana
ayat tersebut.
Jajang menyebut hal itu sebagai satu sisi yang kurang dieksplorasi oleh
Wiranatakusumah sehingga makna ayat tidak saling mendukung dengan metrum yang
dipilih. Pria yang pernah menjadi Bupati Cianjur di usianya yang ke-24 tahun
itu menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam bentuk puisi juga dengan
referensi terjemahan bahasa Perancis, Inggris, dan Belanda, tidak secara
langsung dari bahasa Arab. Dari sini, ada satu jarak yang memisah, ada
gap yang tidak dapat dihindari.
Berbeda dengan Hidayat Suryalaga yang dengan sangat hati-hati memilih jenis
pupuhnya sehingga atmosfer yang dihasilkan memberikan gambaran atas terjemahan
ayat yang dibacakan. Terlebih dalam karyanya, Abah Surya juga mengutip
pandangan para ulama tafsir sehingga kontennya kaya dan memiliki dasar
legitimatis.
Maman S. Mahayana, dalam Jalan Puisi dari Nusantara ke Negeri Poci (2016),
menulis bahwa memang diksi atau pilihan kata untuk membangun kekuatan bunyi
yang dapat menimbulkan suasana magis. Akan tetapi, puisi-puisi yang bertebaran
dalam bahasa etnik di Nusantara ini, di masa lampau, memang tidak mengejar
makna. Yang dipentingkan di sana, justru, adalah permainan bunyi melalui kosa
kata metaforis. Sebab, hal tersebut yang akan menyentuh hati lebih dahulu.
Banyaknya sastrawan Muslim yang mengalirkan ajaran dan nilai-nilai Islam melalui karya-karyanya menjadi satu hal positif. Artinya, tidak salah jika Abdul Hadi WM dalam Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya, menyebut sastrawan memberikan sumbangsih besar terhadap diseminasi Islam di wilayah yang berlatar belakang budaya berbeda.
Karya mereka, katanya, tidak hanya berperan sebagai media dakwah dalam artian
sempit, tetapi juga menjadi sarana pengajaran dan pondasi bagi kebudayaan kaum
Muslimin. Pasalnya, karya sastra memberikan kesadaran sejarah dan penghayatan
religius yang ditanamkan secara mendalam di lubuk kalbu umat Islam, di samping
karya sastra pula nilai-nilai, pandangan hidup dan gambaran dunia Islam
disebarkan ke khalayak luas. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar