Memperkuat Resiliensi
Oleh: Azyumardi Azra
Hari Raya Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1442 H/20 Juli 2021 M menandai hari raya keempat yang tidak dirayakan sebagaimana seharusnya atau lazimnya.
Tiga hari, hari raya sebelumnya juga diselenggarakan dengan penuh keprihatinan: Idul Fitri 1 Syawal 1441 H /24 Mei 2020, Idul Adha 10 Dzulhijjah 1441 H/31 Juli 2020, Idul Fitri 1 Syawal 1442 H/14 Mei 2021. Penyebab tak lain adalah wabah Covid-19 global yang juga melanda Indonesia sejak awal Maret 2020.
Sampai pekan menjelang Idul Adha 1442 H, sudah lebih 2,6 juta warga Indonesia terinfeksi virus korona yang semula mengamuk di Wuhan, RRC; yang sembuh melewati 2,1 juta, dan meninggal terus juga bertambah mendekati 70 ribu jiwa.
Termasuk banyak yang wafat ulama dan tokoh agama, laki-laki atau perempuan. Angka-angkanya pasti jauh lebih banyak. Penyebabnya, banyak warga yang terinfeksi menjalani isolasi mandiri (isoman), sebagian karena tidak bisa dirawat rumah sakit.
Sebagian mereka wafat tidak terekam catatan resmi. Sudah satu setengah tahun Covid-19 merajalela, belum terlihat tanda penurunan apalagi hilang dari muka bumi. Sebaliknya, Indonesia sejak awal Juli ini mengalami peningkatan jumlah warga terinfeksi dan yang wafat.
Rumah sakit tidak lagi bisa menampung mereka; oksigen juga susah didapat di pasar; dan obat-obatan juga menjadi sangat mahal dan sulit diperoleh.
Untuk membendung peningkatan Covid-19 itu, pemerintah sejak awal Juni memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa dan Bali. Banyak kota di pulau-pulau lain juga kemudian menerapkan PPKM Darurat.
Langkah pemerintah ini membuat berbagai aspek kehidupan masyarakat semakin sulit. Menghadapi perkembangan yang memprihatinkan itu, kontroversi kembali melanda sebagian kaum Muslim Indonesia.
Mereka umumnya mengikuti fatwa, ijtihad, dan pandangan keislaman lain yang dikeluarkan MUI, NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas Islam lain.
Fatwa dan ijtihad itu menekankan tentang urgensi dan wajibnya memelihara kehidupan (hifz al-nafs) daripada melaksanakan sunah berjamaah di wilayah, yang dikategorikan sebagai ‘merah’ atau ‘hitam’ dalam penyebaran dan peningkatan wabah Covid-19.
Karena itu, pelaksanaan shalat berjamaah di masjid, mushala, atau langgar berlangsung secara relatif ‘sporadis’. Jika penyebaran wabah menurun, shalat berjamaah terutama di wilayah urban dapat diselenggarakan.
Sedangkan di wilayah desa, penceramah agama, ustaz, dan mubalig beserta pengurus masjid dan umat Islam cenderung lebih longgar—apalagi kasus Covid-19 relatif jarang ditemukan.
Meski fatwa dan pandangan keagamaan bahwa lebih wajib menjaga kehidupan atau nyawa daripada mengejar sunah sudah bukan baru lagi, tetap saja ada segelintir kalangan penceramah atau umat yang tidak percaya adanya wabah Covid-19.
Juga di luar imajinasi mereka, virus korona telah bermutasi menjadi lebih ganas; tapi tidak perlu ditakuti karena yang satu-satunya yang wajib ditakuti hanya Allah SWT. Tampaknya, adanya fenomena seperti itu bakal terus berlanjut selama wabah Covid-19 masih ada.
Entah sampai kapan akhirnya. Perbedaan pandangan seperti di atas tidak unik hanya ada di antara kaum Muslim; para penganut berbagai agama juga terbelah menyikapi Covid-19 dan bencana kemanusiaan yang ditimbulkannya.
Bagaimanapun, bencana kemanusiaan akibat Covid-19 tidak pilih bulu. Virus korona tidak membedakan penganut agama; dari agama mana pun—percaya atau tidak adanya Covid-19.
Virus kian ganas ini tidak mengenal stratifikasi sosial; kaya, miskin, berkedudukan tinggi atau rakyat jelata menjadi korban. Bencana kemanusiaan. Warga dan masyarakat secara keseluruhan harus meningkatkan resiliensi.
Dengan resiliensi kuat, setiap dan seluruh warga lebih memiliki ketahanan terhadap wabah Covid-19. Tetapi juga memiliki ketahanan ekonomi dan sosial, sehingga tetap memiliki kohesi sosial untuk keberlanjutan negara-bangsa Indonesia.
Untuk itu, segenap warga yang beruntung masih dalam keadaan kesehatan, ekonomi, dan sosial lebih baik agar kembali memperkuat solidaritas pada mereka terkapar. Banyak warga terkapar bukan hanya karena Covid-19 juga sebab kehilangan pendapatan atau sumber ekonomi.
Peningkatan solidaritas dapat diwujudkan dengan penggalangan aksi filantropis, baik dalam bentuk dana maupun sembako dan sebagainya. Di tengah kesulitan keuangan yang dihadapi pemerintah, pastilah filantropi masyarakat dapat membantu warga tidak beruntung dalam jangka pendek.
Tak kurang pentingnya, filantropi sekaligus perlu untuk memperkuat resiliensi sosial. Ketahanan sosial jelas mutlak perlu, baik waktu pandemi sekarang maupun masa pasca wabah nanti agar Indonesia dapat bangkit. []
REPUBLIKA, 15 Juli 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar