Selasa, 27 Juli 2021

Buya Syafii: Krisis Politik dan Bendera Hitam di Negeri Jiran

Krisis Politik dan Bendera Hitam di Negeri Jiran

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

”Sangat mengejutkan, sangat getir, sangat memprihatinkan”. Itulah reaksi saya setelah membaca berita dari berbagai sumber tentang krisis politik berkepanjangan di Negeri Jiran. Kegetiran ini diperparah lagi oleh kasus bunuh diri di sana, umumnya menimpa anak usia muda, 15-18 tahun. Begitu keterangan Direktur Departemen Investigasi Kriminal Polis Diraja Malaysia Abd Jalil Hasan, Kamis, 8 Juli 2021.

 

Angka bunuh diri tertinggi terdapat di Negara Bagian Johor dan Selangor. Menurut pejabat polisi itu, ada tiga faktor penyebab kasus bunuh diri ini: masalah keluarga, tertekan, dan masalah keuangan. Serangan wabah Covid-19 semakin merunyamkan keadaan.

 

Perhatikan usia yang bunuh diri itu, tingkat kelas III SMP dan SMA. Fenomena semacam ini sungguh mengerikan. Johor dan Selangor adalah kawasan bandar yang bercorak urban. Berbeda dengan Kelantan dan Trengganu yang lebih bercorak nonbandar dan kurang berkembang dibandingkan Johor dan Selangor.

Kuala Lumpur berada di Selangor. Di situlah episentrum krisis politik itu dengan melibatkan tiga tokoh utama: Muhyidin Yassin, Mahathir Mohamad, dan Anwar Ibrahim dengan faksi masing-masing. Ketiganya sama-sama berasal dari UMNO/Barisan Nasional yang kemudian berpecah belah itu.

 

Angka bunuh diri ini menegakkan bulu roma kita. Tahun 2019 tercatat 609 orang, 2020 sebanyak 631 orang. Antara Januari dan Mei 2021 tercatat 468 orang. Jika kecenderungan ini berlanjut, akhir 2021 bisa mendekati 1.000 orang. Sangat menakutkan.

 

Malaysia yang selama ini menjadi tujuan TKI mencari rezeki kini sedang bergumul dengan dua bentuk krisis sekaligus: krisis politik nasional dan krisis akibat Covid-19. Keduanya saling berimpit, saling bertali. Dengan penduduk pada 2020 sebanyak 32.365.999, Malaysia kini sedang memetakan masa depannya yang kritikal. Mereka yang terpapar Covid-19 sampai 8 Juli adalah 823.713, meninggal 6.057.

 

Jumlah penduduk Malaysia sekitar 9 persen penduduk Indonesia yang kini 272 juta, bertebaran di ribuan pulau.

 

Penderitaan rakyat miskin di sana sudah mencapai puncaknya. Semula mereka mengibarkan bendera putih sebagai simbol minta pertolongan. Kini, lewat media sosial, mulai dikibarkan bendera hitam sebagai lambang ketidakpercayaan kepada Perdana Menteri Muhyidin Muhammad Yassin yang menduduki posisi itu sejak Maret 2020.

 

Dukungan yang sangat tipis di parlemen kepada Yassin menunjukkan betapa rapuhnya rezim ini, sekalipun Yassin politikus kawakan dengan pengalaman politik yang panjang. Jika kita amati dari jauh hubungan segi tiga Yassin-Mahathir-Anwar, petanya mungkin sebagai berikut. Yassin dan Anwar mantan anak asuh Mahathir, seperti halnya Ahmad Badawi dan Najib Razak.

 

Peran Mahathir

 

Dalam dinamika politik Malaysia sekarang, baik Mahathir maupun Anwar sama-sama ingin menjatuhkan Yassin karena dinilai gagal melawan Covid-19 dan pemulihan ekonomi yang kian berat. Namun, Mahathir tetap keukeuh merintangi langkah Anwar menjadi PM, sebagaimana dulu pernah dijanjikannya. Situasi semacam ini seperti telah mengurung Malaysia di sebuah tikungan jalan buntu.

 

Saat Mahathir menjabat lagi sebagai PM Malaysia yang ketujuh dalam usia 93 tahun pada 2018, dunia mengaguminya. Dia dipuji sebagai negarawan tertua yang penuh semangat di muka bumi.

 

Akan tetapi, dengan keterlibatannya yang tanpa henti dalam kemelut politik yang tak jelas ujung pangkalnya itu, kualitas kenegarawanannya mulai dipertanyakan orang. Di tengah kisruh politik Malaysia ini, Mahathir justru sedang mendaftarkan Partai Pejuang yang baru saja dibentuknya. Partai ini sekarang punya empat wakil di parlemen.

 

Sewaktu seorang sahabat, Dr Dato’ Ahmad Farouk Musa, yang juga seorang pemikir Islam progresif, saya tanyai melalui WA pada 10 Juli, tentang kemelut politik Malaysia ini, jawabannya dalam bahasa Melayu sungguh menyedihkan: ”Salam Buya. Ya, itulah keadaannya. Semua celaru (kacau balau). Di sini…tak tahu apa nak jadi.”

 

Seorang intelektual sekelas Farouk ini sudah demikian bingung tentang apa yang harus diperbuat, apalagi rakyat jelata miskin di sana. Pasti golongan ini jauh lebih parah dalam penderitaan. Tentu kita semua sebagai negara serumpun berharap agar negeri jiran ini dapat segera menemukan penyelesaian dari krisis politik ini sehingga rakyat tidak lagi terombang-ambing oleh perseteruan yang berlarut para politisi Melayu yang dulunya berkawan itu.

 

Semoga para tokoh politik itu bisa menunjukkan jiwa besarnya masing-masing untuk tidak meneruskan lagi sengketa politik yang sangat menguras energi secara sia-sia ini. Kibaran bendera putih dan bendera hitam, serta angka bunuh diri remaja yang tinggi, adalah pertanda bahwa Malaysia harus siuman dan segera membebaskan diri dari racun egoisme politik yang sangat merusak itu.

 

Indonesia sebagai negara tetangga tentu punya empati yang dalam dan sungguh berharap agar krisis politik ini cepatlah berlalu! []

 

KOMPAS, 12 Juli 2021

Ahmad Syafii Maarif | Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar