Jumat, 16 Juli 2021

(Ngaji of the Day) Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 5

 

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ


Artinya, “Hanya Kau yang kami sembah, dan hanya Kau yang kami mintakan pertolongan.”

 

Ibadah atau sembah secara harfiah berarti tunduk dan rendah. Sementara dalam agama, ibadah atau sembah adalah gabungan dari rasa cinta, tunduk, dan takut sekaligus sebagaimana keterangan Ibnu Katsir berikut ini:

 

العبادة في اللغة من الذلة، يقال: طريق مُعَبّد، وبعير مُعَبّد، أي: مذلل، وفي الشرع: عبارة عما يجمع كمال المحبة والخضوع والخوف.

 

Artinya, “Ibadah pada kata ‘na‘budu’ berarti rendah dan hina. Oleh karena itu, ada frase berbunyi ‘tariq mu‘abbad’ atau jalan yang dipersiapkan untuk dilalui bagi pejalan dan ‘ba‘ir mu‘abbad’ atau unta yang tunduk, maksudnya dijinakkan. Dalam syariat, ibadah merupakan ungkapan atas gabungan kesempurnaan cinta, ketundukan, dan rasa takut sekaligus.” (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim, [Jizah, Muassasah Qurthubah: tanpa tahun], juz I, halaman 214).

 

Pendahuluan maf’ul atau objek “iyyaka” daripada predikat verbanya “na‘budu” serta pengulangan menunjukkan urgensi, pembatasan dan pengkhususan makna dengan “hanya”. “Kami menyembah hanya kepada-Mu dan berpasrah hanya kepada-Mu.” Ini merupakan puncak ketaatan beragama.

 

Ajaran dan praktik agama sepenuhnya merujuk pada penyembahan dan kepasrahan ini. Tidak berlebihan jika ulama salaf mengatakan bahwa rahasia Al-Fatihah atau sirrul fatihah terletak pada “iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in”. Lafal “iyyaka na‘budu” bentuk bara atau pelepasan diri dari kemusyrikan. Sedangkan “wa iyyaka nasta‘in” bentuk serah dan pasrah daya serta kekuatan kepada Allah.” (Ibnu Katsir, tanpa tahun: 214-215).

 

Jamaluddin Al-Qasimi dalam tafsirnya, Mahasinut Ta’wil, menerangkan urgensi penggunaan pembatasan dan pengkhususan atau hashr di mana maf’ul didahulukan daripada subjek dan verbanya dalam Surat Al-Fatihah ayat 5. Menurutnya, masyarakat Arab ketika itu memiliki banyak jenis berhala. Sebagian mereka menyembah matahari, bintang, bulan, malaikat, berhala, pohon, batu, bahkan pendeta mereka sebagaimana keterangan Surat Fusshilat ayat 37, Saba ayat 40-41, Al-Maidah ayat 116, Ali Imran ayat 80, An-Najm 19-20, Al-A’raf ayat 138-140, dan At-Taubah ayat 31. (Al-Qasimi, 1957 M/1376 H: 10-12).

 

Dalam Surat Al-Fatihah ayat 5, digunakan subjek jamak; “iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in” (Hanya Kau yang kami sembah, dan hanya Kau yang kami mintakan pertolongan), bukan tunggal; “iyyaka a‘budu wa iyyaka asta‘in” (Hanya Kau yang kusembah, dan hanya Kau yang kumintakan pertolongan).

 

Ini merupakan pengakuan atas kekurangan, kedaifan, dan kehinaan manusia untuk menghadap di pintu-Nya. Seolah manusia mengatakan, “Tuhanku, aku hanya hamba yang hina dan rendah. Aku tidak layak bermunajat sendiri kepada-Mu. Oleh karenanya, aku menggabungkan diri ke jalan orang-orang beriman yang mengesakan-Mu. Oleh karena itu, kabulkanlah permohonanku di tengah perkumpulan mereka. Kami semua menyembah dan memohon pertolongan-Mu.” (As-Shabuni, 1999 M/1420 H: jilid I, 27). Penggunaan lafal jamak juga berarti tabarukan atas orang-orang saleh beriman. (As-Shawi, tanpa tahun: jilid IV, 274).

 

Menurut As-Shawi dalam Hasyiyatus Shawi alal Jalalain, lafal ibadah didahulukan dibanding permohonan pertolongan. Hal ini mmberikan pelajaran bahwa ibadah merupakan wasilah atau jalan adab dalam memohon pemenuhan hajat kepada Allah.

 

Dalam Surat Al-Fatihah ayat 5, kita kata Imam At-Thabari dalam tafsirnya, Jamiul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, seolah mengatakan, “Ya Allah, kami tunduk dan merendah kepada-Mu sebagai pengakuan kami atas status ketuhanan-Mu, bukan yang lain. Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan atas praktik ibadah, ketaatan kami kepada-Mu, dan segala aktivitas lain di luar itu. Tiada yang lain untuk itu selain-Mu karena orang menjadi kafir atau durhaka kepada-Mu ketika meminta pertolongan kepada berhala atau apa saja yang dipertuhankan. Kami hanya meminta pertolongan-Mu dalam semua urusan kami dengan ikhlas dalam penyembahan,” (At-Thabari, 2000 M/1420 H).

 

Adapun Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jami li Ahkamil Qur’an mengatakan bahwa lafal “Wa iyyaka nasta‘in” atau hanya kepada-Mu kami minta pertolongan merupakan bentuk pembebasan diri dari kesombongan dan keangkuhan akan daya dan kekuatan selain Allah.

 

Tafsir Jalalain menerangkan bahwa Surat Al-Fatihah ayat 5 merupakan pengakuan kehambaan murni kepada Allah dalam urusan pengesaan dan ibadah amaliah lainnya yaitu shalat, puasa, zakat, haji, serta permohonan pertolongan murni kepada-Nya untuk menjalankan ibadah dan aktivitas lainnya baik dunia maupun akhirat. (As-Shawi, tanpa tahun: jilid IV, 274).

 

إيَّاكَ نَعْبُد وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين أَيْ نَخُصّك بِالْعِبَادَةِ مِنْ تَوْحِيد وَغَيْره وَنَطْلُب الْمَعُونَة عَلَى الْعِبَاد وَغَيْرهَا .

 

Artinya, “Lafal ‘iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in’ berarti, ‘kami menyembah-Mu secara khusus baik dalam urusan tauhid dan urusan lain; kami juga meminta pertolongan-Mu dalam urusan ibadah dan urusan lainnya,’” (Jalaluddin, Tafsirul Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun]).

 

Ragam Pelafalan Iyyaka Na‘budu wa Iyyaka Nasta‘īn

 

Imam Ibnu Katsir menyebutkan keragaman bacaan seputar Surat Al-Fatihah ayat 5 dalam tafsirnya, Tafsirul Qur’anil Azhim. Imam tujuh qiraat dan mayoritas ulama membaca lafal “iyya” dengan tasydid; “iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in”.

 

Sedangkan Imam Amr bin Fayid membaca “iya” tanpa tasydid; “iyaka na‘budu wa iyaka nasta‘in.” Tetapi bacaan ini terbilang jarang dan ditolak karena secara harfiah “iya” berarti sinar matahari.

 

Sebagian ulama membaca “iyya” dengan fathah pada hamzah dan tasydid; “ayyaka na‘budu wa ayyaka nasta‘in.” sementara sebagian ulama lain membaca “iyya” dengan ha sebagai pengganti hamzah; “hayyaka na‘budu wa hayyaka nasta‘in.”

 

Mayoritas ulama membaca fathah pada nun “nasta‘in,” kecuali Yahya bin Watsab dan Al-A‘masy. Keduanya membaca kasrah pada nun; “iyyaka na‘budu wa iyyaka nista‘in.” (Ibnu Katsir, tanpa tahun: 214). Wallahu a‘lam. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar