Jumat, 02 Juni 2017

(Ngaji of the Day) Kajian Hadits Kiai Ali Mustafa Yaqub tentang Bilangan Rakaat Tarawih



Kajian Hadits Kiai Ali Mustafa Yaqub tentang Bilangan Rakaat Tarawih

Khilafiyah terkait jumlah rakaat shalat Tarawih masih saja terjadi. Satu kelompok berpendapat bahwa shalat Tarawih harus 20 rakaat dengan dalil hadits Mauquf yang bersumber dari Sayidina Umar bin Al-Khatthab. Sementara itu, kelompok lain mencukupkan 11 rakaat saja dengan dalil hadits yang bersumber dari Sayyidah Aisyah RA. Bahkan Syekh Albani menganggap bid‘ah Tarawih yang dilaksanakan lebih dari 11 rakaat sebagaimana yang ia sebutkan dalam karyanya Risalah Tarawih.

Albani memfatwakan, siapa saja yang menambah shalat Tarawih lebih dari 11 rakaat maka perihalnya sama seperti orang yang menambahi shalat Zuhur menjadi 5 rakaat.

Berbeda dengan kedua pandangan di atas, Kiai Ali Mustafa Ya’qub mempunyai pandangan tersendiri. Ia menegaskan, dalam karyanya Hadits-hadits Bermasalah, bahwa tidak satupun riwayat valid yang menjelaskan kepastian jumlah rakaat shalat Tarawih. Ia juga menyebutkan bahwa boleh saja bagi seseorang melakukan shalat Tarawih dalam jumlah yang ia kehendaki, termasuk seribu rakaat sekalipun. Karena yang diutamakan dalam pelaksanaan shalat Tarawih adalah lama dan bagusnya shalat itu. Boleh saja bilangannya sedikit asalkan bacaannya bagus dan panjang, begitu juga dengan mereka yang shalat dengan jumlah rakaat yang banyak seperti 20 ataupun 36 rakaat.

Kiai Ali Mustqfa Ya‘qub mengajukan sejumlah argumentasi atas hal ini. Pertama, tidak satu pun hadits Marfu’ (hadits yang dinisbatkan secara langsung kepada Nabi) yang menjelaskan bilangan shalat Tarawih Rasulullah SAW. Memang benar ada hadits Sahih riwayat Muslim yang menceritakan bahwa Nabi SAW pernah shalat bersama sahabat sebanyak dua atau tiga malam pertama Ramadhan. Namun Rasulullah SAW tidak melanjutkannya karena khawatir Allah akan mewajibkan shalat tersebut bagi umat Islam yang pada akhirnya akan memberatkan mereka. Dalam hadits itu juga tidak disebutkan secara eksplisit jumlah rakaat yang dikerjakan oleh Nabi SAW.

Kedua, satu-satunya hadits Marfu’ terkait ibadah qiyamul lail (shalat Tarawih) adalah hadits Sahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim di mana Rasulullah SAW bersabda,

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

Artinya, “Dari Sayidina Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa saja yang mendirikan (malam-malam) di bulan Ramadhan dengan keimanan dan penuh perhitungan, niscaya dosa-dosa (kecil) yang pernah ia perbuat akan diampuni oleh Allah SWT.’”

Dalam hadits di atas, Nabi SAW tidak memberikan batasan khusus untuk pelaksanaan qiyamul lail (shalat Tarawih). Rasulullah SAW hanya menyebutkan barangsiapa yang mengerjakannya dengan keimanan dan penuh perhitungan, maka dosa kecilnya akan diampuni. Berdasarkan keumuman tersebut Kiai Ali Mustafa Ya‘qub tidak membatasi bilangan rakaat shalat Tarawih.

Ketiga, Kiai Ali Mustafa membenarkan kesahihan hadits Mauquf yang digunakan oleh kelompok pertama, yaitu hadits yang menceritakan sikap Umar yang menyatukan umat Islam agar melaksanakan shalat Tarawih secara berjamaah sebanyak 20 rakaat di bawah komando seorang imam, yaitu Sahabat Ubai bin Ka’ab. Kiai Ali juga membenarkan kalau hal itu sudah menjadi kesepakatan umat Islam dari sejak zaman Umar hingga sekarang. Tetapi dalam hal ini, Kiai Ali Mustafa tetap memberlakukan keumuman hadits yang bersumber dari Abu Hurairah RA di atas untuk dijadikan sebagai dalil tidak terbatasnya bilangan shalat Tarawih berdasarkan orientasi kemaslahatan, yaitu agar tidak adanya saling klaim kebenaran antarkelompok yang pada akhirnya akan mengakibatkan perpecahan umat.

Keempat, Kiai Ali juga mengkritisi dalil yang digunakan oleh kelompok kedua yang menganggap bahwa shalat Tarawih hanya sebelas rakaat saja dengan argumentasi bahwa hadits tersebut bukan dimaksudkan untuk menjelaskan shalat Tarawih. Tetapi hadits itu berbicara tentang jumlah rakaat shalat Witir. Buktinya hadits tersebut dicantumkan oleh Imam Al-Bukhari dalam bab shalat Witir. Selain itu, melalui redaksi haditsnya juga dapat dipahami bahwa Nabi SAW tidak pernah shalat sunah lebih dari 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan ataupun selainnya sehingga tidak mungkin shalat yang dimaksud di sana adalah shalat Tarawih karena shalat Tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan.

Kelima, Kiai Ali juga membantah argumen Syekh Albani sebagaimana yang tercantum dalam karyanya Risalah Tarawih, yang membatasi pelaksanaan shalat Tarawih hanya pada bilangan sebelas rakaat. Setelah diteliti, argumentasi yang digunakan oleh Albani adalah hadits riwayat Ibnu Hibban yang bersumber dari Sahabat Jabir ibn Abdillah di mana dalam hadits itu disebutkan bahwa Nabi SAW mengizinkan sahabat Ubai ibn Ka’ab untuk mengimami shalat qiyamul lail wanita-wanita yang ada di rumahnya. Pada saat itu Ubai menyatakan akan shalat bersama mereka sebanyak 8 rakaat Tarawih dan 3 rakaat Witir, sedangkan Nabi SAW diam saja pertanda Beliau SAW setuju.

Hadits tersebut mempunyai kualitas yang sangat dhaif sekali (dha’if syadid). Penyebabnya adalah karena dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Isa bin Jariyah. Ia dinilai oleh para ahli hadits seperti Ibnu Ma’in dan Imam An-Nasa’i sebagai perawi yang sangat dhaif. Bahkan Imam An-Nasa’i melabelinya sebagai perawi yang matruk (haditsnya semi palsu karena ia adalah seorang pendusta). Hal senada juga diungkap oleh Syekh Ismail Al-Anshari dalam karyanya Tashhihu Haditsi Shalatit Tarawih ‘Isyrina Rak’atan war Radd ‘alal Albani fi Tadh’ifihi. Wallahu a‘lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar