Tiga Dahlan dalam
Sejarah Kepengurusan PBNU
Dalam sebuah artikel
sejarah yang dimuat di Rubrik Fragmen NU Online, Ketua LTN PCNU Surabaya Rizal
Mumazziq Z menulis tentang enam nama Kiai Dahlan yang dirangkai dengan konsep
Thabaqah Ulama Nusantara.
Dalam tulisan yang
diterbitkan Rabu 14 Februari 2017 itu, Rizal mengupas tentang kerancuan
penyebutan nama Kiai Dahlan saking banyaknya nama tersebut dalam sejarah ulama
di Indonesia sehingga sering menimbulkan kesalahpahaman.
Enam nama Kiai Dahlan
dalam tulisan tersebut di anataranya, KH Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis
(pendiri Persyarikatan Muhammadiyah), KH Ahmad Dahlan bin Muhammad Achyad
Kebondalem Surabaya, KH Dahlan bin Abdullah Attarmasi Assamarani, ahli falak
yang merupakan adik kandung Syekh Mahfudz Attarmasi. Kiai Dahlan Achyad
kemudian diambil mantu oleh KH Sholeh Darat.
Nama Kiai Dahlan
selanjutnya yang diterangkan dalam tulisan tersebut ialah KH Dahlan bin Abdul
Qohar asal Kertosono Nganjuk, salah satu kiai yang membidani kelahiran NU.
Kemudian KH Mohammad Dahlan, Ketua PBNU dan Mantan Menteri Agama.
Berangkat dari
artikel tersebut, penulis bermaksud mengemukakan 3 nama Kiai Dahlan yang pernah
aktif dan berjuang dalam kepengurusan PBNU. Kompilasi singkat dari ketiga
Dahlan dalam struktural PBNU ini penting meskipun berbagai sumber dan literatur
telah banyak mencatat dan meriwayatkan perjuangan mereka.
Pertama, KH Achmad
Dahlan bin Muhammad Achyad. Kiai Dahlan yang satu ini pada tahun 1926 termasuk
salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) mendampingi KH Muhammad Hasyim
Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah serta kiai-kiai lain. Kiai yang sering
disebut dengan nama KH Dahlan Achyad ini semasa hidupnya pernah menjabat Wakil
Rais Akbar NU mendampingi Mbah Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Kiai Dahlan Achyad
lahir pada 13 Muharram 1303 H yang bertepatan dengan tanggal 30 Oktober 1885 di
Kebondalem Surabaya, sebuah wilayah yang berada di Kecamatan Simokerto, sebelah
timur makam Raden Rahmatullah Sunan Ampel, Kiai Dahlan merupakan putra keempat
dari enam bersaudara.
Beliau adalah aktivis
pergerakan yang membidani beberapa embiro NU lewat gerakan pemikiran, seperti
Tashwirul Afkar. Beliau juga menulis beberapa risalah yang berupaya membendung
perdebatan furuiyah antara kaum pembaharu dan kaum tradisionalis yang
meruncing di era 1920-an.
Kedua, KH Dahlan bin
Abdul Qohar. Seorang ulama yang sempat menamatkan pendidikan HIS (sekolah dasar
dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda). Dari latar belakang pendidikan
dasarnya itu, Kiai Dahlan yang satu ini merupakan satu-satunya ulama dalam PBNU
pada zaman itu yang menguasai Bahasa Belanda, disamping Bahasa Arabnya yang
sangat baik.
Namun demikian,
barangkali hanya KH Mohamad Ilyas saja kala itu yang menyamai KH Dahlan bin
Abdul Qohar sesama ulama di struktural PBNU yang berkesempatan menamatkan
pendidikan HIS.
Rizal Mumazziq
mencatat, KH Dahlan bin Abdul Qahar, salah seorang ulama asal Kertosono Nganjuk
yang ikut membidani kelahiran NU. Karib KH Abdul Wahab Chasbullah ini bersama
Syaikh Ghanaim al-Mishri ikut melakukan negosiasi ke Raja Arab Saudi, Ibnu
Suud, mengenai kebebasan menjalankan madzhab dan beberapa tuntutan lain melalui
wadah Komite Hijaz beberapa saat sebelum NU berdiri.
Ketiga, KH Mohamad
Dahlan. Lahir di Pasuruan, 1909, dengan nama Muhamamd Dahlan, beliau tercatat
sebagai penggerak (muharrik) Ansor NU di awal berdirinya bersama KH Abdullah
Ubaid. Di kemudian hari, aktivis yang dianugerahi suara merdu ini juga menjabat
sebagai Ketua PBNU, lalu menjadi Menteri Agama (menggantikan KH Saifuddin
Zuhri) di awal Orde Baru.
Kiprah yang paling
menonjol adalah merintis Musaqabah Tilawatil Qur’an (MTQ). Bersama KH Ibrahim
Hosen, Prof Mukti Ali, KH Zaini Miftah, dan KH Ali Masyhar merintis berdirinya
Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an. Pengamal Dalail Khairat hingga akhir hayatnya ini
dimakamkan di TMP Kalibata, pada 1 Februari 1977.
Sebagai birokrat dan
pengurus PBNU, beliau merupakan tokoh yang gigih dan konsisten dalam melahirkan
sejumlah gagasan cemerlang. Kalau KH Wahid Hasyim membolehkan hakim wanita,
maka dalam NU Kiai Mohamad Dahlan mempelopori berdirinya organisasi Wanita NU
yakni Muslimat. Bahkan dengan kegigihannya akhirnya bisa meyakinkan Kiai Hasyim
Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah yang akhirnya didukung seluruh Nahdliyin.
Ketika menjabat
Menteri Agama (1967-1971), Kiai Dahlan yang memelopori musyawarah antarumat
beragama untuk menjaga kerukunan sesamanya. Selain gagasan mendirikan MTQ dan
PTIQ, ia pula yang berjasa mengangkat ribuan guru-guru agama melalui Ujian Guru
Agama (UGA) pasca peristiwa 1965 sebagai konsekuensi semakin disadarinya bahwa
berkembangnya ajaran komunisme akibat kurangnya pelajaran agama di
sekolah-sekolah.
Tampilnya Dahlan di
gelanggang pergerakan dimulai tahun 1930. Dialah tokoh yang merintis
terbentuknya organisasi NU Cabang Bangil, sekaligus menjadi ketuanya. Lima
tahun kemudian ia terpilih menjadi ketua NU Cabang Pasuruan. Berkat
kepemimpinan dan integritas kepribadian yang dimilikinya, pada tahun 1936 ia
dipercaya untuk menjadi Konsul NU Daerah (wilayah) Jawa Timur yang
berkedudukan di Pasuruan saat itu.
Itulah riwayat
singkat tiga nama Kiai Dahlan yang pernah aktif dalam struktural PBNU hasil
dari kompilasi sejumlah tulisan sejarah yang selama ini memang sudah tertulis
dalam berbagai artikel dan literatur. Tentu kiprah ketiga Dahlan tersebut bukan
semata-mata menampilkan nama tokoh, tetapi keteladanan dalam berjuang
membesarkan organisasi untuk mewujudkan kemaslahatan untuk umat. Wallahu A’lam.
[]
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar