Tiga Ciri Hamba yang Dikehendaki Baik
Setiap manusia tentu ingin menjadi orang yang
baik. Karena sejatinya kehidupan akan membaik ketika manusia pun juga memulai
kebaikan dari dirinya sendiri terlebih dahulu.
Kebaikan yang selalu mereka dambakan,
bukanlah tak berarti. Melainkan kebaikan itulah yang akan membantu mereka
meraih ridho Allah Ta'ala. Karena Allah adalah dzat Yang Maha Baik, maka Allah
juga mencintai hamba yang baik.
Dalam kitab Nashoihul Ibad, Karya
Syekh Nawawi Al-Bantani yang merupakan syarah atas kitab Syekh Syihabuddin
Ahmad bin Hajar Al-Asqolani (Ibnu Hajar Al-Asqolani) dijelaskan, terdapat 3
kriteria seorang hamba yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang yang
baik. Syekh Nawawi berkata:
اذا
أراد الله بعبد خيرا فقهه في الدين
Ketika Allah menghendaki seorang hamba
untuk menjadi orang baik, maka Allah menguatkan agamanya.
Ciri yang pertama adalah agama seorang hamba
tersebut dikuatkan oleh Allah. Dikuatkanlah keimanannya. Sehingga hamba
tersebut tetap teguh menapaki jalan kebaikan, meskipun godaan malang melintang.
Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
من
يرد الله به خيرا يوفقه في الدين
Barang siapa yang dikehendaki menjadi
baik maka dikuatkanlah ia dalam perkara agama.
Lebih lanjut dalam kitab Nashoihul Ibad
dikatakan:
و
زهده في الدنيا
Dizuhudkanlah hamba tersebut didalam
perkara dunia.
Hamba yang baik, adalah hamba yang tidak
tergiur sedikitpun akan gemerlap dunia. Ia berpikir bahwa dunia hanyalah tempat
singgah semata. Hanya perkara yang fana. Hamba yang baik hanya mengingat satu
perkara, yaitu janji Allah akan kehidupan akhirat yang kekal adanya. Ia ingat
betul akan peringatan Rasulullah tentang perkara dunia, bahwa:
حب
الدنيا رئس كل خطيأت
Cinta dunia adalah pokok dari segala
keburukan.
Imam Nawawi menjelaskan ciri ke tiga dengan
kalamnya:
و
بصره بعيوب نفسه
Dan diperlihatkanlah aib-aib dalam
dirinya sendiri.
Hamba yang baik tidak sibuk dengan sesuatu
yang tidak berguna. Mencari-cari aib sesamanya. Membicarakan keburukan orang
lain. Terlebih, merasa dirinya lebih baik dan memandang orang lain terlalu
buruk. Sungguh, hal tersebut jauh dari diri seorang hamba yang baik. Hamba yang
baik adalah hamba yang tidak pernah membicarakan keburukan orang lain.
Ia oleh Allah disibukkan dengan aib-aib
pribadinya. Ia disibukkan dengan berintrospeksi diri, Muhasabatun Nafsi.
Mencari-cari kekurangan diri sendiri untuk kemudian ia perbaiki agar kelak ia
benar-benar menjadi hamba yang baik. Hal ini senada dengan perkataan ulama ahli
hikmah:
طوبى
لمن شغله عيبه عن عيوب الناس
Beruntunglah bagi orang yang
disibukkan dengan aib pribadinya dari pada aib-aib manusia.
Terlepas dari itu semua, Ba'dul Hukama',
sebagian ulama ahli hikmah juga menerangkan bahwa sesungguhnya manusia sudah
bisa meraba-raba nasibnya apakah ia ditakdirkan manjadi orang baik atau
sebaliknya yaitu dengan melihat aktifitas sehari-harinya. Apakah ia dimudahkan
dalam kebaikkan ataukah tidak. Jika iya, maka ia benar-benar ditakdirkan
menjadi orang baik. Karena mereka (ulama ahli hikmah) berkata:
كل
ميسر لما خلق له
Tiap-tiap manusia itu dimudahkan untuk
apa ia diciptakan.
Jadi, ketika seorang hamba selalu diliputi dengan
kebaikan-kebaikan, maka beruntunglah manusia itu. Ia ditakdirkan menjadi orang
baik. Jika sebaliknya, na’udzubillah min dzalik. ***
Disarikan dari pengajian yang diampu oleh
Pengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin Grobogan, Jawa Tengah, KH Muhammad
Shofi Al-Mubarok.
[]
(Ulin Nuha Karim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar