AS, Trump, dan Islam (1)
Oleh: Azyumardi Azra
100 hari pemerintahan Presiden Donald Trump akhir April 2017 lalu
meninggalkan kesan campur aduk bagi warga Amerika Serikat sendiri, maupun bagi
masyarakat dunia. Dalam lebih tiga bulan pemerintahannya, Trump mendatangkan
banyak tanda tanya terkait terutama dengan inkonsistensi kebijakan dalam dan
luar negeri.
Bagi para pendukungnya, populisme politik, kebijakan Trump yang
menekankankan prinsip ‘America First’, pertama-tama Amerika, sejumlah kebijakan
cukup menjanjikan. Sedangkan bagi para penentangnya, langkah-langkah Presiden
Trump dianggap tidak bakal mampu membangkitkan kembali kebesaran negara ini di
tengah percaturan politik dan ekonomi dunia.
Di tengah pergumulan optimisme atau pesimisme masing-masing pihak
tersebut, yang jelas jumlah demonstrasi anti-Trump yang pernah melanda banyak
kota AS di awal pemerintahannya, kini terlihat telah menyurut.
Selain itu, asumsi bahwa Presiden Trump tidak bakal mampu bertahan
lama dalam jabatannya kini terlihat kian tidak relevan. Selama tidak melakukan
kekeliruan fatal seperti pelanggaran konstitusi, pengkhianatan, tindakan
penyogokan dan kriminal berat lain, Presiden Trump akan tetap bertahan—tidak
bisa dimakzulkan.
Bahkan Trump nampaknya tidak hanya bertahan, tapi juga telah
menyiapkan diri untuk maju dalam masa jabatan kedua nanti. Untuk itu, tim
suksesnya sudah mulai menggalang dana.
Berada di New York sepanjang pertengahan bulan lalu (16-22/4/17),
penulis Resonansi ini menyaksikan dan merasakan kehidupan telah kembali normal
setelah kegaduhan politik yang panjang. Tidak terlihat demontrasi atau aksi
massa anti-Trump. Hanya saja jalan ke arah Trump Tower dijaga kian ketat untuk
mengantisipasi kejadian yang tidak diharapkan.
Sejauh menyangkut Islam dan Muslim, Trump sejak masa kampanye
berulangkali misalnya menyatakan tentang bahaya ‘terorisme radikal Islam’. Dia
berjanji mencabut bahaya ini ‘sampai ke akar-akar’ (uprooted).
Tapi dalam kesempatan lain, Trump berbicara lebih hati-hati. Dia
membedakan antara 1,6 miliar Muslim yang mengikuti ajaran Islam secara damai
dengan ‘sekelompok orang [Muslim] yang berbahaya”. Di masa kampanye, Trump juga
pernah menyatakan “Saya pikir Islam membenci kita”.
President Trump lebih dari itu; dia orang yang sulit diduga. Tak
lama dilantik sebagai presiden dia segera mengeluarkan ‘Kepres’ (executive
order) yang melarang masuknya pendatang dari tujuh negara berpenduduk mayoritas
Muslim dan juga menghentikan penerimaan pengungsi dari Syria.
Memang secara kasat mata tak nampak di depan masyarakat New York
peningkatan Islamo-fobia. Beberapa Muslim New York kepada penulis Resonansi ini
juga menyatakan mereka tidak melihat peningkatan Islamofobia sejak kemunculan
Trump. Gejala ini kelihatan berkaitan dengan kenyataan New York sebagai kota
multikultural dan kosmopolitan.
Tetapi pada segi lain, untuk tingkat nasional Amerika sejak Trump
memegang kekuasaan, menurut Council on American Muslim Relations (CAIR) insiden
Islamofobik di pintu masuk AS meningkat sampai sekitar 1.000 persen (The
Independent, 25/4/17). Peningkatan ini terkait khususnya dengan pegawai Dinas
Cukai dan Perlindungan Perbatasan—termasuk petugas imigrasi di bandara.
Peningkatan ini memperlihatkan korelasi antara Kepres Presiden Trump tentang
pelarangan masuk pendatang dari tujuh negara berpenduduk Muslim.
Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim
terkecualikan dari kebijakan imigrasi Presiden Trump. Meski pernah mengalami sejumlah
aksi radikalisme dan terorisme, Indonesia tetap dipandang pemerintahan Trump
sebagai negara damai dengan penduduk Muslim-nya yang umumnya juga cinta damai.
Dalam kaitan itu, dalam pembicaraan penulis dengan kalangan
akademisi di kampus universitas dan lembaga riset di kawasan New York dan
sekitarnya terungkap bahwa Indonesia bagi mereka tetap menjadi sebuah model
kerukunan agama dan pluralisme demokrasi. Dalam konteks perbandingan, Indonesia
masih tetap menjadi salah satu—jika tidak satu-satunya—negara berpenduduk
mayoritas Muslim di mana Islam kompatibel dengan demokrasi.
Tak hanya itu. Indonesia dengan keragaman agama, etnis, budaya dan
bahasanya, menjadi model di mana hubungan intra- dan antar-agama terwujud
harmonis. Di sini peran umat Islam yang mengikuti dan menjalankan paradigma
Islam wasathiyah menjadi sangat krusial. Berkat Muslim Indonesia wasathiyah
yang inklusif dan akomodatif dapat terwujud Indonesia merdeka yang bersatu.
Meski demikian, mereka juga mempertanyakan apa yang sesungguhnya
terjadi dalam kasus Pilgub DKI, di mana Ahok yang ‘double minority’ (Kristen
dan keturunan Tionghoa) kalah dalam Putaran Kedua. Mereka melihat kekalahan
Ahok terkait dengan mobilisasi sentimen Islam melalui penggunaan simbol dan
ajaran Islam tertentu.
Karena itu, mereka melihat kasus ini sebagai ‘ujian’ bagi
demokrasi Indonesia. Apakah perjalanan demokrasi Indonesia selanjutnya, seperti
Pileg dan Pilpres 2019 juga bakal ditentukan sentimen dan mobilisasi simbolisme
agama. Pertanyaan tak mudah dan terlalu awal untuk bisa dijawab agak akurat. []
REPUBLIKA, 04 May 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA
(Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar