Upaya Mencari Pemimpin Mampu di Era Demokrasi
Oleh: Dahlan Iskan
DIA tampak sering gelisah. Terutama di dua
tahun terakhir masa kepresidenannya. Jenderal TNI Prof Dr Susilo Bambang
Yudhoyono berpikir dan terus berpikir. Terutama mengenai masa depan Indonesia.
Lebih khusus lagi mengenai nasib kesinambungan kepemimpinan nasional.
Dalam bahasa blak-blakan saya: Siapa presiden
setelah dia? Mampukah si pengganti melanjutkan capaian kemajuan yang dia
peroleh selama dua periode kepresidenannya? Bisakah sistem demokrasi saat ini
menghasilkan pemimpin yang menjamin kemajuan negara? Dan seterusnya.
Di alam demokrasi seperti ini, siapa yang lebih
disukai akan lebih memungkinkan dipilih daripada siapa yang lebih mampu. Ini
karena suara seorang penjambret bus kota sama nilainya dengan suara seorang
profesor atau doktor.
Kegelisahan SBY itu, menurut pengamatan saya,
dilatarbelakangi beberapa hal. Mungkin pengamatan saya ini tidak tepat. Jawaban
yang paling tepat tentu akan datang dari SBY sendiri. Misalnya, bila suatu saat
nanti Presiden SBY menulis memoar dan jangan lupa mengupas soal ini. Namun,
karena saat itu saya termasuk salah satu menteri kabinetnya yang di pos yang
secara ekonomi cukup penting, rasanya pengamatan saya ini tidak akan terlalu
meleset.
Pertama, SBY tampak gelisah karena sampai saat
itu belum muncul nama calon penggantinya yang lebih mampu dari dia. Bahkan
setara pun tidak.
Di antara nama yang beredar luas di masyarakat saat itu barulah sebatas orang yang memenuhi kriteria disukai. Dia populer. Dan memang orangnya sederhana. Tetapi, saat itu dia belum memiliki track record yang hebat. Terutama untuk satu beban tugas berat secara nasional.
Kedua, Presiden SBY merasa selama
kepemimpinannya, Indonesia mengalami kemajuan yang sangat besar. Dalam kurun
yang panjang. Selama dua periode kepemimpinannya. Terutama di bidang ekonomi,
stabilitas, dan kesejahteraan.
Di zamannyalah Indonesia berhasil masuk
kelompok negara G-20. Besaran ekonomi Indonesia masuk 16 besar dunia. Pendapatan
per kapitanya mencapai 4.500 dolar. Dan seterusnya.
Tentu masih banyak alasan lainnya. Kalau mau,
saya bisa membuat daftar sampai 10 alasan. Tapi, dua itulah yang saya catat
yang paling utama.
Kegelisahan mengenai siapa yang bakal
meneruskannya itu didasari pada logika berpikir SBY yang kuat. Presiden SBY
sering mengemukakan logika begini: ’’Dalam sistem demokrasi seperti ini, orang
yang mampu belum tentu terpilih dan orang yang terpilih belum tentu mampu’’.
Kalau sampai itu yang terjadi, maka negara yang
jadi korban. Demokrasi sebagai alat memajukan negara hanya berhenti sampai di
alat. Tapi, SBY sangat komit pada demokrasi. Meskipun ada logika ’’yang mampu
belum tentu terpilih dan yang terpilih belum tentu mampu’’, demokrasi tidak
boleh dibunuh. Sebaliknya harus juga diupayakan jangan sampai muncul
ketidakpercayaan pada demokrasi akibat ’’yang mampu tidak terpilih, yang
terpilih tidak mampu’’.
Masih ada waktu, waktu itu. Presiden SBY terus
mengamati perkembangan di masyarakat dengan harap-harap cemas. Akankah akhirnya
muncul bakal calon yang dinilai mampu dan punya kans untuk terpilih?
Diikutinya situasi politik dari waktu ke waktu.
Ternyata, belum juga muncul nama yang memasuki kriteria ’’mampu dan bisa
terpilih’’. Yang beredar saat itu masih terus saja ’’populer tapi belum tentu
mampu’’.
Kalau sampai Indonesia jatuh ke tangan
’’populer tapi belum tentu mampu’’, Presiden SBY seperti harus ikut bertanggung
jawab. Terutama kalau kelak, setelah dia lengser, Indonesia mengalami
kemunduran. Bisa ada penilaian bahwa dia kurang negarawan. Tidak berpikir
strategis untuk masa depan bangsanya.
Dari pikiran merasa ikut bertanggung jawab
itulah rupanya muncul idenya yang brilian: Mencari orang yang mampu biarpun
orang itu belum populer. Dasar berpikirnya: Untuk bisa populer masih bisa
dibuat. Tapi untuk bisa ’’mampu’’ tidak bisa mendadak mampu. Sebagian besar
orang memang akan bisa mampu. Tapi, proses untuk menjadi mampu itu ada yang
cepat dan ada pula yang lambat. Negara sedapat mungkin tidak menjadi taruhan
tempat meningkatkan kemampuan seseorang.
SBY termasuk yang berpendapat harus ada
mekanisme tertentu untuk membuat orang yang mampu menjadi populer. Dan akhirnya
bisa terpilih. Banyak orang mampu yang sengaja tidak ingin populer. Menjadi
populer punya risikonya sendiri: bisa menjadi sasaran angin topan. []
(*/bersambung)
JAWA POS, 05 May 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar