Islam dan Globalisasi Ekonomi
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Globalisasi ekonomi dunia, saat ini sering diartikan sebagai
persaingan terbuka, ketundukan mutlak pada kompetisi dan penerimaan total atas
“kebenaran” tata niaga internasional yang diwakili oleh World Trade Organisation
(WTO). Benarkah dan cukupkah hal ini, menjadi perhatian kita melalui tulisan
ini. Dalam uraian ini, akan tampak bagaimana pandangan tentang hal-hal tersebut,
dan dimaksudkan akan tercapai kejelasan mengenai hal ini dalam uraian berikut.
Dengan kata lain, globalisasi ekonomi dimaksudkan untuk
membenarkan dominasi perusahaan-perusahaan besar atas perekonomian
negara-negara berkembang, yang tentu saja akan sangat merugikan negara-negara
tersebut. Karena itulah, tentangan atas WTO dan pengertian globalisasi seperti
itu justru dilancarkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang
berpangkalan di negara-negara berteknologi maju.
Penentangan terbuka atas WTO oleh LSM internasional di Seatle,
mempengaruhi sikap negara-negara berkembang, yang dimunculkan dalam konferensi
WTO di Qatar tahun lalu. Namun, tentangan terhadap gagasan globalisasi ekonomi
itu tidak dilanjutkan dengan kampanye besar-besaran untuk menumbuhkan
pengertian baru atas kata globalisasi itu sendiri. Yang terjadi adalah sebuah
pendekatan negatif, yang tanpa diikuti kampanye besar-besaran untuk
mensukseskan sebuah pendekatan positif berupa pengertian baru akan kata
globalisasi tersebut. Dengan kegagalan menampilkan strategi positif itu tampak
bahwa pengertian lama yang negatif tentang globalisasi tetap berlaku. Hal ini
tentu berbeda, misalnya, dengan strategi Bung Karno untuk menyerang
imperialisme dengan mengemukakan alternatifnya, yaitu negara-negara
Asia-Afrika.
Dalam memahami arti globalisasi di luar pengertian yang sudah
lazim, kita dapat juga bertitik tolak dari pandangan agama tentang pembangunan
nasional. Pandangan itu, berangkat dari apa yang dimaksudkan agama Islam
tentang fungsi ekonomi dalam kehidupan sebuah masyarakat, bertumpu pada dua
faktor utama: arti barang dan jasa bagi kehidupan manusia dan bagaimana
masyarakat menggunakan barang dan jasa tersebut. Modal, dalam pandangan ini,
adalah sesuatu yang diperlukan untuk membuat sesuatu barang atau jasa bagi
kehidupan masyarakat. Dalam memandang modal seperti itu, menjadi jelas bahwa
keuntungan/profit merupakan hasil sekunder yang tidak hanya memperbaiki
kehidupan pemilik modal, tapi juga ia tidak berakibat menyengsarakan pembeli/pengguna
barang tersebut.
Maksudnya, laba tidak hanya berfungsi menguntungkan pemilik modal,
tapi ia juga berfungsi menciptakan keadilan dalam hubungan antara produsen dan
konsumen. Dengan kata lain, laba/keuntungan tidak boleh bersifat manipulatif,
berarti tidak dibenarkan penggunaan sebuah faktor produksi, untuk memanipulasi
pihak lain. Dalam pandangan Islam, tidak diperkenankan adanya pendekatan laisses faire (kebebasan
penuh) yang menjadi ciri kapitalisme yang paling menonjol. Dalam pandangan ini,
benda dan jasa harus memberikan keuntungan pada kedua belah pihak, hingga
hilanglah sifat eksploitatif dari sebuah transaksi ekonomi. Dengan ungkapan
lain, yang dijauhi oleh Islam bukanlah pencarian laba/untung dari sebuah
transaksi ekonomi, melainkan sebuah pencarian laba/untung yang bersifat
eksploitatif.
Dengan pendekatan non-eksploitatif semacam itu, memang tidak
dibenarkan adanya perkembangan pasar tanpa campur tangan pemerintah, minimal
untuk mencegah terjadinya eksploitasi itu sendiri. Di sinilah peranan negara
menjadi sangat penting, yaitu menjamin agar tidak ada manusia/warga negara yang
terhimpit oleh sebuah transaksi ekonomi. Manusia harus diutamakan dari
mekanisme pasar dan bukan sebaliknya. Jika prinsip non-eksploitatif dalam
sebuah transaksi ekonomi seperti digambarkan diatas terjadi, maka dengan
sendirinya pengertian akan globalisasi juga harus dijauhkan dari dominasi
sebuah negara/perusahaan atas negara/perusahaan lain. Karena itu, globalisasi
dalam pengertian lama yang hanya mementingkan satu pihak saja haruslah dirubah
dengan pengertian baru yang lebih menekankan keseimbangan antara
pemakai/pengguna sebuah barang/jasa dan penghasil (produsennya).
Dengan demikian, pencarian untung/laba dalam globalisasi tidak
harus diartikan sebagai kemerdekaan penuh untuk melikuidasi saingan mereka,
melainkan justru diarahkan pada tercapainya keseimbangan antara kepentingan
produsen dan konsumen. Penyesuaian antara kepentingan pihak konsumen dan
produsen ini, tentulah menjadi titik penyesuaian antara kepentingan berbagai
negara satu sama lain di bidang ekonomi dan perdagangan.
Dilihat dari sudut penafsiran seperti itu, dalam pandangan Islam
diperlukan keseimbangan antara kepentingan negara produsen barang/jasa dan
negara pengguna barang/jasa tersebut, sehingga tercapai keseimbangan atas
kehidupan internasional di bidang ekonomi/finansial. Dengan kata lain, keadilan
tidak memperkenankan kata globalisasi digunakan untuk menjarah kepentingan
sesuatu bangsa atau negara, hingga kata itu sendiri berubah arti menjadi
tercapainya keseimbangan antara kedua belah pihak. Singkatnya, WTO seharusnya
berperan mendorong perkembangan ke arah itu, bukannya menjamin kebebasan
berniaga secara penuh, dengan hasil terlemparnya bangsa atau perusahaan lain
karenanya. Sederhana, bukan? []
Tulisan ini diambil dari buku Islamku
Islam Anda Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi. (Jakarta:
The Wahid Institute, 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar