Lirih
Jeritan Alam
Oleh:
Sindhunata
Wir sind
nur Gast auf Erden, kami hanyalah tamu di Bumi ini. Begitulah sebuah judul lagu
religius klasik di Jerman. Lagu karangan penyair Georg Thurmair itu biasa
dinyanyikan untuk mengiringi upacara penguburan. Tapi sebenarnya dalam lagu
tersebut tersimpan rasa perlawanan terhadap rezim Nazi yang fasis: kita
bukanlah penguasa, tapi hanyalah tamu di Bumi ini.
Kita
hanyalah tamu di Bumi ini! Ini juga pernah disuarakan Surono, mantan Kepala
Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana. Seperti pernah dituturkan kepada wartawan
muda Regina Safitri (2015), Mbah Rono, panggilan akrab Surono, mengatakan, Bumi
ada sejak 4,5 miliar tahun lalu, sedangkan manusia datang ke Bumi dalam
hitungan ribuan tahun lalu. "Artinya, manusia hanyalah tamu dari Bumi
ini." Itulah sebabnya, tambah Mbah Rono, dalam lagu Indonesia Raya ada
kata-kata "hiduplah tanahku, hiduplah negeriku". Tanah mendahului
negeri, artinya jika tanah didahulukan, negerinya akan makmur.
Sebagai
tamu di Bumi ini, manusia haruslah hormat dan belajar pada Bumi sebagai tuan
rumah. Dengan begitu, manusia dapat berlaku arif, sopan, bisa hidup harmonis
dan beroleh kearifan lokal. "Kearifan lokal dibentuk dari budaya setempat,
diturunkan oleh nenek moyang, maka harus dijaga. Jika dihayati, kearifan lokal
pasti mengandung nilai-nilai yang baik bagi masyarakat," tutur Mbah Rono.
Kearifan
lokal adalah inti budaya yang diberikan Bumi. Karena itu, sebenarnya budaya
bukanlah semata-mata bikinan manusia, tapi juga anugerah Bumi terhadap manusia.
Dan, karena Bumi di masing-masing tempatnya adalah khas, demikian pula budaya
yang diberikannya juga khas, berbeda satu terhadap lainnya. Maka, meski
sama-sama berada di Indonesia, bumi dan budaya Madura lain dengan bumi dan
budaya Jawa, lain lagi dengan bumi dan budaya Sumatera, atau dengan Kalimatan,
Sulawesi, dan Papua.
Indonesia
membentang tepat di bawah garis khatulistiwa. Di sini matahari bersinar tiada
tandingnya. Terangnya menjadikan hijau dan subur aneka ragam hayati, menjadi
zamrud khatulistiwa. Menjadi lebih elok lagi, karena keragaman hayati itu juga
memberikan keragaman budaya, yang indah dan khas pada diri masing-masing.
Bahwa
kita tidak tahu, mengapa ada keragaman hayati itu, demikian juga kita tidak
tahu mengapa ada keragaman budaya bersamaan dengan keragaman hayati itu. Di
sini baik kita ingat kata-kata filsuf sejarah Oswald Spengler, alam itu ada
dalam keindahan yang hidup seperti digambarkan oleh penyair Goethe, bukan mati
seperti dalam rumusan prinsip-prinsip Newton. Lalu bersama alam itu tumbuhlah
kultur sebagai bunga-bunganya. Kata Spengler, "Kultur tumbuh begitu saja,
tak bisa ditentukan dan seakan tanpa tujuan, persis seperti bunga-bunga tumbuh
di ladang-ladang."
Kita tak
dapat mencegah bunga yang satu tumbuh berbeda dari bunga lainnya. Maka, kita
juga tak dapat mencegah kultur yang satu tumbuh berbeda dari kultur lainnya.
Menyeragamkan kultur tidaklah mungkin, setidak mungkinnya seperti kita
menyeragamkan tumbuhnya bunga-bunga. Itulah kearifan budaya yang diberikan oleh
keanekaragaman alami zamrud khatulistiwa bumi Indonesia ini.
Usaha
menyeragamkan pastilah sia-sia karena kita akan berhadapan dengan alam
Indonesia yang tak mungkin bisa dan mau diseragamkan. Atau kalau memaksakannya,
dalam istilah Mbah Rono, "Kita hanya akan menjadi manusia yang tak
beradab, kurang sopan, dan tak menghormati tata cara hidup sebagai tamu di
hadapan bumi pertiwi Indonesia ini."
Dan, alam
serta keragaman hayati budayanya pun takkan diam, bila ia diinjak-injak untuk
diseragamkan, seperti terjadi belum lama ini. Protes alam ini menitik menjadi
air mata, ketika baru-baru ini kita menangis karena mendengar di mana-mana
warga menyanyikan lagu-lagu keindonesiaan.
Dalam
lagu "Indonesia Raya", "Satu Nusa Satu Bangsa",
"Rayuan Pulau Kelapa", "Indonesia Tanah Air Beta", alam
Nusantara kita akui dan syukuri, kita puja, dan keragaman budayanya kita terima
sebagai anugerah. Tapi sudah lama, alam itu kita khianati. Kita tak mampu lagi
mendengar jeritannya. Hati kita yang penuh kepentingan ini terlalu keras untuk
mendengar tangisnya. Maka, alam pun menyelinapkan tangisnya di mata kita,
memaksa kita mengaku bahwa kita telah bersalah karena menyangkali keragaman
kita. Mengapa tangis itu begitu mengharukan? Karena tangis itu bukanlah tangis
kita, tetapi tangis kedahsyatan alam Indonesia yang sedang menjeritkan
penderitaannya.
Sungai
cinta
Pada
dirinya alam adalah harmonis. Dan bila terganggu, alam selalu bisa
mengembalikan keharmonisan dirinya. Maka, jika kita belajar pada alam,
keharmonisan pula yang akan kita peroleh darinya. Ini misalnya terjadi dalam
fenomena menyatunya Kali Opak dan Kali Progo menjadi Selokan Mataram di
Yogyakarta pada 1981. Para sesepuh bumi Mataram percaya, suatu saat Kali Opak
dan Kali Progo akan bersatu. Bila perkawinan itu terjadi, bumi Mataram akan
makmur dan damai. Upaya "perkawinan" itu dikerjakan sejak zaman
Belanda, dilanjutkan di zaman Jepang dan awal Republik Indonesia, tapi baru
terwujud sepenuhnya pada 1981 dengan selesainya pembangunan Selokan Mataram.
Karena Selokan Mataram, irigasi menjadi lebih lancar, sawah-sawah mendapat
cukup air, dan pertanian menjadi lebih makmur.
Namun,
menurut para sesepuh, perkawinan Kali Opak dan Kali Progro itu punya makna yang
lebih daripada sekadar manfaat material belaka. Kata mereka, digali dari
maknanya, Opak itu berkenaan dengan lakuning urip, perjalanan hidup. Sedangkan
Progo berkenaan dengan sangkan paran, atau tujuan hidup. Perjalanan hidup ini
harus mengarah ke satu tujuan, yaitu manunggal atau menjadi satu dengan tujuan
hidup. Itulah yang dilambangkan dengan tempuk-nya atau kawinnya Kali Opak dan
Kali Progo. Bila kemanunggalan itu terjadi, penduduk bumi Mataram akan hidup
lebih harmonis, damai dan bahagia.
Kisah
serupa ternyata terjadi juga di Nigeria. Di sana ada dua sungai, Sungai Benue
yang airnya kehijau-hijauan, dan Sungai Niger yang airnya ke kuning-kuningan.
Dua sungai itu berbeda sumbernya. Toh keduanya mengalir dan kemudian menjadi
satu di Lokaja, sebelah selatan dari pusat Nigeria. Realitas alam ini menjadi
inspirasi bagi Chidi Kwubiri, seorang seniman Nigeria, untuk menciptakan karya
lukisnya. Dan ia memberi judul lukisannya: "Aku Ada, Karena Kamu
Ada".
"Juga
bila asal kita berbeda, dan kita mempunyai identitas yang berbeda-beda, kita
tetaplah kita. Kita mengarah pada yang lain, dan berkata, aku ada, karena kamu
ada," kata Kwubiri. Dalam karyanya dilukiskan dua figur manusia yang
serupa. Hanya warna dan latar belakangnya berbeda. Yang satu kehijau-hijauan,
dan yang lain kekuning-kuningan. Figur yang hijau meletakkan tangannya pada
bahu figur yang kuning, dan tangannya menjadi kuning. Sedangkan figur yang
kuning meletakkan tangannya pada bahu figur yang hijau dan tangannya menjadi
hijau.
Kedua
kontras warna itu menggambarkan batas yang memisahkan. Namun, batas itu
ternyata bisa menjadi jembatan yang mempersatukan, bila manusia yang berbeda
mau saling menyapa, berpandangan, dan meletakkan tangannya pada bahu satu sama
lainnya. "Perjumpaan mereka yang saling berbeda akan menjadi kekuatan tak
terkira, seperti kekuatan karena bersatunya dua kekuatan alam yang
berbeda," kata Kwubiri.
Perjumpaan
itu merobohkan batas yang memisahkan. Karena perjumpaan itu sesungguhnya adalah
cinta. Lukisan Kwubiri itu seakan mengungkapkan puisi sufi agung Rumi, yang
menyeru agar kita mau mengalahkan akal dengan cinta. Kata Rumi, akal bilang
pada kita, arah-arah itu menunjukkan batas, yang adalah sebuah akhir, sementara
cinta berkata, tidak, tak ada batas di sana, selalu ada jalan di sana, dan aku
sering melaluinya.
Gila
harta dan kuasa
Lukisan
Kwubiri itu telah merekam ajaran alam tentang cinta. Tapi alam juga mengajari
kita tentang derita. Inilah pesan dalam pameran perupa Budi Ubrux, berjudul
"Rajakaya", di Taman Budaya Yogyakarta, 18-31 Mei 2017. Di sana Ubrux
memasang sejumlah patung sapi, dan membuatnya jadi seperti pasar sapi. Di Jawa,
bersama ayam, bebek, mentok, kambing, dan kerbau, sapi disebut rajakaya. Artinya,
sapi adalah milik yang bisa memberikan kaya pada pemiliknya. Secara khusus,
sapi disebut rewange wong tani, pembantu para petani. Orang di pedesaan Jawa
juga percaya, sapi itu adalah ingon-ingone atau hewan piaraan Nabi Sulaiman,
yang diserahkan pada petani untuk membantu mereka bekerja. Karena itu, sapi
harus dirawat dan dihargai. Di beberapa desa Jawa Tengah, penduduk menjalankan
amanah itu, misalnya dengan mengadakan selamatan atau lebaran sapi.
Akhir-akhir
ini derajat sapi sebagai rajakaya sungguh turun. Berita-berita gencar
mengeluhkan nasib peternak sapi lokal. Peternakan sapi lokal lesu dan terancam
bangkrut. Mereka tak berdaya dalam bersaing dengan produk daging sapi impor.
Celakanya, perdagangan daging sapi impor merupakan lahan subur bagi praktik korupsi.
Tentu saja ini juga berakibat pada makin terpojoknya produk daging sapi lokal.
Pemerintah kelihatannya belum serius mewaspadai kejadian ini, apalagi mengambil
tindakan tegas untuk mengawasi peredaran daging impor. Jika dibiarkan, peternak
sapi lokal terdemotivasi, dan kehilangan hasrat memelihara dan berdagang sapi
(Kompas, 29/4/17).
Maka,
perhatikanlah nasib sapi lokal itu! Kiranya, itulah pesan Ubrux lewat instalasi
pasar sapinya. Ubrux tak membiarkan sapinya tinggal polosan. Ia melukisi
sapinya dengan segala macam tanaman hasil bumi petani: cabai hijau dan merah,
bawang putih, brambang, kol ungu, laos, kunir, jambu mete, pisang, pepaya,
belimbing, bengkoang, kesemek, nanas, srikaya, ubi, ketela, jagung, padi.
Segala kekayaan desa jadi kelihatan di atas tubuh sapi-sapi. Di tubuhnya juga
kelihatan gambar perempuan-perempuan desa gembira menabuh lesung karena
panenannya. Sapi itu jadi tampak sebagai pembawa pengharapan dan kegembiraan
mereka.
Sesuai
ciri khas lukisnya, Ubrux lalu membungkus kepala-kepala sapinya dengan cetakan
koran. Segala simpang-siur berita harian koran yang memusingkan hidup menjadi
bagian dari diri sapi itu. Ini jadi menimbulkan kesan, betapa berat "beban
pikiran" yang harus ditanggung sapi-sapi itu dalam kepalanya. Berita
tentang harga tak terkendali, dualisme pimpinan, dana yang tersampir di pusat,
lintah darat dan tuan tanah yang tertangkap, sulitnya kredit pupuk, turunnya
harga gabah, dan kenaikan harga kebutuhan pokok, semuanya itu tercetak di
kepala sapi-sapi itu.
Lewat kepalanya
yang terbungkus koran, sapi-sapi seakan ingin menyuarakan amanat penderitaan
rakyat. Sementara sapi-sapi itu sendiri juga ingin bicara dan memperdengarkan
nasibnya, bahwa sekarang ini mereka bukan lagi rajakaya, tetapi sekadar
komoditas setaraf barang produksi belaka. Tragika sapi ini dipertajam lagi
dengan instalasi berikut.
Ubrux
memasang sepasang sapi, yang menarik mobil. Menghela cikar atau gerobak, itu
adalah normal buat sapi. Tapi menghela mobil? Ini sungguh suatu keterlaluan.
Apalagi mobil itu adalah mobil BMW. Mobil itu sudah punya mesin untuk bisa
berjalan, mengapa mobil itu masih harus ditarik sapi? Kecepatan mobil itu
puluhan kilometer per jamnya. Masihkah mobil ini harus meminta pertolongan sapi
yang jika menarik gerobak paling-paling bisa hanya berjalan 2-3 kilometer per
jam? Betapa teganya perbudakan modern itu.
Instalasi
Ubrux ini tiba-tiba mengingatkan, sapi itu bukanlah sekadar sapi. Sapi itu
adalah rakyat. Dari dulu sampai sekarang, rakyat itu harus terus menghela
beban. Bahkan di zaman sekarang ini, rakyat juga masih harus menarik mereka
yang kaya, agar mereka tetap bisa berleha-leha dan bersenang-senang dengan
"kendaraan kemewahannya".
Sapi-sapi
rakyat itu bukan hanya menarik ambisi gila harta para penguasa dan mereka yang
kaya, tapi juga harus menghela ambisi gila kuasa politik mereka. Sapi-sapi itu
dijadikan budak penghela kereta politik mereka. Jika terlalu diam, sapi-sapi
itu dicambuki dengan pecut-pecut provokasi, kalau perlu dengan menghalalkan
kekerasan. Para penguasa politik itu menjanjikan kebebasan. Namun diam-diam,
menyiksa sapi-sapi itu menjadi ciptaan ternista yang tanpa kebebasan.
Waktu
itu, 3 Januari 1889, Friedrich Nietzsche keluar dari pondokannya, mau pergi
berjalan-jalan. Saat-saat itu ia sedang berada dalam gangguan jiwa yang sudah
akut. Ia pergi menuju Plazza Carlo Alberto di kota Turin. Di sana ia melihat,
bagaimana kusir dengan amat brutal memecuti kuda penarik keretanya. Nietzsche
menangis, dan dengan meratap ia memeluk kuda itu penuh iba.
Tak tahu
apa yang terjadi pada saat itu. Mungkin ia melihat segalanya jadi sia-sia.
Sepanjang hidupnya ia terbayang-bayang akan "manusia super", manusia
yang mengatasi kepicikan, keterbatasannya, manusia yang tidak seharusnya kalah
dengan Tuhan yang membatasinya. Sekarang dengan melihat penderitaan binatang
berupa kuda itu, semuanya rontok, semuanya seakan percuma. Sia-sialah pencapaiannya,
sia-sialah kidung Übermensch dan Zarathustra-nya. Melihat kuda yang menderita
itu, Nietzsche menangis, memeluknya, dan kemudian rebah. Ia telah menjadi
sungguh-sungguh gila.
Di Pasar
Sapi Ubrux ini, kita melihat bahwa sepasang sapi kelelahan menarik mobil BMW
mewah. Sungguh sebuah pemandangan gila. Ironi itu membuat kita bertanya:
jangan-jangan hidup ini sudah menjadi gila, sampai para penguasa dan mereka
yang kaya membuat tindakan demikian tidak masuk akal, memaksa sapi menghela
kereta gila harta dan kereta gila kuasa politik mereka? Kita merasa, sapi-sapi
itu bukan lagi sapi, tapi alam bumi Indonesia yang sedang menjeritkan nasib
rakyat kecil yang menderita. []
KOMPAS,
24 Mei 2017
Sindhunata
; Wartawan; Pemimpin Majalah Basis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar