Kebangkitan
Keutamaan Budi
Oleh:
Yudi Latif
Kebangkitan
nasional tidaklah datang sebagai tiban, melainkan hasil usaha sadar untuk
belajar dan berjuang. Meminjam ungkapan Bung Karno, ”Hidup sesuatu bangsa
tergantung dari vrijheids-bewustzijn’, kesadaran kemerdekaan-kebangkitan bangsa
itu; tidak dari teknik; tidak dari industri; tidak dari pabrik atau kapal
terbang atau jalan aspal.” Dalam mengusahakan kebangkitan kembali bangsa
Indonesia di tengah era kebangkitan Asia, kita bisa menjadikan pengalaman
kebangkitan masa lalu sebagai kaca benggala untuk memandang masa depan.
Dari
manakah usaha kebangkitan nasional itu harus dimulai? Dari kesadaran pentingnya
keutamaan budi; budi utama. Belajar pada sejarah, awal abad ke-20, kesadaran
itu bukan hanya tecermin dari kelahiran Budi Utomo, tetapi juga organisasi
sezaman, seperti Jamiat Khair (perkumpulan kebajikan budi) dan juga Tri Koro
Dharmo (Tiga Tujuan Mulia: sakti, budi, bakti). Singkat kata, budi pekerti
(karakter) adalah tumpuan utama kebangkitan dan kemajuan.
Karena
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat religius, jalan menuju keutamaan budi
itu bisa ditempuh dengan menguatkan dimensi spiritual dan etika agama sebagai
basis perwujudan akhlak mulia. Dalam kaitan ini, ledakan spirit keagamaan yang
membuncah belakangan ini hendaklah tidak berhenti sekadar ekspresi amarah
jalanan. Gairah keagamaan harus menyentuh kedalaman yang lebih substantif:
mempersoalkan basis etis-spiritualitas kemajuan bangsa.
Dalam
buku A Study of History, sejarawan terkemuka Inggris, Arnold Toynbee, melakukan
pelacakan terhadap faktor kebangkitan dan kejatuhan sekitar dua puluhan
peradaban. Pada setiap kasus, Toynbee mengaitkan disintegrasi peradaban dengan
proses melemahnya visi spiritual peradaban tersebut. Singkat kata, bangunan
negara (dan peradaban) tanpa landasan transenden ibarat bangunan istana pasir.
Studi
Toynbee tersebut mengisyaratkan adanya hubungan yang erat antara nilai-nilai
spiritual keagamaan dengan kebangkitan bangsa dan peradaban. Samuel Huntington
dalam Who Are We? menunjukkan hal menarik mengenai keberlangsungan Amerika
Serikat (AS) sebagai negara adikuasa dibandingkan dengan Uni Soviet. Di AS,
urainya, ”Agama telah dan masih merupakan sesuatu yang sentral, dan barangkali
identitas yang paling sentral bagi bangsa Amerika” (Huntington, 2004).
Huntington juga menunjukkan (2006) bahwa geografi peradaban yang mampu bertahan
adalah geografi peradaban yang berbasis keyakinan/ketuhanan. Dalam kaitan
antara corak keagamaan dan politik, Alexis de Tocqueville (1835/1998) dan
Robert Putnam (2006) mewakili para ahli yang menunjukkan peran nilai-nilai
keagamaan dalam memengaruhi demokrasi.
Memang,
ada faktor budaya yang dipengaruhi oleh agama yang menjadi rintangan bagi
kemajuan. Akan tetapi, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa faktor
keyakinan memberikan kontribusi yang penting dalam progres ekonomi dan
demokrasi. Tentu saja, banyak faktor yang ikut memengaruhinya sehingga dalam
konteks mana agama menjadi rintangan dan dalam konteks mana pula ia menjadi
pendorong kemajuan merupakan hal yang harus dipertimbangkan.
Hendaklah
disadari bahwa agama sebagai pedoman hidup berkaitan dengan yang suci (sacred)
sedari awal memang mengandung kekuatan yang ambivalen: menakjubkan (enrapture)
dan menghancurkan (annihilate). Kata ”sacred” (Latin: sacer) itu bisa berarti
karunia atau kutukan, suci atau cercaan.
Modus
beragama yang berhenti sebagai pemujaan lahiriah formalisme peribadatan, tanpa
kesanggupan menggali batiniah nilai spiritualitas dan moralitas hanyalah
berselancar di permukaan gelombang bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman
pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul, kering, dan keras. Tanpa
daya-daya kontemplatif dan kemampuan berdamai dengan misteri dan
ketidakpastian, orang-orang beragama bisa memaksakan absolutisme sebagai
respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia, yang menimbulkan
penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.
Banyak
penyeru menekankan pentingnya ibadah sebagai cara memerangi korupsi, tanpa
menyadari bahwa pengamalan keagamaan yang salah justru bisa menyuburkan
korupsi. Bisa dikatakan, akar terdalam dari tindakan korupsi adalah ”dusta
terhadap agama” dengan peribadatan yang keliru. Al Quran mengisyaratkan hal ini
sebagai pangkal kecelakaan. ”Maka celakalah orang-orang yang shalat; yang lalai
dalam shalatnya; yang hanya pamer saja; yang tidak memberikan pertolongan” (QS
107: 4-7).
Dalam
Hikayat Florentin, Machiavelli menandai ”kota korup” dengan sejumlah ciri,
antara lain pemahaman keagamaan penduduk ”berdasarkan kemalasan, bukan
kesalehan”. Yang ia maksudkan adalah keagamaan yang menekankan aspek formal dan
ritual ketimbang pengembangan esensi ajaran. Memuja ”insan pembual daripada
insan pekerja”, memperindah tempat ibadah daripada menolong yang papa. Modus
keagamaan seperti ini, menurut dia, ”membuat orang tak lagi beramal saleh, yang
mengantarkan penduduk menjadi mangsa empuk tirani politik dan modal”.
Pemulihan
krisis kehilangan basis kepercayaannya ketika agama yang seharusnya membantu
manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang, dan perawatan (khalifah)
justru sering kali memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan zaman dalam
bentuk permusuhan dan penyingkiran.
Agama
bisa memainkan penting dalam pemulihan krisis sekiranya persoalan agama tidak
berhenti pada apa yang kita percaya, melainkan pada apa yang kita perbuat.
Untuk itu, agama tidak perlu meninggalkan kepercayaan dan ritualnya, tetapi
perlu lebih menekankan pentingnya visi spiritualitas dan komitmen etis di
jantung keagamaan. []
KOMPAS,
23 Mei 2017
Yudi
Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar