Rabu, 17 Mei 2017

(Buku of the Day) Kupilih Jalan Gerilya: Roman Hidup Panglima Besar Jenderal Soedirman



Jenderal Soedirman dan Jalan Gerilya


Judul                : Kupilih Jalan Gerilya: Roman Hidup Panglima Besar Jenderal Soedirman
Penulis             : E. Rokajat Asura
Penerbit            : Imania
Jumlah Halaman: xiii + 270
Terbit                : 23 Februari 2015
Peresensi          : Faried Wijdan, pengagum Panglima Besar Jenderal Sudirman.

Yang sakit itu Sudirman, Panglima Besar tidak pernah sakit.”

Kalimat di atas keluar dari mulut Panglima Besar Sudirman tatkala Bung Karno menolak ikut gerilya. Tubuh ringkih itu memilih jalan gerilya, membakar semangat prajurit, membuktikan pada dunia – negara Indonesia tetap ada sekalipun para pemimpin politik telah ditawan Belanda. Dalam kondisi sakit-sakitan mendaki bukit, menembus belantara, menghadang tanah tandus berbatu, menghindari serbuan Belanda tanpa henti. 

Tapi di balik wajah pucat itu sinar matanya tak pernah berubah – tajam berkharisma, membuat Simon Spoor frustasi. Operasi pengejaran Sudirman selalu gagal. Saat Sudirman kembali ke Yogyakarta, rakyat menyemut di pinggir jalan menyambut. Air mata jadi saksi bagaimana lelaki kurus pengidap TBC akut itu telah gemilang mempertahankan martabat negeri. Ia berhasil mengusir berbagai aral rintang, tapi tak berhasil mengusir penyakit TBC yang bersarang di tubuhnya. 

Sikap sosok panglima yang juga santri didikan PETA ini tak pernah berubah: usir penjajah dari bumi pertiwi. Sehingga ketika Perundingan Renville deadlock dan Belanda ingkar janji dengan meluluhlantakkan Lapangan Udara Maguwo untuk merebut Jogja yang dikuasai republik, Panglima Besar Jenderal Sudirman telah memilih jalan gerilya sekalipun sedang sakit dengan paru-paru yang telah dikempeskan sebelah. 

Ketika Bung Karno tak menemukan jalan dan melarang Sudirman gerilya karena sakit, sikap Sudirman juga tak berubah. Sosoknya tegas, berprinsip, namun mengayomi anak buahnya itulah yang kemudian melahirkan kekuatan baik untuk diri panglima sendiri maupun untuk anak buah dan koleganya. Medan mendaki, menurun, bukit tandus, kekurangan makanan, hujan, tak menjadikan patah arang. Semua berdiri tegap dengan dada membusung: orang asing tak punya hak menduduki kembali republik yang telah merdeka.

Rasa cinta Panglima Besar Jenderal Sudirman kepada keluarga, tak mengalahkan kecintaannya kepada anak buah sehingga merasa bangga ketika ada di antara mereka. Tapi ketika lahir putra bungsunya, keteguhan itu hampir goyah ketika Hanum Faeny, adik iparnya menuntut seorang pemimpin yang tanggung jawab akan selalu berada di antara anak buahnya, orang tua yang bertanggung jawab akan berada di tengah keluarganya. 

Beruntung Sudirman memiliki seorang istri yang luar biasa tabah, Alfiah, putri seorang juragan batik dari Cilacap. Ketika pergi ke medan gerilya, ia segera memegang peran sebagai ibu sekaligus ayah untuk putra-putrinya. Ia memang menjelma menjadi perempuan teguh. Tapi ketika sepi melanda, sebagai perempuan tetap saja terjerumus pada romantika masa lalu bersama Sudirman. Kondisi yang senantiasa membuatnya selalu terjaga di sepanjang malam. Kesepian yang kemudian dirasakan pula oleh Panglima Besar Jendeal Sudirman di medan gerilya. 

Letnan Kolonel Simon Spoor tak pernah mengira bila setelah menduduki Yogyakarta, kemudian menawan para pemimpin republik, negara yang bernama Indonesia itu dengan sendirinya akan lumpuh. Satu hal yang luput dari perhatiannya adalah kekuatan tentara yang ternyata masih tetap ada dan kuat. Ia pun mengejar Sudirman yang memimpin tentara dari medan gerilya. Keadaan ini membuat Sudirman semakin kepayahan, sebab disamping kesehatannya yang terus menurun karena tidak diobati secara optimal, ia pun harus terus-menerus bergerak siang dan malam, menghindari kejaran musuh. 

Sehingga pasukan Belanda selalu datang terlambat. Menghancurkan tempat yang justru telah ditinggalkan Sudirman. Hal ini terjadi terus-menerus, sehingga pada akhirnya menyadarkan Sudirman, ternyata ada mata-mata musuh yang ikut bergerilya. Beruntung Gusti Allah selalu membuktikan keajaiban kepada lelaki kurus kelahiran Bodaskarangjati, Banyumas ini. Ia beserta rombongan selalu selamat dari sergapan musuh, sampai akhirnya menetap di Sobo yang dijadikan markas besar gerilya. Dari tempat ini, Serangan Umum 1 Maret 1949 dirancang. Dari tempat ini pula berbagai penyerangan berhasil dilakukan sehingga membuat pasukan Belanda frustasi. 

Gencatan senjata kemudian disepakati sebagai hasil dari Perundingan Roem-Royen. Bung Karno dan pemimpin politik lainnya kembali ke Yogyakarta dari pengasingan. Tapi ketika Panglima Soedirman diminta turun gunung, ia tetap menolak sebab tak pernah percaya dengan Belanda. Hatinya kemudian luluh ketika Bung Karno menulis surat secara peribadi dan memohon untuk turun gunung.

Rekannya yang dihormati, Kolonel Gatot Soebroto juga menulis secara pribadi atas usul Alfiah yang disampaikannya kepada Sultan Hamengkubuwono IX. Hatinya luluh ketika rasa kangen kepada keluarga yang lama ditinggalkan. Ia masuk kota Yogyakarta disambut rakyat secara luar biasa, menandakan Panglima Besar Jendeal Sudirman tetap dicintai tidak saja oleh tentara, tapi juga rakyat.

"Saya sudah ketemu Bung Karno, juga Bung Hatta. Saya bisa mengerti politik diplomasi pemerintah, akan tetapi diplomasi tanpa kekuatan militer hampir tak ada gunanya. Sebab itu, menurut saya, biarkan saja kalau terjadi pertempuran-pertempuran antara Belanda dan anak-anak kita, agar Belanda menyadari bahwa kita juga mempunyai kemampuan tempur. Kekuatan kita berangsur-angsur lebih dibanggakan, hal itu perlu bantuan moril dari kaum diplomat kita,” ujar Kiai Wahid Hasyim ketika menengok Sudirman yang terbaring sakit. 

"Yang sudah lama saya khawatirkan, kini benar-benar terjadi. Orang-orang komunis menusuk dengan belati di punggung kita, ketika kita sedang menghadapi Belanda. Yang saya pikirkan, bila sewaktu-waktu Belanda menyerbu ke Yogya, kekuatan militer kita jangan tercerai berai. Itu sebabnya saya perintahkan kepada Markas Besar untuk mempercepat penghancuran terhadap pemberontakan PKI di Madiun,” jelas Sudirman.

Dialog antara Kiai Wahid Hasyim (ayahanda Gus Dur) dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman itu mencerminkan bagaimana sikap pemerintah sipil yang kurang menghargai peran tentara. Masalah itu yang kemudian menjadi sumber gesekan, termasuk antara Bung Karno dan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Tapi ketegasan Sudirman dan selalu konsisten dalam bersikap, membuat Bung Karno tetap mencintainya.

Bila memperhatikan tubuhnya yang kurus kering, wajah pucat karena kurang istirahat, pihak pemerintah Belanda tak pernah mengira bila lelaki kurus ini telah membuat pasukan Belanda kalang-kabut. Belum lagi para sakti mata yang tak habis berpikir, karena keajaiban dan kejadian-kejadian mistis senantiasa melingkupi perjalanan gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman ini. Seperti, cundrik yang bisa mendatangkan hujan, merica yang bisa mengaburkan pesawat Belanda dan sebilah keris yang selalu menjadi pertanda. 

Novel ini juga ‘menyinggung’ peristiwa-peristiwa mistis seperti itu, disamping romantika bersama Alfiah, disajikan secara seimbang. Sehingga membaca kehidupan Sudirman tidak semata sebagai tentara, tapi juga sosok kiai, guru, pemain teater, dan pemain bola. 

Di dalam buku sejarah, pahlawan adalah orang yang pada akhirnya membosankan. Tapi tidak di novel ini. Sosok Sang Gerilyawan digambarkan penuh warna seperti manusia biasa pada umumnya. Bisa jenaka dan romantis. Penulis juga ‘cerdas’ dan ‘cemerlang’ membahasakan aktualita, faktualita, politik, sejarah, budaya, dan jiwa patriotik melalui bahasa naratif yang komunikatif dan mudah dicerna. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar