Jenderal Soedirman
dan Jalan Gerilya
Judul
: Kupilih Jalan Gerilya: Roman Hidup Panglima Besar Jenderal Soedirman
Penulis
: E. Rokajat Asura
Penerbit
: Imania
Jumlah Halaman: xiii
+ 270
Terbit
: 23 Februari 2015
Peresensi
: Faried Wijdan, pengagum Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Yang sakit itu
Sudirman, Panglima Besar tidak pernah sakit.”
Kalimat di atas
keluar dari mulut Panglima Besar Sudirman tatkala Bung Karno menolak ikut
gerilya. Tubuh ringkih itu memilih jalan gerilya, membakar semangat prajurit,
membuktikan pada dunia – negara Indonesia tetap ada sekalipun para pemimpin
politik telah ditawan Belanda. Dalam kondisi sakit-sakitan mendaki bukit,
menembus belantara, menghadang tanah tandus berbatu, menghindari serbuan
Belanda tanpa henti.
Tapi di balik wajah
pucat itu sinar matanya tak pernah berubah – tajam berkharisma, membuat Simon
Spoor frustasi. Operasi pengejaran Sudirman selalu gagal. Saat Sudirman kembali
ke Yogyakarta, rakyat menyemut di pinggir jalan menyambut. Air mata jadi saksi
bagaimana lelaki kurus pengidap TBC akut itu telah gemilang mempertahankan
martabat negeri. Ia berhasil mengusir berbagai aral rintang, tapi tak berhasil
mengusir penyakit TBC yang bersarang di tubuhnya.
Sikap sosok panglima
yang juga santri didikan PETA ini tak pernah berubah: usir penjajah dari bumi
pertiwi. Sehingga ketika Perundingan Renville deadlock dan Belanda ingkar janji
dengan meluluhlantakkan Lapangan Udara Maguwo untuk merebut Jogja yang dikuasai
republik, Panglima Besar Jenderal Sudirman telah memilih jalan gerilya
sekalipun sedang sakit dengan paru-paru yang telah dikempeskan sebelah.
Ketika Bung Karno tak
menemukan jalan dan melarang Sudirman gerilya karena sakit, sikap Sudirman juga
tak berubah. Sosoknya tegas, berprinsip, namun mengayomi anak buahnya itulah
yang kemudian melahirkan kekuatan baik untuk diri panglima sendiri maupun untuk
anak buah dan koleganya. Medan mendaki, menurun, bukit tandus, kekurangan
makanan, hujan, tak menjadikan patah arang. Semua berdiri tegap dengan dada
membusung: orang asing tak punya hak menduduki kembali republik yang telah
merdeka.
Rasa cinta Panglima
Besar Jenderal Sudirman kepada keluarga, tak mengalahkan kecintaannya kepada
anak buah sehingga merasa bangga ketika ada di antara mereka. Tapi ketika lahir
putra bungsunya, keteguhan itu hampir goyah ketika Hanum Faeny, adik iparnya
menuntut seorang pemimpin yang tanggung jawab akan selalu berada di antara anak
buahnya, orang tua yang bertanggung jawab akan berada di tengah
keluarganya.
Beruntung Sudirman
memiliki seorang istri yang luar biasa tabah, Alfiah, putri seorang juragan
batik dari Cilacap. Ketika pergi ke medan gerilya, ia segera memegang peran
sebagai ibu sekaligus ayah untuk putra-putrinya. Ia memang menjelma menjadi
perempuan teguh. Tapi ketika sepi melanda, sebagai perempuan tetap saja
terjerumus pada romantika masa lalu bersama Sudirman. Kondisi yang senantiasa
membuatnya selalu terjaga di sepanjang malam. Kesepian yang kemudian dirasakan
pula oleh Panglima Besar Jendeal Sudirman di medan gerilya.
Letnan Kolonel Simon
Spoor tak pernah mengira bila setelah menduduki Yogyakarta, kemudian menawan
para pemimpin republik, negara yang bernama Indonesia itu dengan sendirinya
akan lumpuh. Satu hal yang luput dari perhatiannya adalah kekuatan tentara yang
ternyata masih tetap ada dan kuat. Ia pun mengejar Sudirman yang memimpin
tentara dari medan gerilya. Keadaan ini membuat Sudirman semakin kepayahan,
sebab disamping kesehatannya yang terus menurun karena tidak diobati secara
optimal, ia pun harus terus-menerus bergerak siang dan malam, menghindari
kejaran musuh.
Sehingga pasukan
Belanda selalu datang terlambat. Menghancurkan tempat yang justru telah
ditinggalkan Sudirman. Hal ini terjadi terus-menerus, sehingga pada akhirnya
menyadarkan Sudirman, ternyata ada mata-mata musuh yang ikut bergerilya.
Beruntung Gusti Allah selalu membuktikan keajaiban kepada lelaki kurus
kelahiran Bodaskarangjati, Banyumas ini. Ia beserta rombongan selalu selamat
dari sergapan musuh, sampai akhirnya menetap di Sobo yang dijadikan markas
besar gerilya. Dari tempat ini, Serangan Umum 1 Maret 1949 dirancang. Dari
tempat ini pula berbagai penyerangan berhasil dilakukan sehingga membuat
pasukan Belanda frustasi.
Gencatan senjata
kemudian disepakati sebagai hasil dari Perundingan Roem-Royen. Bung Karno dan
pemimpin politik lainnya kembali ke Yogyakarta dari pengasingan. Tapi ketika
Panglima Soedirman diminta turun gunung, ia tetap menolak sebab tak pernah
percaya dengan Belanda. Hatinya kemudian luluh ketika Bung Karno menulis surat
secara peribadi dan memohon untuk turun gunung.
Rekannya yang
dihormati, Kolonel Gatot Soebroto juga menulis secara pribadi atas usul Alfiah
yang disampaikannya kepada Sultan Hamengkubuwono IX. Hatinya luluh ketika rasa
kangen kepada keluarga yang lama ditinggalkan. Ia masuk kota Yogyakarta
disambut rakyat secara luar biasa, menandakan Panglima Besar Jendeal Sudirman
tetap dicintai tidak saja oleh tentara, tapi juga rakyat.
"Saya sudah
ketemu Bung Karno, juga Bung Hatta. Saya bisa mengerti politik diplomasi
pemerintah, akan tetapi diplomasi tanpa kekuatan militer hampir tak ada
gunanya. Sebab itu, menurut saya, biarkan saja kalau terjadi
pertempuran-pertempuran antara Belanda dan anak-anak kita, agar Belanda
menyadari bahwa kita juga mempunyai kemampuan tempur. Kekuatan kita
berangsur-angsur lebih dibanggakan, hal itu perlu bantuan moril dari kaum
diplomat kita,” ujar Kiai Wahid Hasyim ketika menengok Sudirman yang terbaring
sakit.
"Yang sudah lama
saya khawatirkan, kini benar-benar terjadi. Orang-orang komunis menusuk dengan
belati di punggung kita, ketika kita sedang menghadapi Belanda. Yang saya
pikirkan, bila sewaktu-waktu Belanda menyerbu ke Yogya, kekuatan militer kita
jangan tercerai berai. Itu sebabnya saya perintahkan kepada Markas Besar untuk
mempercepat penghancuran terhadap pemberontakan PKI di Madiun,” jelas Sudirman.
Dialog antara Kiai
Wahid Hasyim (ayahanda Gus Dur) dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman itu
mencerminkan bagaimana sikap pemerintah sipil yang kurang menghargai peran
tentara. Masalah itu yang kemudian menjadi sumber gesekan, termasuk antara Bung
Karno dan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Tapi ketegasan Sudirman dan selalu
konsisten dalam bersikap, membuat Bung Karno tetap mencintainya.
Bila memperhatikan
tubuhnya yang kurus kering, wajah pucat karena kurang istirahat, pihak
pemerintah Belanda tak pernah mengira bila lelaki kurus ini telah membuat
pasukan Belanda kalang-kabut. Belum lagi para sakti mata yang tak habis
berpikir, karena keajaiban dan kejadian-kejadian mistis senantiasa melingkupi
perjalanan gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman ini. Seperti, cundrik yang
bisa mendatangkan hujan, merica yang bisa mengaburkan pesawat Belanda dan
sebilah keris yang selalu menjadi pertanda.
Novel ini juga
‘menyinggung’ peristiwa-peristiwa mistis seperti itu, disamping romantika
bersama Alfiah, disajikan secara seimbang. Sehingga membaca kehidupan Sudirman
tidak semata sebagai tentara, tapi juga sosok kiai, guru, pemain teater, dan
pemain bola.
Di dalam buku
sejarah, pahlawan adalah orang yang pada akhirnya membosankan. Tapi tidak di
novel ini. Sosok Sang Gerilyawan digambarkan penuh warna seperti manusia biasa
pada umumnya. Bisa jenaka dan romantis. Penulis juga ‘cerdas’ dan ‘cemerlang’
membahasakan aktualita, faktualita, politik, sejarah, budaya, dan jiwa
patriotik melalui bahasa naratif yang komunikatif dan mudah dicerna. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar