Menghidupkan
Semangat Pancasila
Oleh:
Yudi Latif
DALAM
suasana peringatan Hari Kelahiran Pancasila, cuaca kebatinan bangsa ini
diliputi awan kerisauan. Visi kebangsaan ibarat cermin kebenaran yang jatuh dan
pecah berkeping-keping. Setiap pihak hanya memungut satu kepingan lantas
memandang kebenaran menurut bayangannya sendiri. Rasa saling percaya pudar;
bineka warna sulit menyatu, rasa sulit bersambung, rezeki sulit berbagi.
Di tengah
kobaran api pertikaian yang bisa membakar rumah kebangsaan, hendaklah tetap
bertahan kepala dingin. Bila mata dibayar dengan mata, dunia akan mengalami
kegelapan. Dalam kegaduhan umpatan caci-maki, yang diperlukan bukanlah
mengeraskan pekikan suara, melainkan meninggikan kemuliaan kata-kata. Karena
hujanlah yang menumbuhkan bunga-bunga, bukan gemuruh petir. Dalam hening
perenungan, ada bening pikiran. Dalam bening pikiran, ada eling kesadaran.
Bahwa perkembangan bangsa ini tidak bisa bergerak mundur.
Asal
fitrah kepemimpinan bangsa ini adalah titik putih kesetaraan-persaudaraan
kewargaan. Dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, kepala pemerintahan/negara
pernah (bahkan sering) dipimpin minoritas non-Jawa. Pernah pula seorang
Kristen, bernama Amir Sjarifoeddin Harahap, menjadi perdana menteri. Bahkan
Johannes Leimena dengan latar minoritas ganda (Kristen-Melanesia) beberapa kali
menjadi pejabat presiden. Tak ketinggalan, pernah pula perempuan menjadi
presiden di negeri ini.
Bila kini
masalah suku dan agama kembali dipersoalkan dalam urusan pemilihan, pertanda
ada kuman degeneratif yang melunturkan semangat kebangsaan kita. Ketegangan
etno-religius ini harus dipandang sebagai gejala permukaan dari endapan
penyakit epidemik yang menyerang sistem saraf Pancasila.
Rumah
Pancasila adalah rumah keseimbangan dengan lima prinsip nilai kait-mengait yang
harus dijalankan secara sinergis dan simultan. Bibit penyakit bisa timbul
karena distorsi dalam pemenuhan nilai intrinsik setiap sila, ataupun karena
ketimpangan dalam pemenuhan nilai ekstrinsik yang berkaitan dengan relasi
antarsila.
Yang
paling mudah terdeteksi dari tendensi kelunturan itu terjadi pada pengamalan
sila ketuhanan. Merebaknya kekerasan bernuansa agama merupakan letupan dari
kecenderungan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ketuhanan yang tidak
berkebudayaan; tidak memijarkan semangat rahmatan lilalamin (kasih sayang bagi
seru sekalian alam). Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan lahiriah
formalisme peribadan, tanpa kesanggupan menggali batiniah nilai spiritualitas
dan moralitas, hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya.
Tanpa
menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul,
kering, dan keras. Tanpa daya-daya kontemplatif dan kemampuan berdamai dengan
misteri dan ketidakpastian, orang-orang beragama bisa memaksakan absolutisme
sebagai respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia, yang menimbulkan
penghancuran ke dalam dan ancaman ke luar. Pemulihan krisis-konflik sosial
kehilangan basis kepercayaannya ketika agama yang seharusnya membantu manusia
menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang, dan perawatan (khalifah) justru sering
kali memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan zaman dalam bentuk terorisme,
permusuhan, dan intoleransi. Distorsi dalam pengalaman sila ketuhanan
diperparah distorsi dalam pengamalan sila persatuan.
Dalam
masyarakat plural, sikap hidup yang harus dikembangkan ialah semangat hidup
berdampingan secara damai dan produktif lewat pergaulan lintas-kultural yang
membawa proses penyerbukan silang budaya. Namun, warisan panjang rezim
represif, yang cenderung melakukan homogenisasi dan sentralisasi
budaya-politik, membuat bangsa Indonesia cenderung mengembangkan sikap hidup
monokultural; hanya membatasi pergaulan dalam kepompong ras, etnik, dan agama
masing-masing secara eksklusif. Segregasi sosial warisan kolonial belum banyak
mengalami peleburan. Permukiman-permukiman elite baru muncul dengan sekat
segregatif yang mengucilkan. Pembagian kerja dan kedudukan atas dasar pembedaan
golongan juga masih bertahan.
Tabir
sosial ini bahkan mulai dipahatkan pada model mental generasi penerus lewat
persekolahan eksklusif berbasis irisan kesamaan agama, ras/etnik, dan kelas
sosial.
Akibatnya,
masyarakat cenderung mengembangkan sikap curiga dan tidak percaya terhadap
golongan lain dan memandang kehadiran yang berbeda sebagai ancaman. Pada
akhirnya, seperti diisyaratkan John Raws, sumber persatuan dan komitmen
kebangsaan dari negeri multikultural ialah konsepsi keadilan bersama (a share
conception of justice).
Sila
'Keadilan Sosial' merupakan perwujudan paling konkret dari prinsip-prinsip
Pancasila, tapi paling diabaikan. Selama belasan tahun reformasi, Indonesia
mengalami surplus kebebasan, tapi defisit keadilan, dengan kesenjangan sosial
yang makin lebar. Padahal, betapa pun kuatnya jahitan persatuan nasional, bila
ketidakadilan tak lagi tertahankan, perlawanan dan kecemburuan sosial akan
meruyak. Dengan kepala dingin dan keterbukaan bagi refleksi diri, marilah kita
kikis kuman kelunturan dan degenerasi semangat kebangsaan itu dengan kembali ke
fitrah bernegara. Dengan memuliakan prinsip-prinsip moral publik berlandaskan
semangat Pancasila.
Setelah
72 tahun Indonesia merdeka, kita patut bertanya, apakah prinsip-prinsip
Pancasila itu masih cukup relevan dalam menghadapi tantangan globalisasi atau
sudah diusangkan zaman? Jika masih relevan, kenapa pula terdapat kesenjangan
yang lebar antara idealitas Pancasila dan realitas kehidupan bangsa saat ini?
Pancasila
dan globalisasi
Tantangan
pembumian Pancasila makin terasa pelik di tengah arus globalisasi yang makin
luas pengaruhnya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya. Globalisasi
merestukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap
aspek kehidupan. Dengan arus globalisasi, setiap negara-bangsa menghadapi
potensi ledakan pluralitas dari dalam dan tekanan keragaman dari luar. Tarikan
global ke arah demokratisasi dan perlindungan hak-hak asasi memang menguat.
Akan tetapi, oposisi dan antagonisme terhadap kecenderungan ini juga terjadi.
Di
seluruh dunia, 'politik identitas' (identity politics) yang mengukuhkan
perbedaan identitas kolektif--etnik, ras, kelas dan status sosial, bahasa,
agama, bahasa, dan bangsa--mengalami gelombang pasang. Karena setiap pencarian
identitas memerlukan garis perbedaan dengan yang lain, politik identitas
senantiasa merupakan politik penciptaan perbedaan. Apa yang harus diwaspadai
dari kecenderungan ini bukanlah dialektika yang tak terhindarkan dari
identitas/perbedaan, melainkan suatu kemungkinan munculnya keyakinan atavistik
bahwa identitas hanya bisa dipertahankan dan diamankan dengan cara menghabisi
perbedaan dan keberlainan (otherness).
Dalam
situasi seperti itu, eksistensi Indonesia sebagai republik dituntut untuk
berdiri kukuh di atas prinsip dasarnya. Ide sentral dari republikanisme
menegaskan bahwa proses demokrasi bisa melayani sekaligus menjamin terjadinya
integrasi sosial dari masyarakat yang makin mengalami ragam perbedaan. Dalam
menghadapi berbagai tantangan dan persoalan tersebut, bangsa ini sesungguhnya
telah memiliki daya antisipatifnya dalam ideologi Pancasila.
Dalam
mengantisipasi kemungkinan menguatnya fundamentalisme agama, sila pertama
menekankan prinsip ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban. Seperti
dinyatakan Bung Karno, "Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap
rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiadanya
'egoisme-agama'.... Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang
hormat-menghormati satu sama lain."
Dalam
mengantisipasi dampak-dampak destruktif dari globalisasi dan lokalisasi, dalam
bentuk homogenisasi dan partikularisasi identitas, prinsip 'sosio-nasionalisme'
yang tertuang dalam sila kedua dan ketiga Pancasila telah memberikan jawaban
yang jitu. Dalam prinsip 'sosio-nasionalisme', kebangsaan Indonesia adalah
kebangsaan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, berdiri atas prinsip
semua untuk semua. Saat yang sama, kebangsaan Indonesia juga kebangsaan yang
berperikemanusiaan, yang mengarah pada persaudaraan, keadilan, dan keadaban
dunia.
Dikatakan
Bung Karno, "Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar
di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak
hidup dalam taman-sarinya internasionalisme." Dalam mengantisipasi tirani
dan ketidakadilan dalam politik dan ekonomi, prinsip 'sosio-demokrasi' yang
tertuang dalam sila keempat dan kelima Pancasila memberi solusi yang andal.
Menurut
prinsip ini, demokrasi politik harus bersejalan dengan demokrasi ekonomi.
Pada
ranah politik, demokrasi yang dikembangkan ialah demokrasi permusyawaratan
(deliberative democracy) yang bersifat imparsial, dengan melibatkan dan
mempertimbangan pendapat semua pihak secara inklusif. Pada ranah ekonomi,
negara harus aktif mengupayakan keadilan sosial dalam rangka mengatasi dan
mengimbangi ketidaksetaraan yang yang terjadi di pasar, dengan jalan menjaga
iklim kompetisi yang sehat, membela yang lemah, serta berinvestasi dalam public
goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak.Dengan semangat dasar kelima
prinsip Pancasila, negara/bangsa Indonesia memiliki pandangan dunia yang begitu
visioner dan tahan banting.
Prinsip-prinsip
dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan merekonsiliasikan antara paham
kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan, antara paham
kebangsaan homogenis dan tribalisme atavisitis. Antara kebangsaan yang
chauvinis dan globalisme triumphalis, antara pemerintahan autokratik dan
demokrasi pasar-individualis, antara ekonomi etatisme dan kapitalisme
predatoris.
Pembumian
Pancasila
Tinggal
masalahnya, bagaimana memperdalam pemahaman, penghayatan, dan kepercayaan akan
keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila dan
kesalingterkaitannya satu sama lain untuk kemudian diamalkan secara konsisten
di segala lapis dan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejauh ini,
keluhuran nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan haluan bernegara terus
diimpikan dengan defisit kemampuan untuk membumikannya. Setiap ideologi yang
menghendaki kesaktian dalam memengaruhi kehidupan secara efektif tak bisa
diindoktrinasikan sebatas hapalan dan upacara, tetapi perlu mengalami apa yang
disebut Kuntowijoyo sebagai proses 'pengakaran' (radikalisasi).
Proses
radikalisasi ini melibatkan tiga dimensi ideologis: keyakinan (mitos),
penalaran (logos), dan kejuangan (etos). Pada dimensi mitos, radikalisasi
Pancasila diarahkan untuk meneguhkan kembali Pancasila sebagai ideologi negara.
Pada sisi ini, bangsa Indonesia harus diyakinkan bahwa, seperti kata John
Gardner, "Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu
tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak
memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar."
Mematrikan
keyakinan pada hati warga tidak selalu bersifat rasional. Pendekatan
afektif-emotif dengan menggunakan bahasa seni-budaya dan instrumen multimedia
akan jauh lebih efektif. Pada dimensi logos, radikalisasi Pancasila diarahkan
untuk mengembangkan Pancasila dari ideologi menjadi ilmu. Pancasila harus
dijadikan paradigma keilmuan yang melahirkan teori-teori pengetahuan.
Proses
penerjemahan ideologi ke dalam teori pengetahuan ini penting karena ilmu
merupakan jembatan antara idealitas-ideologis dan realitas-kebijakan. Setiap
rancangan perundang-undangan mestinya didahului naskah akademik.
Jika
pasokan teoretis atas naskah ini diambil dari teori-teori pengetahuan yang
bersumber dari paradigma-ideologis yang lain, besar peluang lahirnya kebijakan
perundang-undangan yang tak sejalan dengan tuntutan moral Pancasila. Pada
dimensi etos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk menumbuhkan kepercayaan
diri dan daya juang agar Pancasila dapat menjiwai perumusan konstitusi,
produk-produk perundangan, dan kebijakan publik, dengan menjaga keterkaitan antarsila
dan keterhubungannya dengan realitas sosial.
Dalam
kaitan ini, Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara)
harus diluaskan menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal
(masyarakat), serta menjadikan Pancasila sebagai landasan kritik atas kebijakan
negara. Kian hari kian banyak bangsa lain yang mengapresiasi dan meneladani
Pancasila.
Manakala
ada tanda-tanda bangsa ini justru mulai meninggalkannya, 1 Juni merupakan momen
kelahiran kembali semangat memuliakan Pancasila. Yang harus kita tangkap dari
peringatan Hari Lahir Pancasila itu bukanlah abunya, melainkan apinya. Api
kelahiran Pancasila adalah semangat berjuang, berjuang mati-matian dengan penuh
idealisme; semangat persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada mengecualikan
sesuatu golongan dan lapisan; semangat membangun negara untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama. []
MEDIA
INDONESIA, 29 May 2017
Yudi
Latif | Cendekiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar