Menolak
Ide Khilafah
Oleh:
Moh. Mahfud MD
“Buktikan
bahwa sistem politik dan ketatanegaraan Islam itu tidak ada. Islam itu lengkap
dan sempurna, semua diatur di dalamnya, termasuk khilafah sebagai sistem
pemerintahan”. Pernyataan dengan nada agak marah itu diberondongkan kepada saya
oleh seorang aktivis ormas Islam asal Blitar saat saya mengisi halaqah di dalam
pertemuan Muhammadiyah se-Jawa Timur ketika saya masih menjadi ketua Mahkamah
Konstitusi.
Saat itu,
teman saya, Prof Zainuri yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo,
mengundang saya untuk menjadi narasumber dalam forum tersebut dan saya diminta
berbicara seputar ”Konstitusi bagi Umat Islam Indonesia”.
Pada saat
itu saya mengatakan, umat Islam Indonesia harus menerima sistem politik dan
ketatanegaraan Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD)
1945. Sistem negara Pancasila yang berbasis pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika,
sudah kompatibel dengan realitas keberagaman dari bangsa Indonesia.
Saya
mengatakan pula, di dalam sumber primer ajaran Islam, Al Quran dan Sunah Nabi
Muhammad SAW, tidak ada ajaran sistem politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan
yang baku. Di dalam Islam memang ada ajaran hidup bernegara dan istilah
khilafah, tetapi sistem dan strukturisasinya tidak diatur di dalam Al Quran dan
Sunah, melainkan diserahkan kepada kaum Muslimin sesuai dengan tuntutan tempat
dan zaman.
Sistem
negara Pancasila
Khilafah
sebagai sistem pemerintahan adalah ciptaan manusia yang isinya bisa bermacam-macam
dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Di dalam Islam tidak ada sistem
ketatanegaraan dan pemerintahan yang baku.
Umat
Islam Indonesia boleh mempunyai sistem pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan
realitas masyarakat Indonesia sendiri. Para ulama yang ikut mendirikan dan
membangun Indonesia menyatakan, negara Pancasila merupakan pilihan final dan
tidak bertentangan dengan syariah sehingga harus diterima sebagai mietsaaqon
ghaliedzaa atau kesepakatan luhur bangsa.
Penjelasan
saya yang seperti itulah yang memicu pernyataan aktivis ormas Islam dari Blitar
itu dengan meminta saya untuk bertanggung jawab dan membuktikan bahwa di dalam
sumber primer Islam tidak ada sistem politik dan ketatanegaraan. Atas
pernyataannya itu, saya mengajukan pernyataan balik. Saya tak perlu membuktikan
apa-apa bahwa sistem pemerintahan Islam seperti khilafah itu tidak ada yang
baku karena memang tidak ada.
Justru
yang harus membuktikan adalah orang yang mengatakan, ada sistem ketatanegaraan
atau sistem politik yang baku dalam Islam. ”Kalau Saudara mengatakan bahwa ada
sistem baku di dalam Islam, coba sekarang Saudara buktikan, bagaimana sistemnya
dan di mana itu adanya,” kata saya.
Ternyata
dia tidak bisa menunjuk bagaimana sistem khilafah yang baku itu. Kepadanya saya
tegaskan lagi, tidak ada dalam sumber primer Islam sistem yang baku. Semua
terserah pada umatnya sesuai dengan keadaan masyarakat dan perkembangan zaman.
Buktinya,
di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya berbeda-beda. Ada yang memakai
sistem mamlakah (kerajaan), ada yang memakai sistem emirat (keamiran), ada yang
memakai sistem sulthaniyyah (kesultanan), ada yang memakai jumhuriyyah
(republik), dan sebagainya.
Bahwa di
kalangan kaum Muslimin sendiri implementasi sistem pemerintahan itu
berbeda-beda sudahlah menjadi bukti nyata bahwa di dalam Islam tidak ada ajaran
baku tentang khilafah. Istilah fikihnya, sudah ada ijma’ sukuti (persetujuan
tanpa diumumkan) di kalangan para ulama bahwa sistem pemerintahan itu bisa
dibuat sendiri-sendiri asal sesuai dengan maksud syar’i (maqaashid al sya’iy).
Kalaulah
yang dimaksud sistem khilafah itu adalah sistem kekhalifahan yang banyak tumbuh
setelah Nabi wafat, maka itu pun tidak ada sistemnya yang baku.
Di antara
empat khalifah rasyidah atau Khulafa’ al-Rasyidin saja sistemnya juga
berbeda-beda. Tampilnya Abu Bakar sebagai khalifah memakai cara pemilihan, Umar
ibn Khaththab ditunjuk oleh Abu Bakar, Utsman ibn Affan dipilih oleh formatur
beranggotakan enam orang yang dibentuk oleh Umar.
Begitu
juga Ali ibn Abi Thalib yang keterpilihannya disusul dengan perpecahan yang
melahirkan khilafah Bani Umayyah. Setelah Bani Umayyah lahir pula khilafah Bani
Abbasiyah, khilafah Turki Utsmany (Ottoman) dan lain-lain yang juga
berbeda-beda.
Yang mana
sistem khilafah yang baku? Tidak ada, kan? Yang ada hanyalah produk ijtihad
yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Ini berbeda
dengan sistem negara Pancasila yang sudah baku sampai pada pelembagaannya. Ia
merupakan produk ijtihad yang dibangun berdasar realitas masyarakat Indonesia
yang majemuk, sama dengan ketika Nabi membangun Negara Madinah.
Berbahaya
Para
pendukung sistem khilafah sering mengatakan, sistem negara Pancasila telah
gagal membangun kesejahteraan dan keadilan. Kalau itu masalahnya, maka dari
sejarah khilafah yang panjang dan beragam (sehingga tak jelas yang mana yang
benar) itu banyak juga yang gagal dan malah kejam dan sewenang-wenang terhadap
warganya sendiri.
Semua
sistem khilafah, selain pernah melahirkan penguasa yang bagus, sering pula
melahirkan pemerintah yang korup dan sewenang-wenang. Kalaulah dikatakan bahwa
di dalam sistem khilafah ada substansi ajaran moral dan etika pemerintahan yang
tinggi, maka di dalam sistem Pancasila pun ada nilai-nilai moral dan etika yang
luhur. Masalahnya, kan, soal implementasi saja. Yang penting sebenarnya adalah
bagaimana kita mengimplementasikannya.
Maaf,
sejak Konferensi Internasional Hizbut Tahrir tanggal 12 Agustus 2007 di Jakarta
yang menyatakan ”demokrasi haram” dan Hizbut Tahrir akan memperjuangkan
berdirinya negara khilafah transnasional dari Asia Tenggara sampai Australia,
saya mengatakan bahwa gerakan itu berbahaya bagi Indonesia. Kalau ide itu,
misalnya, diterus-teruskan, yang terancam perpecahan bukan hanya bangsa
Indonesia, melainkan juga di internal umat Islam sendiri.
Mengapa?
Kalau ide khilafah diterima, di internal umat Islam sendiri akan muncul banyak
alternatif yang tidak jelas karena tidak ada sistemnya yang baku berdasar Al
Quran dan Sunah. Situasinya bisa saling klaim kebenaran dari ide khilafah yang
berbeda-beda itu. Potensi kaos sangat besar di dalamnya.
Oleh
karena itu, bersatu dalam keberagaman di dalam negara Pancasila yang sistemnya
sudah jelas dituangkan di dalam konstitusi menjadi suatu keniscayaan bagi
bangsa Indonesia. Ini yang harus diperkokoh sebagai mietsaaqon ghaliedzaa
(kesepakatan luhur) seluruh bangsa Indonesia. Para ulama dan intelektual Muslim
Indonesia sudah lama menyimpulkan demikian. []
KOMPAS,
26 Mei 2017
Moh
Mahfud MD ; Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode
2008-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar