Novel Perjalanan
Ruhani Sunan Gunung Jati
Judul
: Suluk Gunung Jati: Novel Perjalanan Ruhani Syaikh Syarif Hidayatullah
Penulis
: E. Rokajat Asura
Terbit
: Agustus, 2016
Tebal
: 347 halaman
ISBN
: 978-602-7926-26-4
Peresensi
: Faried Wijdan, warga NU, tinggal di Depok, Jawa Barat.
Gusti pernah bilang
bila air senantiasa mengalir sampai jauh dari tempat yang tinggi ke tempat yang
rendah. Meskipun wadahnya berbeda-beda, air selalu memiliki permukaan yang
datar. Ini adalah gambaran kodrat Gusti Allah. Dan air tidak pernah melawan kodrat
Gusti Kang Murbeng Dumadi. Watak air akan membawa seseorang menempuh jalan
kehidupan dengan irama yang paling mudah, dan pada akhirnya akan masuk ke
samudra anugerah Gusti Allah,” ujar Patih Keling.
“Bagaimana ketika air
itu mengalir ke Pakuan Pajajaran, hingga akhirnya saling berhadapan dengan
Kanjeng Eyang,”
batin Syarif Hidayatullah.
Dialog spiritual di
atas menjadi semacam energi yang mengantarkan Sunan Gunung Jati menemui
eyangnya, menghabiskan waktu untuk berdakwah. Jauh sebelum itu secara emosional
ibunya, Syarifah Mudaim – telah memberi bekal berbagai kearifan yang tak
ditemukan di tanah kelahiran suaminya. Kearifan yang akan menjadi modal utama
dalam melakukan dakwah, maupun bergaul dengan para wali tanah Jawa. Melalui
cerita, ia telah memberi pemahaman bagaimana bibit Islam disemaikan di daerah
Caruban, diawali oleh seorang saleh bernama Syaikh Datuk Kahfi.
Dalam Babad Tanah
Sunda Babad Cirebon yang ditulis Pangeran S. Sulendraningrat, penyebar islam
ini disebut dengan nama Syeh Nurjati. Santri generasi pertama yang berguru
kepada Syaikh Datuk Kahfi, tak lain putra-putri Prabu Siliwangi dari permaisuri
Nyai Ratu Subanglarang. Nama Nyimas Rarasantang, putri kedua Sri Baginda
Maharaja Prabu Siliwangi dari permaisuri Nyai Ratu Subanglarang, setelah
menunaikan ibadah haji dan menjadi istri Syarif Abdullah, Sultan
Palestina.
Jauh sebelum itu di
Tanjungpura, Karawang, juga telah berdiri Pesantren Quro. Salah seorang
santrinya adalah Nyai Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa dari Kerajaan
Singapura Muara Jati yang masih keturunan Raja Sunda, Prabu Niskala Wastu
Kancana. Nyai Subang Larang kemudian dijodohkan dengan Raden Pamanah Rasa,
Putra Mahkota Kerajaan Pajajaran. Dari rahim Nyai Subang Larang ini kemudian
lahir Pangeran Walangsungsang dan Nyimas Rarasantang.
Sebelum berkenan
dipersunting, Nyai Subang Larang mengajukan tiga syarat yang harus dipenuhi
yaitu disediakan bintang saketi. Dalam Novel Prabu Siliwangi: Bara Di Balik
Terkoyaknya Raja Digdaya (Edelweiss (Pustaka IIMaN Group), 2009) dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan bintang saketi tak lain adalah tasbih, yang
merupakan simbol islam. Sehingga sekalipun diperistri seorang raja yang agama
negaranya belum Islam, Nyai Subang Larang tetap bersikeras agar diperkenankan
melaksanakan wirid dan ritual Islam lainnya. Anak-anaknya kelak harus jadi
muslim dan muslimah.
Perjalanan dakwah
Syarif Hidayatullah – kelak dikenal sebagai Sunan Gunung Jati – ke bumi Jawa
memetakan apa yang telah dilakukan ibu dan uwaknya, Nyimas Rarasantang dan Pangeran
Walangsungsang. Sejarah memang senantiasa berulang. Ketika meninggalkan istana
di Palestina – padahal ia telah diangkat sebagai sultan menggantikan almarhum
ayahnya – seperti mengulang apa yang dilakukan uwaknya, Pangeran Walangsungsang
dan ibunya Nyimas Rarasantang saat meninggalkan Keraton Pakuan Pajajaran.
Syarif Hidayatullah
memperdalam nur muhammad dari satu guru mursyid kepada guru lainnya, sama
persis seperti yang telah dilakukan Nyimas Rarasantang dan Pangeran
Walangsungsang dulu. Langkah Syarif Hidayatullah pun sebenarnya menapak jejak
orang tuanya dari arah sebaliknya. Bila perjalanan Nyimas Rarasantang dan
Pangeran Walangsungsang bisa dipetakan dari Keraton Pakuan Pajajaran – Amparan
Jati – Pasai – Campa – Mekkah, maka langkah Syarif Hidayatullah dimulai dari
Palestina – Mekkah – Pasai – Muara Jati – Amparan Jati, lalu menempa diri di
Caruban Larang sebelum menjadi bagian dari simpul perjuangan wali songo.
Syarif Hidayatullah
lahir di Palestina, ketika kota itu sedang menggeliat menjadi salah satu kota
metrolopolis terpenting di timur tengah. Di kota ini ayahnya, Syarif Abdullah
memimpin negeri dengan latar belakang sosio culture dimana tiga agama samawi
hidup tumbuh berdampingan. Masyarakat islam berdampingan dengan kaum kristiani
dan Yahudi, yang ketiganya memiliki sejarah dan keterkaitan dengan kota itu
sangat tinggi baik histori maupun religi.
Hanya seorang
pemimpin yang memiliki kekuatan mental untuk mendudukkan ketiga masyarakat yang
berbeda secara adil itulah yang akan mampu memimpin Palestina, sebab percikan
ketegangan sedikit saja bisa menimbulkan kobaran api. Dan hal itu berhasil
dilakukan Syarif Abdullah, yang kemudian menurunkan sikap bijak dan tepa selira
itu kepada Syarif Hidayatullah. Watak yang kemudian sangat membantu ketika
menghadapi masyarakat Caruban dan Sunda, yang kala itu lebih menonjol sikap
sempit wawasan, agak malas, dan tidak memiliki pengetahuan agama yang baik,
sehingga melahirkan watak yang mudah menyerah dan gampang tersinggung.
Kenapa Syarif
Hidayatullah memilih Jawa? Bila ibunya, Nyimas Rarasantang dan uwaknya,
Pangeran Walangsungsang keluar dari Keraton Pakuan Pajajaran terdorong oleh
ilham untuk mengejar nur muhammad, Syarif Hidayatullah memilih meninggalkan
Palestina setelah selesai mengkaji kitab Usul Kalam. Kitab ini mengisahkan
perjalanan keluarga ahlul bait yang tercerai-berai setelah peristiwa perang
Jamal dan Shiffin. Nasab dari ayahnya, Syarif Abdullah, merujuk kepada keluarga
bagida Ali r.a. Pertemuannya dengan Syaikh Abdullah Sidiq di Samudera Pasai,
semakin menentukan bagaimana Syarif Hidayatullah akan menjadi satu titik
penting dari perkembangan islam di Jawa.
Ia kemudian
bersinggungan dan saling mempengaruhi dengan para dewan wali yang telah lebih
ada. Dengan Sunan Ampel yang bila dirunut akan mempertemukan pada satu leluhur
yang sama. Secara historis pertemuan dengan Sunan Ampel adalah membagi daerah
dakwah menjadi dua bagian besar di barat dan timur yang dibatasi Sungai
Cipamali. Dari Cipamali ke barat sampai Ujung Kulon adalah wilayah dakwah
Syarif Hidayatullah, yang tak lain masyarakat Sunda dan pesisir.
Sedangkan dari
Cipamali sampai Blambangan yang menjadi wilayah kekuasaan Sunan Ampel, tak lain
adalah masyarakat Jawa. Pemisahan ini tidak saja memisahkan dua wilayah, tapi
lebih kepada memisahkan dua kultur dan histori yang berbeda – Sunda dan Jawa.
Peristiwa ini akan mengingatkan kita kepada Rakeyan Darmaraja ketika
memberi wilayah jajahan kepada putranya, Raden Wijaya. Saat itu tidak ada
pemisahan ini, sehingga menyatukan dua kultur yang berbeda itu dihadang banyak
hambatan.
Kekuasaan Syarif
Hidayatullah mulai terlihat dominan ketika Pangeran Cakrabuana menyerahkan
Caruban Larang kepadanya. Ia kemudian berinisiatif menghentikan seba kepada
Pakuan Pajajaran dan menyatakan sebagai negeri mandiri. Langkah politis yang
kemudian telah melukai perasaan Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, yang tak
lain eyangnya sendiri. Prabu Siliwangi mengutus Tumenggung Jagabaya untuk
memberi peringatan kepada Syarif Hidayatullah, tapi siapa yang mengira rombongan
itu dihadang pasukan Caruban dan Demak.
Prabu Siliwangi tidak
menyadari bila sebelum langkah itu diambil, Syarif Hidayatullah telah memetakan
wilayah dari Cipamali ke barat itu dalam genggamannya dengan menyebarkan ajaran
islam di beberapa titik penting. Sehingga ketika Prabu Siliwangi melangkah
jauh, wilayah Pajajaran sendiri telah terkepung. Begitu pula ketika Pajajaran
berhasil mengikat kerjasama dengan Portugis, Caruban Larang telah mengikat
hubungan erat dengan Demak dan Banten, yang terikat tidak saja secara politis
melainkan lebih jauh dari itu – mengikat hubungan kekeluargaan melalui
pernikahan.
Akhirnya langkah
Syarif Hidayatullah sampai pula di Pakuan Pajajaran, bertemu dengan Prabu
Siliwangi ketika Banten Surosowan telah berdiri dan Demak telah semakin matang
baik secara politis maupun militer. Pertemuan mengharukan itu berakhir ketika
Prabu Siliwangi menyetujui untuk menyebarkan islam di mana pun, dengan satu
syarat jangan dengan paksaan dan pertumpahan darah.
Langkah jihad Syarif
Hidayatullah berkobar di Sunda Kalapa menghadapi Portugis yang telah disokong
Pajajaran. Demikianlah yang bisa ditemukan dalam novel sejarah ini. Tentu saja
tidak saja konflik keyakinan dan politis, ketika meretas jihad di bumi leluhur,
Syarif Hidayatullah tak bisa menghindari dari kisah dramatis dan romantis,
seperti juga yang dialami Nyimas Rarasantang dan Pangeran Cakrabuana ketika
memilih keluar dari Keraton Pakuan Pajajaran.
Syarif
Hidayatullah-di Jawa Barat lebih dikenal dengan Syaikh Sunan Gunung
Jati-meninggalkan tanah kelahiran ayahnya untuk berguru kepada beberapa orang
guru seperti kepada Syeikh Tajudin al-Kubri selama 2 tahun, Syeikh Athaillah
Syazali. Di Baghdad berguru Tasawuf Rasul dan tinggal di pesantren saudara
ayahnya selama 2 tahun (Sunarjo, 1983:51). Dalam waktu singkat Syarif
Hidayatullah telah mempunyai banyak nama di antaranya Syaid Al kamil, Syeikh
Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Sultan Mahmud al-Khibti.
Nama-nama yang
menyiratkan tahapan perjalanan kehidupannya intelektual dan keimanannya dari
remaja hingga dewasa. Ketika ayahnnya wafat yang secara historis menjadi
penerus kesultanan, dia menolak dan meminta adiknya Syarif Nurullah untuk
menggantikan dirinya. Syarif Hidayatullah lebih memilih pergi ke Jawa untuk
menyebarkan agama Islam. Dalam perjalanannya ke Jawa, Syarif Hidayatullah
singgah di Gujarat.
Di sana Syaid Kamil
betemu dengan Dipati Keling beserta anak buahnya. Dipati Keling dan anak
buahnya masuk Islam dan mengabdi pada Syarif Hidayatullah. Kemudian mereka
bersama-sama meneruskan perjalannannya menuju Jawa. Sebelum ke Jawa, Syaid
Kamil singgah di Pasai. Disini Syarif Hidayatullah berguru kepada Syaid Ishak.
Di Pasai mereka tinggal selama dua tahun. Setelah itu, Syaid Kamil dan
rombongan meneruskan perjalan menuju ke Jawa, yang diawali dengan persinggahannya
di negeri Banten. Di negeri itu sudah banyak yang memeluk agama Islam berkat
binaan dari Syaid Rakhmat atau Ali Rakhmatullah seorang guru agama dari Ampel
Gading yang kemudian bergelar Susuhunan Ampel.
Setelah bertemu
dengan Sunan Ampel, Syarif Hidayatullah diminta untuk meneruskan Ali
Rakhmatullah untuk mengajar agama Islam di negeri Banten. Ketika Syaid
Rakhmatullah pulang ke Ampel, Syarif Hidayatullah ikut pula ke Ampel guna lebih
memperdalam agama Islam. Ketika tiba di Ampel, di sana telah berkumpul para
wali. Pada saat itu para wali sedang membagi pekerjaan untuk menyebarkan agama
Islam di tanah Jawa. Setelah bersilaturahmi dengan para wali, maka diatur
mengenai siasat penyebaran Islam di Jawa. Saat itu Syaid Kamil atau Syarif
Hidayatullah diminta untuk menyebarkan agama Islam di Jawa bagian Barat yaitu
di tatar Sunda.
Kisah Syaikh Sunan
Gunung Jati – terutama dalam kisah tradisional – lebih banyak dihiasi
kisah-kisah mitos. Tentu saja kisah-kisah ini bukan untuk mengacaukan alur
sejarah. Kisah-kisah mitos tumbuh dari kecintaan dan penghormatan rakyat yang
mungkin berlebihan kepada sosok Syaikh Sunan Gunung Jati ini. Dan dibanding
dengan fakta sejarah – terutama sumber primer – tentu kisah bercampur mitos ini
terasa lebih dramatik dan tetap mengandung nilai-nilai spiritual dan moral.
Sehingga dalam kaitannya untuk mengungkap nilai-nilai luhur yang tak banyak
terungkap dalam fakta sejarah primer itulah, pembaca dapat menemukan
kisah-kisah bercampur mitos dalam alur novel Suluk Gunung Jati : Novel
Perjalanan Ruhani Syaikh Syaikh Syarif Hidayatullah ini.
Novel Suluk Gunung
Jati: Perjalanan Ruhani Syaikh Syarif Hidayatullah, bukanlah laporan
dokumenter. Kendati fakta-fakta sejarah menjadi landasan utama, pada akhirnya
tetap memerhatikan unsur-unsur dramatik sebuah novel. Sehingga Syaikh Gunung
Jati dalam interaksi kesehariannya tetap dipandang sebagai sosok manusia yang
memiliki emosi. Sisi romantisme sebagai seorang lelaki dewasa berkelindan dalam
alur yang tidak paralel ini. E. Rokajat Asura berhasil menghubungkan dan
menyambungkan antara sejarah dan kebenaran mengenai riwayat dan ajaran Sunan
Gunung Jati.
Di dalamnya tersaji
tidak hanya dinamika perjuangan dakwah dan konflik politik, penulis juga
menampilkan romansa percintaan. Inilah yang menjadikan novel ini manusiawi dan
menyentuh hati pembaca. Dengan dasar sumber tertulis maupun cerita tutur, lewat
novel ini kita seperti diajak menyelami tafsir atas perjalanan ruhani Syarif
Hidayatullah dalam berdakwah. Islam yang diperkenalkan Sunun Gunung Jati adalah
Islam yang ramah dan menghargai nilai-nilai budaya lokal.
Novel sufistik ini
menjadi menarik, setidaknya karena dua hal. Pertama, kehadiran novel ini
mengisi kelangkaan, untuk tidak dibilang ketiadaan, novel sejarah Islam di
Indonesia masa kini. Kedua, lewat novel ini kita diingatkan kembali pada
metode dakwah para wali di masa lampau yang bersemangat merangkul, bukan
menggertak apalagi menghukum seperti yang mulai marak akhir-akhir ini. Dan
sungguh novel ini terbit pada saat yang tepat, saat Indonesia membutuhkan
inspirasi untuk kembali belajar ramah dan menghargai nilai-nilai budaya dalam
bingkai kebhinekaan. Saya kira, dua hal tersebut sudah cukup untuk menjadikan
novel ini wajib 'ain untuk disebarkan dan dibaca. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar